Operasi Lintas Batas Sains dan Politik
Pengalaman Oppenheimer menyadarkan kita tentang norma yang harus dipegang oleh ilmuwan dan dipraktikkan dalam perilaku.
Cerita tentang idealitas seorang ilmuwan tecermin dengan sangat tepat di film Oppenheimer. Film ini mengambil latar belakang perjalanan hidup ilmuwan ternama, Robert J Oppenheimer, bapak penemu bom atom.
Cerita bermula ketika Oppenheimer menempuh studi di Eropa, tepatnya Cambridge University, dan kemudian berpindah ke University Göttingen dalam bidang ilmu fisika. Setelah studi yang ditempuhnya selesai, Oppenheimer kembali ke negara asalnya, yaitu Amerika Serikat.
Oppenheimer melanjutkan profesi sebagai akademisi di beberapa universitas ternama di AS. Kecerdasan, karisma, dan kuatnya jaringan akademik dari Oppenheimer menarik perhatian Pemerintah AS untuk merekrutnya menjadi pimpinan proyek pembuatan bom atom bernama Manhattan Project.
Sebagai pimpinan proyek, Oppenheimer merekrut beberapa ilmuwan terbaik dari penjuru negeri untuk merancang skenario yang tepat dalam pengembangan bom atom.
Pemerintah AS mengeluarkan dana besar untuk pengembangan ini dengan membuat kota bernama Los Alamos beserta kelengkapan kebutuhan untuk digunakan sebagai tempat pengembangan bom atom.
Skema pengembangan atom tidak berjalan mulus sesuai yang didesain para ilmuwan. Salah satu sebabnya ialah kontestasi kepentingan dari beragam aktor, baik antara ilmuwan dengan ilmuwan maupun ilmuwan dengan pemerintah.
Skema pengembangan atom tidak berjalan mulus sesuai yang didesain para ilmuwan.
Dorongan intervensi ini disebabkan setiap aktor memiliki imajinasi tersendiri tentang bentuk, kekuatan, dan jenis komposisi bahan pada bom atom, terkhusus peruntukan bom atom ketika dapat dibuat. Apakah bom atom hanya sebagai kekuatan simbolik pemberian rasa ”takut” bagi negara-negara komunis atau bom atom digunakan sebagai senjata penghancur dalam mengakhiri perang dunia?
Oppenheimer memegang teguh prinsip bahwa bom atom hanya sebagai symbolic of power dan pengembangan bom atom adalah bentuk penelitian untuk mengaplikasikan teorisasi yang selama ini dipelajarinya.
Norma Mertonian
Kegigihan Oppenheimer mengingatkan kita tentang prinsip utama ilmuwan, prinsip untuk tetap pada jalur produksi pengetahuan. Ilmuwan harus terlepas dari kepentingan politik dan berfokus terhadap pengembangan ilmu.
Prinsip ini disebut sebagai struktur normatif ilmu pengetahuan (Anderson, et al, 2010). Struktur normatif ilmu pengetahuan merupakan gagasan tentang penyesuaian. Caboni (2010) mengatakan bahwa tanpa struktur normatif, ilmuwan cenderung bebas bertindak sesuai keinginannya.
Dalam hal ini, karya klasik Robert Merton pada 1942 memprakarsai struktur normatif di kalangan ilmuwan yang disebut Norma Mertonian.
Pemikirannya membagi struktur normatif ilmu pengetahuan menjadi empat norma, yaitu komunalisme, universalisme, ketidaktertarikan, dan skeptisisme terorganisasi.
Film Oppenheimer yang berkisah tentang fisikawan sekaligus Bapak Bom Atom. Film ini seakan menjadi cerminan yang realistis pada kondisi dunia saat ini. Kengerian dan kekhawatiran akan terjadi kembali perang nuklir kini mulai terasa kembali.
Komunisme menjelaskan bahwa produk ilmu pengetahuan dimiliki oleh masyarakat, bukan milik perseorangan. Universalisme menjelaskan bahwa validitas ilmiah tidak bergantung pada status sosial ilmuwan. Dengan kata lain, tidak ada penyimpangan sosial, seperti identitas dan etnis (Anderson, et al, 2010).
Norma ketiga adalah ketidaktertarikan. Gagasan norma ini mengungkapkan integritas seorang ilmuwan untuk terlepas dari kepentingan pribadi dan kepentingan lain (Anderson, et al, 2010; Kim & Kim, 2018). Ilmuwan tidak boleh terikat secara emosional atau finansial pada pekerjaan mereka (Macfarlane & Cheng, 2008; Bielinski, & Tomczynska, 2019).
Terakhir, skeptisisme norma yang terorganisasi. Gagasan pokok norma ini merupakan syarat epistemik untuk menggambarkan pemeriksaan kritis terhadap klaim penelitian yang dilakukan para ilmuwan.
Norma Mertonian telah dipegang teguh oleh Oppenheimer saat Manhattan Project dilaksanakan. Keteguhannya terlihat dalam tindakan demi tindakan, semisal pertukaran informasi ataupun perspektif tentang komponen bom atom di antara para ilmuwan (salah satunya Albert Einstein) walaupun di antaranya terdapat perbedaan visi. Contoh ini menguatkan bahwa ilmuwan memegang teguh prinsip komunalisme dan skeptisisme norma yang terorganisasi.
Kontroversi Oppenheimer dengan Pemerintah AS menguat setelah pengujian bom atom berhasil. Oppenheimer menekankan bom atom menjadi puncak karya aplikatif dari pengetahuannya. Di sisi lain, Pemerintah AS memiliki interpretasi senjata kuat berada di genggamannya.
Kontroversi Oppenheimer dengan Pemerintah AS menguat setelah pengujian bom atom berhasil.
Kuatnya kepentingan pemerintah (dan kondisi perang/eksternal saat itu) serta kepemilikan dana dari pemerintah membuat keteguhan hati dan norma ilmuwan yang dianut Oppenheimer tersisihkan. Kalangan saintifik kalah dengan keputusan politik. Akhirnya, bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam periode yang sama.
Jalan ketiga
Pengalaman Oppenheimer menyadarkan kita tentang norma yang harus dipegang teguh oleh ilmuwan dan dipraktikkan dalam perilaku. Di sisi lain, dari Oppenheimer kita turut belajar tentang pentingnya kekuatan politik dalam mendorong perhitungan saintifik dalam keputusan-keputusan strategis.
Kecenderungan selama ini, termasuk di Indonesia, ilmuwan berperan hanya sebagai instrumen ”justifikasi” dari para pemangku kebijakan tentang langkah yang akan mereka ambil. Keputusan tentang visi transisi energi, misalnya, melibatkan beragam pertimbangan saintifik para ilmuwan dalam proses transisi, baik dari kelembagaan maupun kesiapan publik.
Akan tetapi, intervensi untuk memasukkan perhitungan saintifik luluh lantak tatkala dihadapkan pada kepentingan oligarki. Pemerintah cenderung menerapkan pendekatan transisi inovasi yang radikal dibandingkan dengan pendekatan inkremental (Geels, 2002) yang justru memperkuat ketegangan antara pemerintah dan publik.
Atas dasar itu, diperlukan sosok lintas batas antara sains dan politik atau yang disebut sebagai boundary person (Halffman, 2003). Idealitas yang dibayangkan Halffman (2003) bahwa ilmuwan dapat berperan ganda dalam penguatan sains dan politik secara bersamaan.
Batas-batas kepentingan praktis di antara ilmuwan dan politisi dapat dinegosiasikan serta dicari keseimbangan antara pengetahuan saintifik dan pengetahuan praktikal dari negara (Jasanoff, 2004). Ketika keseimbangan dapat ditemukan, itu akan berdampak besar terhadap keputusan-keputusan demokratis.
Produk akhir ini yang akrab dikenal sebagai scientific-based policy. Atas dasar itu, ilmuwan perlu untuk dapat beroperasi dalam lintas batas sains dan politik dengan tetap berpegang teguh pada norma ilmuwan.
Tujuannya agar dalam dimensi praktis, keputusan-keputusan strategis di Indonesia dapat berlandaskan pengetahuan saintifik, bukan hanya sebagai kamuflase.
Baca juga : Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Arga Pribadi ImawanDosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada