Pemilih Muda dan Buaian ”Politainment”
Memanfaatkan media, politikus membalut diri dengan simbol selebritas, ketenaran, dan pesona demi mendapat popularitas.
Akhir-akhir ini, media, terutama media sosial, banyak menyuguhi publik dengan ”politik menghibur” yang dinarasikan sebagai komunikasi politik ala anak muda. Praktik yang disebut politainment ini patut diwaspadai karena miskin gagasan substantif dan mengerdilkan sikap kritis.
David Schultz (2012), peneliti politik dan media di Amerika Serikat, mendefinisikan politainment sebagai strategi komunikasi politik kontemporer yang menggabungkan politik dengan entertainment. Dengan memanfaatkan media, politikus membalut diri dengan simbol selebritas, ketenaran, dan pesona demi mendapat popularitas khalayak. Sebaliknya, artis berlomba terlibat dalam politik, baik menjadi bagian dari pemerintahan maupun sekadar mendapat keuntungan ekonomi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menurut Nieland (2008), politainment berlangsung dalam dua definisi, yaitu ”hiburan politik” yang mengemas topik politik dalam format hiburan dan ”politik yang menghibur”, yakni perilaku aktor politik yang meng-kapitalisasi ketenarannya dengan masuk ke program-program hiburan di media massa, terutama televisi.
Di AS, misalnya, politainment dipertontonkan kandidat presiden Richard M Nixon pada acara komedi terlaris Laugh-In tahun 1968 dan Bill Clinton yang bermain saksofon di Arsenio Hall Show yang mampu memesona khalayaknya.
Menjelang Pilpres 2024, politainment di Indonesia bermunculan, baik di media arus utama maupun di media sosial. Calon presiden (capres) Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, misalnya, tampil di variety komedi kriminal ber-rating tinggi, Lapor Pak! yang ditayangkan salah satu TV swasta dan di kanal Youtube-nya.
Dengan memanfaatkan media, politikus membalut diri dengan simbol selebritas, ketenaran, dan pesona demi mendapat popularitas khalayak.
Terbaru, yang menuai pro-kontra di masyarakat, program acara TV pencarian bakat memasak, MasterChef Indonesia, menghadirkan capres Ganjar Pranowo di grand final acara TV yang diadopsi dari program MasterChef Inggris ini.
Pop-politik minim dialog
Politainment yang saat ini populer di media sosial (medsos) adalah joget gemoy capres Prabowo Subianto. Meski mendapat kritik, gimik politik ini disambut hangat para pendukungnya di medsos, terutama Tiktok.
Artikel ilmiah berjudul ”Politainment as Dance: Visual Story Telling on TikTok among Spanish Political Parties” yang ditulis Rocío Zamora-Medina (2023) menunjukkan gimik politik tarian juga terjadi di Spanyol. Studinya menemukan, partai politik di Spanyol melakukan komunikasi politik dengan menggunakan visual story telling, terutama video tarian.
Zamora-Medina menyebut fenomena di atas mewakili estetika hyper-postmodern yang ia sebut sebagai pop-politics (pop-politik) atau politainment yang berlangsung di medsos. Pop-politik di medsos semata berorientasi pada viralitas, hiburan, dan humor, dan menyederhanakan isu-isu politik kompleks menjadi narasi visual dan jargon politik dangkal yang manipulatif.
Tiktok menjadi platform paling efektif mereproduksi dan mendistribusikan konten semacam ini karena memiliki fitur pendukung yang menyatu dengan aplikasi, seperti latar musik, grafis, dan teks.
Ilustrasi
Strategi pop-politik meminimalkan ekspos pada sosok otentik calon pemimpin yang berwawasan luas dan memahami masalah bangsa.
Sebaliknya, pop-politik mempertontonkan hal remeh-temeh yang dalam konteks Pilpres 2024 dipertontonkan dengan perilaku yang dianggap natural, seperti cara bicara dan model berpakaian yang nyeleneh, yang dinarasikan sebagai politik anak muda, politik penuh cinta, politik santai, dan semacamnya.
Pop-politik juga menolak dialog terbuka. Sebuah artikel berjudul ”Philippine Elections 2022: The Dictator’s Son and the Discourse around Disinformation” (2022) yang diterbitkan ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, mengulas strategi media komunikasi politik Presiden Filipina Bongbong Marcos Jr dalam Pilpres 2022 Filipina yang kaku saat menghadapi media arus utama.
Ia bermain aman dengan menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari jurnalis. Ia juga menghindari konfrontasi dengan rivalnya dengan tidak menghadiri undangan debat politik di televisi dan di berbagai kesempatan.
Sebaliknya, di media sosial ia membuat agenda politiknya sendiri. Studi berjudul ”Philippine Elections 2022: TikTok in Bongbong Marcos’ Presidential Campaign” menunjukkan para pendukung Marcos Jr senang membuat video feel-good atau istilah untuk video yang isinya diidentifikasi dengan kesenangan saja. Misal, kisah cinta Imelda Marcos dengan Marcos Sr.
