Saatnya Pelabuhan Indonesia Bertransformasi
Sudah saatnya para pemangku kepentingan pengelolaan pelabuhan di Indonesia ”mengangkat jangkar”, kemudian siap berlayar mengarungi tantangan ”gelombang” dan ”cuaca” dengan komitmen pada perbaikan di sektor logistik.
Harian Kompas edisi Rabu (29/11/2023) memuat warta bertajuk ”Hong Kong, Kaki Naga yang Berambisi Mencengkeram Separuh Dunia”. Tulisan yang mengibaratkan posisinya yang berada di kaki ”Sang Naga” China, mengutip asa dan tekad Hong Kong memperkokoh kedudukan sebagai simpul ekonomi di kawasan Asia Pasifik.
Hong Kong diberitakan berupaya memperkuat industri maritimnya melalui kemitraan dan aliansi dengan kota-kota pelabuhan lain di China bagian selatan. Mereka tergabung dalam kawasan ekonomi Greater Bay Area (GBA) yang terdiri dari Hong Kong, Makau, dan Guangdong.
Sementara Indonesia merupakan negara kepulauan bercorak maritim dengan lebih dari 17.000 pulau dan 2.439 pelabuhan. Ribuan pelabuhan yang terbentang di Nusantara ini terdiri dari pelabuhan yang dikelola BUMN, unit pelaksana teknis (Kementerian Perhubungan), terminal khusus, dan TUKS (terminal untuk kepentingan sendiri).
Data dari Badan Pusat Statistik (2022) menyebutkan, 90 persen pergerakan barang ekspor dan impor di Indonesia dilayani melalui pelabuhan. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi tempat bongkar barang impor utama dengan porsi 37,67 persen atau senilai 89.445,6 juta dollar AS.
Salah satu pelabuhan yang disiapkan untuk melayani kegiatan ekspor dan impor adalah Patimban di Subang, Jawa Barat. Saat ini Pelabuhan Patimban tengah dalam proses penyelesaian tahap 1, yaitu penyelesaian terminal peti kemas seluas 35 hektar dengan kapasitas 250.000 TEUs dan terminal kendaraan seluas 25 hektar dengan kapasitas 218.000 CBU.
Pada tahun 2027, Patimban diharapkan menjadi pelabuhan besar yang difungsikan untuk kegiatan ekspor industri otomotif dan logistik dari Indonesia ke luar negeri. Hal ini tentu tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat, tetapi juga secara nasional, dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam perekonomian global.
Namun, sangat ironis bahwa saat ini kinerja pelabuhan di Indonesia sebagai bagian dari titik krusial rantai pasok nasional dan global masih belum menggembirakan. Padahal, sistem rantai pasok berujung tombak pada aktivitas logistik yang ditentukan melalui imbal tukar BMW (biaya, mutu, dan waktu).
Kunci keberhasilan dalam logistik ini ditentukan melalui penciptaan keseimbangan di antara ketiganya. Biaya logistik nasional yang tinggi, seperti yang dikeluhkan banyak kalangan, dapat ditekan apabila kinerja operasional pelabuhan di Indonesia secara terus-menerus diperbaiki dan dituntut lebih efisien.
Salah satu indikator yang menjadi penentu kinerja tersebut adalah Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang dirilis oleh Bank Dunia. LPI Bank Dunia menganalisis negara-negara melalui enam indikator.
Pertama, efisiensi bea cukai dan izin pengelolaan perbatasan. Kedua, kualitas infrastruktur terkait perdagangan dan transportasi. Ketiga dan keempat berturut-turut kemudahan mengatur pengiriman jalur internasional dengan harga murah/bersaing dan kompetensi serta kualitas layanan logistik. Kelima, kemampuan untuk melacak kiriman dan akhirnya, ketepatan waktu pengiriman.
Pelabuhan berfungsi sebagai penghubung utama dalam sistem distribusi dan transportasi dan sebagai penghubung moda transportasi laut dengan moda transportasi lainnya.
Daya saing pelabuhan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan internal, tetapi juga dipengaruhi kinerja jejaring rantai pasok. Kinerja pelabuhan sangat dipengaruhi oleh strategi dan kebijakan yang diambil tiap-tiap pemangku kepentingan.
LPI 2023 menempatkan negeri ini pada peringkat ke-63 dari 139 negara. Indonesia turun 17 peringkat dari peringkat ke-46 pada tahun 2018 dengan skor 3 (dari kemungkinan 5) dibandingkan 3,15 pada lima tahun lalu.
Kemerosotan ini terjadi karena beberapa negara tetangga di Asia mengalami kemajuan, seperti Hong Kong menempati 10 besar, Filipina yang naik 17 peringkat (dari 60 ke 43), Malaysia yang naik 11 peringkat (dari 41 ke 30), dan Singapura yang naik dari peringkat ke-7 menjadi peringkat pertama.
Pertanyaannya adalah, mengapa LPI Indonesia anjlok dan sektor pelabuhan kita masih belum kompetitif, dan apa yang bisa kita pelajari dari negara-negara maju tersebut? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab mengingat lambannya perbaikan yang dilakukan.
Belajar dari pengalaman Hong Kong, ada dua inisiatif strategis yang perlu menjadi prioritas para pemangku kepentingan pelabuhan di Tanah Air, yaitu percepatan transformasi digital dan penguatan aliansi strategis.
