Kebijakan restriksi perdagangan dan investasi lintas batas negara yang unilateral melonjak tajam satu dekade terakhir.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Meningkatnya restriksi dagang dan proteksionisme menjadi salah satu ancaman terbesar perdagangan global yang tahun ini diprediksi hanya tumbuh 0,8 persen.
Dalam setahun terakhir, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) mencatat lonjakan angka restriksi perdagangan yang dinilai bisa menghambat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global (Kompas, 9/12/2023).
Proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia 0,8 persen pada 2023 lebih rendah daripada prediksi sebelumnya, yakni 1,7 persen. WTO bahkan mengingatkan, perlambatan pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini dan tahun depan bisa lebih tajam jika restriksi perdagangan serta proteksionisme berlanjut.
Tren peningkatan proteksionisme sebenarnya bukan baru terjadi sekarang. Kebijakan restriksi perdagangan dan investasi lintas batas negara yang sifatnya unilateral, dalam catatan Dana Moneter Internasional (IMF), melonjak tajam satu dekade terakhir. Lonjakan restriksi perdagangan ini membalikkan tren liberalisasi yang terjadi selama abad ke-20.
Tahun lalu, jumlah restriksi baru dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi melonjak 14 persen dibanding pada 2021, mencapai 2.600 kasus, atau enam kali lipat tahun 2013.
Lonjakan tajam terutama terjadi selama pandemi Covid-19, dalam bentuk restriksi ekspor barang medis seperti vaksin. Peningkatan tajam restriksi ekspor/impor juga terjadi selama perang Rusia-Ukraina serta perang dagang Amerika Serikat-China.
Ada kekhawatiran, fragmentasi geoekonomi yang terjadi sekarang akan menuntun pada terbelahnya dunia menjadi dua blok perdagangan yang eksklusif. Kubu pertama merupakan kelompok negara yang beraliansi dengan AS dan Uni Eropa. Kubu kedua terdiri atas negara-negara yang beraliansi dengan China dan Rusia.
Ketegangan geopolitik, terutama sebagai efek perang dagang AS-China dan perang Rusia-Ukraina, juga memunculkan fenomena friendshoring, near-shoring, reshoring, yakni banyak negara cenderung hanya mau berdagang dengan negara yang dekat, dianggap sebagai teman, atau memiliki kesamaan aliansi politik. Fenomena ini juga akan membentuk pola rantai pasok global ke depan dan arah ekonomi dunia.
Fragmentasi global ini, dalam perhitungan IMF, berpotensi mengakibatkan hilangnya secara permanen 2,3 persen produk domestik bruto (PDB) global. Indonesia dan negara berkembang lain dirugikan akibat hilangnya akses ke pasar penting, baik ekspor maupun impor.
Banyak negara cenderung hanya mau berdagang dengan negara yang dekat, dianggap sebagai teman, atau memiliki kesamaan aliansi politik.
Melonjaknya proteksionisme terjadi sejalan dengan munculnya fenomena deglobalisasi, terutama setelah sejumlah negara maju memilih mundur dari kesepakatan perdagangan bebas dan berpaling ke kebijakan proteksionisme dan nasionalis.
Dalam jangka pendek, langkah restriksi perdagangan, yang ditujukan untuk melindungi produk, industri, atau kepentingan dalam negeri, mungkin akan menyelamatkan ekonomi.
Namun, pada akhirnya, perdagangan dunia bukanlah zero-sum game. Prospek perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia akan tergantung, antara lain, pada sejauh mana negara-negara di dunia secara bersama-sama mampu membalikkan tren fragmentasi serta proteksionisme yang mengancam sistem multilateralisme global.