Medsos juga menampilkan video dan kolase foto glamor keluarga Marcos, acara seni, dan dialog berbalut komedi yang membuai pendukungnya.
Ia juga menghindari konfrontasi dengan rivalnya dengan tidak menghadiri undangan debat politik di televisi dan di berbagai kesempatan.
Belakangan diketahui strategi komunikasi politik medsos Marcos Jr tersebut digunakan untuk membangun apa yang disebut Rappler sebagai false narrative atau narasi palsu.
Strategi tersebut dipakai untuk merehabilitasi nama Marcos Sr akibat kediktatoran, isu korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di era kepemimpinannya tahun 1965-1986. Marcos Jr kini menuai hasil proyek jangka panjangnya di medsos dengan me-rebranding keluarganya dari citra keluarga diktator yang korup menjadi figur populis korban politik di masa lalu.
Pemilih muda dan perang narasi
Pilpres 2014 dan 2019 di Indonesia identik dengan politik identitas dan politik agama. Namun, masyarakat Indonesia tampaknya telah belajar dari pengalaman sepuluh tahun terakhir tentang bahaya politik pemecah belah bangsa tersebut.
Hal tersebut terlihat dari banyaknya hujatan publik setiap kali ada aktor politik yang terbukti melakukan politik identitas dan agama.
Kini kita memiliki tantangan baru, peta konstelasi politik Pilpres 2024 yang berbeda dengan dua pilpres sebelumnya. Masyarakat dihadapkan pada pertunjukan drama politik di tingkat elite politik yang rumit dan membingungkan.
Peristiwa yang kontra dengan semangat demokrasi dan reformasi 1998—seperti nepotisme di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK), politik dinasti, dan rumor ketidaknetralan pemerintah dalam Pilpres 2024— dipastikan akan mewarnai perdebatan di udara.
Peristiwa buruk menjelang Pilpres 2024 di atas telah membelah masyarakat kita dalam dua pandangan berbeda tentang definisi demokrasi. Pandangan pertama mendefinisikan demokrasi sebagai proses etis yang harus konsisten mengikuti prosedur yang telah disepakati dalam perundangan.
Narasi tandingannya adalah demokrasi yang baik tak harus mengikuti proses yang benar, tetapi berfokus pada hasil akhir dari proses demokrasi. Misal, pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak adanya konflik dan perdebatan, terciptanya kedamaian, dan semacamnya.
Pandangan kedua ini bisa dikatakan membawa roh demokrasi di era Orde Baru yang hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan menafikan elemen lain, seperti kebebasan berekspresi, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
Pelajaran dari kemenangan Marcos Jr
Mencermati strategi kemenangan Marcos Jr yang manipulatif, kita harus mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ini. Apalagi hingga kini janji politik Marcos Jr dianggap belum memuaskan masyarakat dan pendukungnya.
Artikel theguardian.com berjudul ”A Year of Marcos Jr: How a Dictator’s Son has Changed the Philippines” melaporkan pandangan tentang buruknya kinerja Marcos Jr selama satu tahun berkuasa.
Mulai dari naiknya harga-harga pangan hingga tersendatnya penyelesaian masalah-masalah lama, seperti buruknya sistem pendidikan, krisis HAM warisan Duterte terkait ”perang melawan narkoba”, dan buruknya kebebasan pers/kebebasan berpendapat.
Sementara itu, time.com dalam artikelnya yang berjudul ”A Dictator’s Son Rewrites History on TikTok in His Bid to Become the Philippines’ Next President” menyebut, selain karena tingkat kemiskinan di Filipina yang tinggi akibat kegagalan pemimpin pascadiktator Marcos Sr, faktor yang menentukan kemenangan Marcos Jr adalah usia pemilih Pemilu 2022 Filipina.
Sekitar 56 persen dari total 65,7 juta pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih berusia di bawah 40 tahun, yang artinya mereka bisa jadi belum lahir pada era diktator Marcos Sr, atau mereka masih terlalu muda untuk mengingat masa-masa kelam tersebut.
Masyarakat dihadapkan pada pertunjukan drama politik di tingkat elite politik yang rumit dan membingungkan.
Menghadapi era digital dan gempuran berbagai bentuk kampanye daring selama Pilpres 2024, generasi milenial dan generasi Z di Indonesia harus kritis dalam mengonsumsi kampanye daring di media sosial.
Sama dengan pilpres di Filipina, demografi dua generasi tersebut menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mendominasi daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres 2024, yaitu berjumlah 113 juta atau 56,45 persen dari total pemilih tetap.
Wajar jika saat ini setiap tim sukses capres menyasar dan mengeksploitasi dua generasi tersebut dalam strategi kampanye di media sosial.
Dengan menggunakan narasi rayuan seperti politik anak muda, politik menyenangkan, politik santai, dan semacamnya, tim sukses capres mengajak anak muda berpartisipasi dalam politik. Namun, apakah narasi ajakan itu benar-benar tulus untuk mendidik perilaku demokrasi yang sehat dan etis?
Hal ini yang perlu dikritisi dan direnungkan.
Nurul HasfiDosenDepartemenIlmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro