Masa Depan ”Wolbachia” sebagai Alternatif Pengendalian DBD
”Wolbachia” merupakan inovasi terbaru pengendalian virus dengue penyebab DBD. Perlu dukungan penuh masyarakat untuk keberlanjutan program ini.
Oleh
SRI PURWANTI
·4 menit baca
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1.341 tentang implementasi penanggulangan demam berdarah dengan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia menuai banyak protes. Muncul keraguan tentang keamanan, efektivitas, dan risiko kesehatan jangka panjang dari inovasi yang belum familiar di kalangan masyarakat ini.
Hal ini merupakan tantangan besar mengingat ketika dibandingkan dengan alternatif pengendalian demam berdarah (DBD) sebelumnya, seperti larvasidasi, foging 2 siklus, Gerakan 3M (Menutup, Menguras, Mengubur), Jumantik (Juru Pemantau Jentik), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), atau G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik), strategi ”mengendalikan nyamuk dengan melepas nyamuk” ini memang berbeda. Penolakan semakin bertambah dengan merebaknya hoaks di media sosial tentang isu rekayasa genetika yang ditujukan untuk depopulasi manusia, keamanan yang belum bisa dipastikan, bahkan hingga isu pembentukan genetik LGBT.
Inovasi Wolbachia sebenarnya bukan sesuatu yang baru dimulai, jauh sebelum keputusan menteri kesehatan ditetapkan sudah dilakukan riset mendalam selama 12 tahun untuk memastikan keamanan, efektivitas, risiko, dampak kesehatan, dan ekologi yang mungkin ditimbulkan. Hal ini dilakukan dalam rangka program strategis jangka panjang penanggulangan.
Sejak dilaporkan pertama kali pada 1968 di Jawa Timur dan DKI Jakarta, hingga kini DBD tersebar di seluruh provinsi dengan angka kesakitan (incidence rate) rata-rata 52 per 100.000 penduduk. DBD juga masih kerap menjadi kejadian luar biasa (KLB/outbreak). Tahun 2022 tercatat 13 kabupaten/kota di delapan provinsi, yaitu di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Papua, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur, mengalami KLB DBD.
Terlepas DBD merupakan suatu penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), pada kenyataannya tak jarang penyakit ini menyebabkan komplikasi bahkan kematian. Target penanggulangan virus dengue mulai digaungkan, setiap kabupaten/kota diharapkan mampu menurunkan angka kejadian atau incidence rate DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk pada 2024 serta nol kematian akibat DBD pada 2030 (zero dengue death 2030).
Kajian teknologi
Faktor risiko DBD erat kaitannya dengan vektor. Oleh karena itu, perlu ada pengendalian yang efektif. Wolbachia merupakan salah satu bentuk inovasi terbaru untuk mengendalikan virus dengue sehingga ada potensi untuk mengimplementasikan strategi ini, tentu setelah melalui pengkajian mendalam. Universitas Gadjah Mada melalui Pusat Kedokteran Tropis sudah memulai perjalanan panjang melakukan kajian teknologi Wolbachia sampai dengan implementasinya di beberapa titik di Yogyakarta.
Beberapa fase telah dilalui. Fase pertama, uji keamanan dan kelayakan dilakukan pada Oktober 2011-September 2013. Fase ini untuk membuktikan keamanan dan kelayakan teknologi Wolbachia. Kegiatan yang dilakukan membuktikan bahwa Wolbachia secara umum ditemukan di serangga liar yang ada di Yogyakarta. Nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dilepas secara genetik sama dengan Aedes aegypti yang ada di lokasi penelitian. Selain itu, juga dilakukan pembuktian secara laboratorium bahwa Wolbachia mampu menghambat virus dengue pada nyamuk, kemudian dilanjutkan pengenalan Wolbachia kepada pemangku kepentingan dan masyarakat hingga perizinan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia.
Fase kedua, mulai Oktober 2013-Desember 2015, dilakukan pelepasan skala terbatas. Fase ini untuk membuktikan bahwa Wolbachia dapat berkembang biak dan mampu menekan replikasi virus dengue. Langkah yang ditempuh dengan menyosialisasikan kepada masyarakat dalam rangka mendapatkan dukungan, kemudian melepaskan Aedes aegypti ber-Wolbachia di Nogotirto, Kronggahan, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY, pada Januari-Juni 2014, hingga membuktikan nyamuk ber-Wolbachia dapat berkembang biak di lingkungan alaminya, dilanjutkan studi serologi di masyarakat dan pendonor manusia (bloodfeeder).
Hasilnya, Aedes aegypti ber- Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen.
Fase ketiga pada Januari 2016-Desember 2019 bertujuan untuk membuktikan bahwa Wolbachia dapat menurunkan kasus dengue. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini di antaranya studi riwayat dengue dan studi mobilitas pada anak usia 1-10 tahun di Kota Yogyakarta. Tim independen melakukan penilaian risiko, survei penerimaan masyarakat, serta melakukan studi epidemiologi yang dikenal dengan AWED (Aplikasi Epidemiologi untuk Eliminasi Dengue). Hasilnya, Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen.
Fase keempat, pada 2020-2021. Setelah melalui banyak uji berbasis laboratorium dan lapangan, perumusan rekomendasi mulai dilakukan dengan penyusunan naskah akademik serta strategi hasil penelitian sehingga ada acuan ketika diimplementasikan dalam skala yang lebih luas.
Dengan melihat perjalanan panjang sebuah riset untuk strategi pengendalian ini, tentu bisa menjawab keraguan dan menguatkan bahwa nyamuk ini bukan merupakan produk rekayasa genetika yang sengaja disebarkan dalam rangka depopulasi manusia. Nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dilepas secara genetik sama dengan Aedes aegypti yang ada di lokasi penelitian.
Dengan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini, diharapkan mampu mengurangi populasi nyamuk yang tidak ber-Wolbachia. Saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia, maka telur nyamuk tersebut tidak akan menetas. Namun, jika nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia, seluruh telurnya akan menetas. Sementara ketika nyamuk jantan dan betina yang sama-sama ber-Wolbachia kawin, maka semua telurnya akan menetas dan mewarisi Wolbachia.
Keistimewaan Wolbachia ini, keberadaannya dapat mengurangi replikasi virus dengue pada nyamuk. Di tubuh nyamuk, Wolbachia bersaing untuk mendapatkan makanan dengan virus dengue. Dengan keterbatasan makanan, diharapkan virus dengue penyebab DBD ini menjadi tidak berkembang.
Terkait keamanan teknologi ini, studi AWED yang dilakukan menunjukkan Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus rawat inap karena dengue sebesar 86 persen. Bahkan dari hasil studi tersebut, teknologi Wolbachia direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021.
Namun, pada implementasinya tidak mudah. Pada awal sosialisasi di Yogyakarta, program ini banyak menuai pro-kontra. Hal yang sama kemungkinan juga akan terjadi di wilayah lainnya. Perlu ada pendekatan untuk memperoleh kepercayaan dan penerimaan masyarakat mengingat penelitian kesehatan masyarakat sebesar apa pun akan tidak berarti apa-apa ketika tidak ada dukungan penuh dari masyarakat. Keterlibatan mereka sangat diperlukan untuk keberlanjutan program ini di masa mendatang.
Sri Purwanti, Residen Magister Epidemiologi Lapangan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta