Akhir Peradaban?
”Genome sequencing” membuat manusia bisa diedit ketika masih janin dalam kandungan demi menciptakan manusia super. Ada kekhawatiran teknologi ini bisa untuk kepentingan militer dan kejahatan.
Kemajuan teknologi memang menawarkan berbagai kemudahan. Namun, kadang teknologi memisahkan manusia dari dirinya sendiri dan juga dari kemanusiaan. Dampak terburuk dari teknologi adalah dehumanisasi atau bahkan musnahnya peradaban atau eksistensi manusia. Karena itu, salah satu pertanyaan yang sering menghinggapi ilmuwan sosial di era teknologi canggih saat ini adalah bagaimana masa depan umat manusia dan bagaimana teknologi tidak menjadi alat yang memenjarakan manusia dari kemanusiaannya?
Pertanyaan di atas di antaranya yang dibahas dalam Muktamar Pemikiran NU di Pondok Gede, 1-3 Desember 2023, yang mengangkat tema Imagining the Future Society. Dalam paparan di sana, saya menyampaikan dua temuan terbaru dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah membuat sebagian manusia gelisah, yaitu Kecerdasan Buatan (AI) dan rancang bangun manusia super. Kedua temuan iptek tersebut tidak hanya dikhawatirkan mengubah tatanan kehidupan manusia, tetapi juga menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.
Pada pertemuan Science20 (S20) dalam rangkaian G20 di India tahun ini, beberapa kali dibahas bahwa AI bisa diibaratkan sebagai ’black box’, sebuah misteri dan tanda tanya bagi kita semua.
Pada pertemuan Science20 (S20) dalam rangkaian G20 di India tahun ini, beberapa kali dibahas bahwa AI bisa diibaratkan sebagai black box, sebuah misteri dan tanda tanya bagi kita semua. Kita saat ini berada dalam tahapan eforia dengan temuan ini. Kita senang dan gegap gempita menggunakannya. Namun, harus disadari bahwa AI itu, sesuai namanya, adalah learning machine yang bisa self-generating, berkembang biak sendiri, berkembang berkali lipat secara cepat, dan terus berevolusi. Ia juga merupakan data mining system yang memiliki memori dan mampu menyintesiskan data dan berbagai pertanyaan yang diterimanya.
Saat ini barangkali terlihat feeling-nya masih lemah, tetapi feeling dan sense-nya sudah terbentuk dan semakin membaik. Ia mampu menciptakan puisi, lagu, dan bahkan meniru membuat ayat-ayat seperti tertulis dalam kitab suci. Kita bisa mendapatkan jawaban yang menarik dan bagus jika kita mampu mengajukan pertanyaan secara tepat dan presisi. Karena itu, tanpa pemahaman dan tatanan atau aturan yang benar terhadap teknologi ini, kita bisa saja akan berada pada catastrophic breakdown atau shut down.
Pada edisi yang terbit 12 Juni 2023 lalu, majalah Time membuat laporan tentang AI dengan cover bertuliskan ”The End of Humanity” (akhir umat manusia). Huruf A dan I (yang mengacu pada AI) pada cover itu dibuat berwarna putih menyala.
Baca juga: Analisis Budaya: Pemilu 2024
Seperti ditulis Usman Kansong, ”AI bukan cuma mengatur hidup manusia, melainkan juga mendehumanisasi kita. AI dalam praktiknya mendegradasi manusia sebagai sekumpulan data (datafication of human)” (Kompas, 5 Juli 2023). Pada beberapa negara, AI ini juga difungsikan sebagai alat untuk surveillance atau memata-matai dan mengontrol warga negaranya.
Temuan lain yang menggelisahkan adalah teknologi terkait cetak biru manusia. Proyek untuk mengurutkan genome (cetak biru informasi genetik) ini sudah dimulai oleh the Telomere-to-Telomere (T2T) Consortium sejak 2000 dan baru lengkap semuanya pada 2022 lalu. Seperti tertulis dalam ”The complete sequence of a human genome” (Nurk dkk, Science 2023), total genom (keseluruhan informasi genetika) yang telah berhasil sepenuhnya dipetakan dan diurutkan berjumlah 3.055 miliar urutan pasangan dasar genom manusia.
