Veto yang Membinasakan
Sikap AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB mengkhawatirkan. Perang Israel-Hamas bisa bereskalasi ke negara-negara lain.
Bagai kisah heroik, akhir sebuah film sudah diketahui penonton sebelum film itu berakhir. Karakter utama tidak pernah mati. Ia membuat karakter lainnya mati.
Seperti itulah Amerika Serikat dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). AS memveto rancangan resolusi untuk meminta penghentian kontak senjata (ceasefire) antara kelompok Hamas dan Israel.
Veto itu sudah diduga sebelumnya. Dengan veto ini, kita semua seolah diberi hak untuk berkesimpulan bahwa AS mendukung pembantaian manusia di Gaza. AS seolah melegitimasi genosida. Kita pun bertanya-tanya, di mana nilai-nilai hak asasi manusia yang selalu didengungkan oleh AS selama ini?
Padahal, politik luar negeri AS dalam banyak hal mencampuri urusan dalam negeri negara-negara tertentu dengan alasan penegakan HAM.
Membiarkan kekerasan berlanjut di Gaza, berarti membiarkan pembantaian. Memveto ikhtiar dunia untuk menghargai harkat dan martabat manusia sama saja dengan melakukan pembantaian itu sendiri.
Veto AS ini identik dengan veto demi pembinasaan atau pemusnahan kelompok perlawanan Hamas. Itu sekaligus berarti membinasakan kelompok ras Arab, Palestina.
Veto AS ini identik dengan veto demi pembinasaan atau pemusnahan kelompok perlawanan Hamas.
Mengapa AS memveto?
Saya yakin, AS bersama Israel memperhitungkan dan berkeyakinan, dalam waktu dekat ini, kelompok perlawanan Hamas dapat dibumihanguskan. Dengan membiarkan perang berlanjut, Hamas akan kewalahan menghadapi teknologi persenjataan Israel. AS dan Israel sepakat, perang di Gaza adalah perang dengan prinsip zero-sum game.
Asumsi itu mereka yakini karena kuantitas dan kualitas alat perang yang digunakan sangatlah tidak berimbang. Israel memiliki segalanya, sedangkan kelompok perlawanan Hamas jauh tertinggal.
Hitung-hitungan inilah yang membuat AS dan Israel sangat optimistis menghabisi Hamas. Mereka berkeyakinan, inilah perang terakhir antara Hamas dan Israel.
Kalkulasi dan kepercayaan diri itu bisa jadi berlebihan dalam dunia nyata. Sebab, yang mereka hadapi adalah orang-orang yang berperang melawan Israel, bukan sekadar ingin mengalahkan, melainkan karena membayangkan surga dalam genggaman. Mati atau hidup bukan lagi persoalan kalkulasi, melainkan keyakinan.
Mereka mewakafkan diri dalam perang melawan Israel. Tidak ada lagi rasa takut dan perhitungan untung-rugi. Militansi mereka dipicu oleh perintah keyakinan bahwa membela hak-hak milik adalah jalan mulus menuju surga. Bagaimana mau melawan tekad dan keyakinan seperti itu?
-
Nasionalisme mengental
Militansi para penggempur Hamas adalah militansi yang berakar dari rasa nasionalisme yang mengental dalam diri mereka. Sejak kanak-kanak, secara otomatis dan alamiah, tertanam dalam diri mereka bahwa tanah mereka dirampas.
Mereka tumbuh dengan rasa membatu untuk membela tanah air yang direbut oleh Israel. Mereka bertekad membebaskan negeri mereka dari pendudukan Israel.
AS dan negara-negara Barat pendukung Israel perlu belajar dari pengalaman kolonialisasi yang mereka lakukan di pelbagai belahan dunia dirontokkan oleh rasa nasionalisme masing-masing negara yang mereka duduki itu.
Dengan rasa nasionalisme juga, AS dipecundangi oleh Vietnam. AS dipermalukan secara sistematis dan tak kuasa berbuat apa pun untuk menebus rasa malu itu.
Di Afghanistan, dua puluh tahun AS menduduki negeri para mullah itu, selama itu pula AS menanggung rasa malu. Negeri yang dijuluki adidaya itu lumpuh oleh nasionalisme pejuang Taliban yang bertekad membebaskan negeri mereka dari pendudukan AS. Demi menyelamatkan muka, AS menandatangani pakta perjanjian dengan Taliban pada Februari 2020.
Apabila kecanggihan dan keandalan teknologi persenjataan kini menjadi dasar untuk memastikan terhapusnya Hamas di Gaza, bagaimana dengan perlawanan terhadap AS di Vietnam dan Afghanistan?
Kenyataannya, peralatan militer AS yang berteknologi tinggi tidak mampu menaklukkan para pejuang Vietnam dan Afghanistan yang bermodal rasa nasionalisme.
Sikap AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB sangat mengkhawatirkan. Perang yang selama ini hanya berfokus pada dua aktor utama, yakni Israel dan Hamas, bisa bereskalasi ke negara-negara lain. Keamanan dunia pun bakal makin jauh. Ini juga akan berdampak terhadap penurunan ekonomi yang bakal menyengsarakan umat manusia, termasuk rakyat AS sendiri.
Sikap AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB sangat mengkhawatirkan.
Kekhawatiran kedua, segala ikhtiar damai yang diprakarsai AS selama ini bakal terhapus dalam memori sejarah umat manusia. Di antaranya, Perjanjian Camp David yang disponsori Presiden Jimmy Carter tahun 1979 dengan melibatkan Mesir dan Israel, serta Perjanjian Oslo tahun 1993 yang disponsori Presiden Clinton dan melibatkan Israel dan PLO.
Selain itu, juga Abraham Accords pada 2020 yang disponsori Presiden Donald Trump dengan melibatkan Uni Emirat Arab, Israel, Sudan, Maroko, dan Bahrain.
Jejak-jejak perdamaian yang disponsori oleh AS tersebut bakal tersapu dan kehilangan jejak, tertimbun oleh debu gurun sahara Gaza.
Padahal, sempat terbit harapan akan perdamaian di Timur Tengah ketika atas peran China, Arab Saudi sudah duduk semeja dengan Iran.
Di sisi lain, isyarat jelas dari Arab Saudi untuk mengikuti jejak Abraham Accords, saling menghargai dengan Israel, bisa buyar. Padahal, perdamaian di Timur Tengah banyak dipengaruhi posisi Arab Saudi dan Iran. Semuanya bisa buyar dengan veto AS itu.
Kepentingan pemilihan presiden di AS kerap berkaitan langsung dengan kebijakan luar negerinya. Jangan-jangan veto yang membinasakan bangsa Palestina itu juga pengulangan metodologis oleh Presiden Joe Biden untuk kembali memenangi pemilihan presiden pada tahun depan.
Baca juga : Dunia Desak Gencatan Senjata di Gaza, Israel Kian Terisolasi
Hamid Awaludin Menteri Hukum dan HAM RI Periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007