logo Kompas.id
OpiniWarga Negara sebagai Subyek...
Iklan

Warga Negara sebagai Subyek Kampanye

Kampanye pemilu yang menghadirkan substansi dan membangun dialog akan menjadikan warga negara sebagai subyek dan bukan penonton dari kampanye politik.

Oleh
WIJAYANTO
· 4 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Terhitung sejak 28 November 2023, Pemilu 2024 telah memasuki tahapan baru yang sangat menentukan, yaitu kampanye terbuka. Pemilu merupakan salah satu prosedur penting yang menjadi ciri penting satu negara demokrasi (Schumpeter, 1942).

Meskipun demikian, demokrasi bukan hanya tentang pemilu, melainkan lebih dari itu, juga tentang pemenuhan hak-hak asasi warga negara (Tornquist, 2022). Dengan demikian, kampanye pemilu seharusnya mendiskusikan dengan sangat serius masalah-masalah pemenuhan hak warga negara itu dan jalan keluar atas masalah yang ada.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Menghadirkan warga

Lebih jauh, untuk mewujudkan pemenuhan atas hak-hak warga negara yang sesungguhnya juga merupakan amanat konstitusi, kampanye pemilu semestinya merupakan ajang untuk memaparkan sekurangnya tiga hal:

Pertama, kandidat capres dan caleg semestinya mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki pengetahuan tentang apa saja masalah-masalah pemenuhan hak warga negara yang masih berlangsung, mulai dari sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Semakin tergerusnya kebebasan berekspresi, semakin menyempitnya ruang publik, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, serta kemunduran demokrasi di Indonesia secara umum, misalnya, merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik warga negara. Masih tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, semakin sulitnya generasi muda untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal yang layak, kemacetan yang semakin parah di kota besar, banjir yang terjadi setiap tahun merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara.

Baca juga: Kesejahteraan dan Makna Warga Negara

Kedua, kandidat capres dan caleg semestinya mampu menjelaskan apa saja akar masalah pemenuhan hak-hak asasi warga negara yang berlangsung. Kajian berbagai ilmuwan politik, misalnya, menemukan bahwa ada sekurangnya tiga faktor yang menjelaskan berbagai kemunduran demokrasi dari mulai struktural berupa masih kuatnya oligarki, institusional berupa sistem hukum, dan faktor agensi yang termanifestasi dalam kurangnya komitmen elite pada demokrasi (Warburton dan Aspinall, 2019).

Ketiga, kandidat harus memberikan tawaran solusi atas berbagai masalah yang ada dan menunjukkan apa saja langkah nyata yang akan mereka ambil untuk mengeksekusi jalan keluar yang telah mereka rumuskan. Dalam hal ini, solusi yang tepat hanya akan mungkin dirumuskan jika para kandidat juga memiliki kemampuan diagnosis yang akurat atas akar masalah pemenuhan hak warga negara. Para kandidat perlu memiliki kepekaan untuk menyelami suasana kebatinan mayoritas warga yang merasa bahwa kehidupan mereka makin sulit dan tidak sedang baik-baik saja.

Sayangnya, yang kita lihat sejauh ini adalah pertarungan gimik dan drama yang miskin substansi yang mengarah kepada situasi pacuan kuda (Slater, 2023). Ia adalah situasi di mana para kandidat tampak seperti para penunggang kuda yang berpacu di lintasan dengan ingar bingar sorak-sorai pendukung di pinggir. Ia begitu ramainya sehingga kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya didiskusikan dan dibicarakan. Lebih dari itu, jika kita perhatikan pacuan kuda itu hanya berkutat di sekitar perselisihan di antara elite itu sendiri. Tidak ada warga negara dalam pembicaraan mereka.

Iklan
Ketiga calon presiden (kanan ke kiri), Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketiga calon presiden (kanan ke kiri), Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Membangun dialog

Tak hanya itu, pola kampanye politik para politisi kita tampaknya juga ketinggalan zaman. Alih-alih mengutamakan dialog interaktif yang menjadi ciri komunikasi politik di era revolusi digital (Vedel, 20023), para kandidat kita masih lebih gandrung dengan komunikasi satu arah. Entah mereka sadari atau tidak, mereka masih hidup dalam pengaruh teori Laswell (1942) yang mengatakan bahwa komunikasi adalah tentang siapa mengatakan apa, kepada siapa, melalui medium apa dan dengan efek seperti apa. Teori ini juga sering disebut sebagai teori tembakan peluru di mana komunikasi hanya satu arah.

Hal ini dapat dipahami karena teori ini ditemukan di sekitar Perang Dunia II di mana saat itu hanya ada TV, koran, dan radio dan belum ada internet. Dalam media tradisional seperti itu warga tidak dapat langsung memberikan tanggapan kepada elite politisi.

Sayangnya, sebagian besar kandidat masih hidup di masa lalu dengan mempraktikkan kampanye satu arah.

Ini berbeda dengan era media sosial hari ini di mana warga negara bisa langsung berkomentar di halaman Instagram, X, Tiktok, ataupun Facebook para elite. Sayangnya, sebagian besar kandidat masih hidup di masa lalu dengan mempraktikkan kampanye satu arah. Hasil studi yang penulis lakukan terhadap laman media sosial para kandidat capres/cawapres selama sebulan terakhir baik di Instagram, Meta, X, maupun Tiktok menunjukkan hal ini.

Analisis atas ribuan postingan dari ketiga pasang kandidat yang penulis lakukan selama sekurangnya dua bulan (dari 1 Oktober hingga 30 November 2023) menemukan bahwa sebagian besar pola komunikasi mereka masih berjalan satu arah. Komentar para netizen yang tak jarang muncul di laman mereka nyaris sepenuhnya diabaikan.

Selain itu, sebagian besar konten yang diunggah pun masih berupa gimik yang miskin substansi. Setali tiga uang dengan kandidat capres, komunikasi yang searah juga dilakukan oleh para kandidat caleg yang sebagian besar hanya memasang spanduk dan baliho di pinggir jalan yang sungguh sangat ketinggalan zaman.

Baca juga: Kampanye Menembus Ruang Privat

Ke depan, kampanye yang menghadirkan substansi yang dikemas dalam bentuk dialog interaktif perlu lebih banyak dilakukan oleh para kandidat, bail yang maju pilpres maupun pileg. Melalui dialog, para kandidat tidak hanya dapat menunjukkan penguasaan mereka atas masalah pemenuhan hak warga negara dan peta jalan untuk mengatasinya, tetapi juga kecakapan untuk mendengar aspirasi warga negara yang menjadi ciri khas seorang negarawan.

Komunikasi tidak hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga menerima feedback/mendengar pesan dari warga negara tentang masalah-masalah nyata pemenuhan hak-hak mereka. Dengan menghadirkan substansi dan membangun dialog, maka kampanye akan menjadikan warga negara sebagai subyek dan bukan penonton dari kampanye politik.

Wijayanto, Dosen Media dan Demokrasi Universitas Diponegoro; Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES; Terafiliasi pada Center for Information Resilience (CIR) dan International Panel on Information Environment (IPIE); Ketua Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Nasional untuk Demokratisasi dan Moderasi Ranah Digital Indonesia (Koalisi Damai)

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000