Konsorsium yang terdiri dari sekitar 100 ilmuwan dari berbagai negara ini telah melakukan riset terus-menerus untuk mengisi 8% dari lubang yang ada sejak draf awal. Setelah bekerja lebih dari 20 tahun, akhirnya urutan cetak biru manusia itu berhasil disusun secara lengkap.
”Memiliki urutan genom manusia secara lengkap pada dasarnya dapat dianalogikan seperti memiliki semua lembaran manual yang diperlukan untuk membuat tubuh manusia,” tulis Djoko Santoso (Kompas, 20 April 2022).
Dengan mengubah susunan DNA (’genome editing’), kita bisa membayangkan lahirnya manusia super yang tinggi, kuat, tak berpenyakit, atau bahkan tak memiliki rasa sakit, dan sangat cerdas.
Temuan ini membuat kita memahami asal berbagai variasi manusia dengan ras, warna kulit, rambut, postur fisik, mata, golongan darah, dan sebagaianya. Dengan mengubah susunan DNA (genome editing), kita bisa membayangkan lahirnya manusia super yang tinggi, kuat, tak berpenyakit, atau bahkan tak memiliki rasa sakit, dan sangat cerdas. Dalam jangka pendek, temuan ini membuat kita memahami mutasi genetik dan berbagai penyakit yang ada di diri manusia dan memunculkan berbagai terapi baru untuk mengobatinya.
Baca juga: Analisis Budaya: Pahlawan dalam Ekonomi Perhatian
Secara lebih panjang, dengan diketahui dan dipahaminya cetak biru dari rancang bangun manusia super dengan melihat pada genome sequencing, maka seperti disampaikan Adam Phillippy, wakil ketua konsorsium T2T, kita seperti ”Memakai kacamata baru. Sekarang kita bisa melihat semuanya dengan jelas” (Devlin, The Guardian, 2022).
Dengan genome editing atau genome sequencing ini, maka manusia bisa ”diedit” ketika masih berbentuk janin dalam kandungan. Jika ada penyakit bawaan, bisa dihilangkan. Bayi yang dikandung oleh ibu dengan HIV mestinya juga terkena HIV. Namun, dengan penyuntingan DNA, penyakit itu bisa dihilangkan dari tubuh bayi. Teknologi ini secara teori bisa mewujudkan mimpi lahirnya manusia-manusia super atau unggul di dunia ini. Kekhawatirannya, seperti ditampilkan dalam beberapa film terkait manusia super, adalah teknologi ini dipakai untuk membuat tentara-tentara super yang kejam, tanpa nurani, dan tak memiliki nilai kemanusiaan (Santoso 2022).
Mimpi mencipta manusia super itu pernah muncul pada zaman Nazi dengan breeding program atau program pembiakan manusia. Hitler dan kawan-kawannya mengumpulkan orang-orang muda tercantik dan terganteng untuk kemudian ditempatkan di sebuah tempat agar memproduksi manusia super. Kini cita-cita itu bisa terealisasikan dengan perkembangan teknologi.
Kekhawatiran kita terhadap penggunaan teknologi baru sering disebut terlalu berlebihan. Dulu, ketika mesin cetak ditemukan, pihak gereja dan pemuka agama begitu khawatir bahwa itu akan mengubah otoritas keagamaan dan tatanan masyarakat. Demikian juga dengan pengaruh televisi dan juga media sosial yang membuat manusia kehilangan kedekatan dengan mereka yang di dekatnya dan termakan gawai. Kini, dengan kehadiran AI dan genome editing/sequencing dan cetak biru manusia super, kita juga memiliki kekhawatiran yang sama.
Apakah kecemasan itu menjadi kenyataan atau kita bisa mengatasi temuan-temuan teknologi seperti yang dahulu? Itu semuanya bagaimana kita mengantisipasi dan mengaturnya. Namun, sering kali kita berjalan tergopoh-gopoh dan tertinggal di belakang dalam kaitannya dengan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti ini. Dan, teknologi itu yang pada akhirnya menentukan manusia.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)