Pertama, seperti halnya industri lain, sektor pelabuhan juga terkena dampak usikan digital (digital disruption). Teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dan jangkauan organisasi, termasuk manajemen, operasi, dan asetnya. Teknologi informasi yang dipadukan dengan kepemimpinan strategis dapat mendukung transformasi digital dalam kegiatan pelabuhan.
Transformasi ini menyiratkan perubahan budaya yang mengharuskan perusahaan untuk terus menantang status quo serta melakukan perubahan dan perbaikan berkelanjutan.
Secara teoritis, transformasi digital mengajak perusahaan mengadopsi gagasan-gagasan utama yang berdampak pada tata kelola organisasi, termasuk strategi dan model bisnis digital mana yang harus diperbaharui.
Tantangan umum perusahaan ini juga dapat ditemukan di sektor pelabuhan, logistik, dan pelayaran. Umpamanya, perusahaan pelabuhan dan logistik melakukan pendekatan yang berpusat pada pelanggan dengan menyesuaikan tujuan dengan memasukkan indikator kinerja utama yang mengukur kepuasan pelanggan. Dan bila perlu, mengubah proses bisnis yang dianggap tidak efisien.
Keandalan layanan di era digital menyiratkan bahwa perusahaan dapat memberikan layanan dan harus melakukannya secara aman, nyaman, efisien, serta konsisten.
Pada tahun 2015, pemerintah telah meluncurkan platform digital Inaportnet. Platform ini dimaksudkan sebagai wahana koordinasi untuk kegiatan para pemangku kepentingan sektor pelabuhan, antara lain kepala pelabuhan dan/atau pelaksana pelabuhan, operator pelabuhan, dan perusahaan pelayaran.
Akan tetapi, menurut data Kementerian Perhubungan, pada tahun 2022 digitalisasi dalam kegiatan pelabuhan masih menghadapi berbagai tantangan dan hasilnya hingga saat ini belum menjanjikan.
Tercatat hanya 109 pelabuhan yang telah menerapkan Inaportnet dari total semua pelabuhan yang beroperasi di Tanah Air. Jadi, dalam kurun waktu delapan tahun sejak dicanangkan, hanya 4,4 persen yang menerapkan platform tersebut.
Kedua, kunci daya saing lain berkaitan dengan perlunya membangun aliansi strategis. Bisnis logistik dan kepelabuhan melibatkan banyak pihak, antara lain operator pelabuhan, pemerintah selaku regulator, perusahaan pelayanan, jejaring transportasi antarmoda, perusahaan digital, serta pengguna jasa logistik lainnya.
Bisnis ini memerlukan peningkatan kapabilitas pengelolaan para pemangku kepentingan.
Pada intinya, di lapangan, kapabilitas ini ditunjang oleh kemampuan berjejaring terkait dengan hubungan relasional dan komunikasi dengan pihak-pihak tertentu.
Jika semua pelabuhan bisa terkoneksi secara digital, hal itu akan mempermudah evaluasi kinerja di setiap pelabuhan. Kemudahan ini diharapkan mampu menekan baik waktu tunggu kapal maupun waktu keluarnya barang dari pelabuhan sampai di tangan penerima.
Setiap pemangku kepentingan pelabuhan memiliki tujuan, kepentingan, kebijakan, pengelolaan, dan kepemilikan yang berbeda dan mungkin terdapat kolaborasi serta persaingan di antara mereka.
Pelabuhan tidak hanya merupakan komponen terpadu dalam sistem transportasi laut, tetapi juga berperan sebagai subsistem utama sistem produksi global, simpul penting dalam rantai pasok, serta komponen kunci yang menentukan daya saing dan kinerja perekonomian suatu negara.
Oleh karena itu, kolaborasi antarpemangku kepentingan pelabuhan menjadi sangat krusial dan strategis. Kolaborasi dapat menentukan produktivitas operasional pelabuhan yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing pelabuhan itu sendiri.
Kolaborasi horizontal antara perusahaan pelayaran dan penyedia layanan logistik menggarisbawahi perlunya rantai pasok yang lebih pendek, nyaman, berkelanjutan, dan hemat biaya. Hal ini menimbulkan kompleksitas tambahan, terutama jika menyangkut rasa saling percaya mengenai protokol berbagi data dan melindungi daya saing masing-masing.
Oleh karena itu, kerja sama biasanya dikaitkan dengan model tata kelola baru untuk membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang terlibat terkait alokasi biaya, upaya, pendapatan, dan keuntungan yang adil. Namun, ada beberapa risiko yang harus diatasi ketika mengembangkan kegiatan kerja sama serta memperkenalkan standar, alat, dan sistem pengukuran kinerja di seluruh rantai pasok yang disepakati bersama. Inilah perlunya transformasi digital dilakukan.
Sudah saatnya para pemangku kepentingan pengelolaan pelabuhan di Indonesia ”mengangkat jangkar”, kemudian siap berlayar mengarungi tantangan ”gelombang” dan ”cuaca” dengan komitmen pada perbaikan di sektor logistik. Kita tidak bisa mengubah arah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar dan navigasi kapal.
Harapannya, ke depan transformasi digital dan penguatan aliansi strategis akan mendukung kinerja kegiatan kepelabuhanan serta logistik nasional dalam rangka menyongsong pertumbuhan ekonomi Indonesia Emas pada 2045.
Mohammad Hamsal, Guru Besar Strategi dan Ketangkasan pada Program Doktor Ilmu Manajemen Binus Business School dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society
E-mail: mhamsal@yahoo.com