Kita perlu pisah dari tes PISA ketika pendidikan belum berkontribusi terhadap perubahan sosial ekonomi.
Oleh
ROBERT BALA
·3 menit baca
”Kegembiraan” kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek menanggapi hasil program penilaian pelajar internasional (Programme for International Student Assessment/PISA) 2022 menarik perhatian. Meskipun secara skor turun, secara peringkat Indonesia naik 5 bahkan 6 posisi dibandingkan pada 2018.
Namun, apakah survei yang dilakukan terhadap 700.000 siswa (14.000 di antaranya dari Indonesia) dari 81 negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) tersebut bisa menjadi alasan bagi kita untuk tersenyum secara wajar? Atau, apakah kemajuan peringkat hanya karena negara lain lebih jatuh secara ”aksidental” oleh pandemi Covid-19, sementara kita kebetulan lebih gesit?
Dalam artikelnya, ”Qué explica el éxito mediático del Informe PISA” 2011, Joaquim Prats mengungkapkan kepincangan yang perlu disadari dari survei PISA. Menurut akademisi dari Universitas Barcelona, PISA yang dimulai pada tahun 2000 ditempatkan sebagai salah satu cara untuk memahami manajemen publik khususnya produksi pelayanan publik yang harus dilakukan dan dievaluasi secara kuantitatif. Hasil PISA, misalnya, digunakan oleh berbagai sektor sosial, terutama bisnis, sebagai ukuran ”produksi” pendidikan yang ketat dalam skala global di mana sistem pendidikan diukur menurut skala kinerja.
Pada sisi lain, dengan mengutip W Apple, Prats memperingatkan tentang bahaya subordinasi pendidikan yang berlebihan terhadap perekonomian. Artinya, secara data, kita bisa saja menghibur diri karena telah mengalami peningkatan dalam peringkat. Namun, sebenarnya kita terkecoh karena hal itu tidak berimbas secara signifikan dalam hal peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Malah kenaikan itu bisa saja secara ironis terjadi karena negara lain mengalami kejatuhan yang lebih besar. Ibarat lomba lari, kita menjadi juara hanya karena lawan mengalami cedera di tengah jalan.
Tidak hanya itu. Megutip Eduardo Backhoff dalam artikelnya yang berjudul ”¿Cómo interpretar los resultados de México en PISA?” 2016, kita tersadarkan bahwa hasil PISA merupakan gambaran dari sebuah proses panjang. Ia bukan hasil dari sebuah usaha sporadis-momental, misalnya selama pandemi. Bahkan alasan mengapa tes diberikan untuk anak berusia 15 tahun merupakan periode di mana ia akan segera menyelesaikan pendidikan dasar dan mulai bersiap ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil PISA merupakan gambaran dari sebuah proses panjang. Ia bukan hasil dari sebuah usaha sporadis-momental, misalnya selama pandemi.
Apabila kita sepakat dengan pemahaman ini, tentu berlebihan—malah di luar jalur—ketika kita hanya mengevaluasi pencapaian PISA dengan mengaitkannya dengan kurikulum yang berlaku saat itu. Mengapa? Sebab, yang diukur lebih kepada keterampilan intelektual (penalaran dan pemecahan masalah) yang merupakan buah dari sebuah proses sejak pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebelumnya.
Penguasaan konsep dan pengetahuan dipahami sebagai hasil dari apa yang mereka pelajari baik di dalam maupun di luar sekolah. Hasil PISA, karena itu, merupakan indikator modal intelektual yang dimiliki suatu negara sehingga tanggung jawab untuk memperoleh nilai yang lebih baik atau lebih buruk tidak hanya menjadi tanggung jawab sistem pendidikan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Kontekstual
Kesadaran akan kejanggalan persepsi terhadap PISA mestinya bermuara kepada pertanyaan: bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap hasil tes PISA?
Pertama, mengacu kepada Backhoff, kita mesti sadar bahwa peningkatan skor ataupun peringkat PISA tidak hanya bergantung kepada guru, hal mana sering disalahtafsirkan. Memang, pelatihan 800.000 guru sebagaimana disampaikan Mendikbudristek penting, tetapi ia perlu dikoneksi dengan konteks ekstrakukuler sebagai muara implementatif yang harus menjadi indikatornya.
Hal tersebut mengandaikan keterlibatan berbagai pihak sebagaimana ditulis Fernando Reimers dalam ”Revista Mexicana de Investigación Educativa”, 2000. Menurut dia, penelitian pendidikan telah menghasilkan selama bertahun-tahun, informasi yang menyatakan bahwa hasil pembelajaran bergantung kepada banyak faktor, yang melibatkan aspek yang melekat pada sekolah dan aspek eksternal, selain pentingnya interaksi di antara kedua jenis faktor tersebut, dan bukan hanya guru.
Itu artinya, Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak bisa saja berimbas terhadap penguatan konten pendidikan, tetapi minim kontribusi terhadap peningkatan skor ataupun peringkat ketiga aneka faktor terkait tidak dikembangkan secara bersamaan. Pada sisi ini, kita mengapresiasi tujuh program prioritas Kemendikbudristek yang perlu dikemas lebih ”indonesianis” tanpa terlalu mengoleh terhadap apa yang dikatakan PISA.
Kedua, kita perlu pisah dari PISA ketika pendidikan kita belum memiliki kontribusi terhadap perubahan sosial ekonomi. Memang, hal ini terkesan sangat pragmatis-ekonomis karena hanya memahami pendidikan secara sangat fragmentaris dan tidak utuh. Namun, justru hal inilah yang menjadi logika di balik tes PISA yang secara terang-terangan dilakukan oleh OECD.
Apabila demikian, pembelajaran berbasis proyek (project based learning), misalnya, perlu menjadi komitmen. Di sana diharapkan proses pendidikan bermuara pada aksi yang dapat membekali siswa dengan sejumput keterampilan untuk dapat menyejahterakan hidupnya kemudian.
Tanpa kesejahteraan (apalagi kemakmuran), maka hasil terbaik tes PISA hanya akan menjadi sebuah impian. Kita (Indonesia) ibarat ingin memeluk gunung, tetapi apa daya tangan tak sampai. Niscaya negara yang luas dengan penduduk ratusan juta dengan kompleksitas persoalan tidak akan mengejar untuk menempati piramida teratas.
Kalau demikian, kita perlu kembali melihat konteks negeri ini dengan aneka kekayaan tidak saja material, tetapi juga sosial budaya dan lingkungan yang jadi bahan belajar kita. Di sanalah pendidikan kontekstual. Agar sampai ke sana, tentu syaratnya hanya satu: kita perlu pisah dari mimpi PISA.
Robet Bala, Pengajar pada Akademi Perhotelan Tunas Indonesia