Ke depan, dapat diperkirakan partai-partai politik sayap kanan di Eropa akan terinspirasi oleh kemenangan PVV di Belanda.
Oleh
A AGUS SRIYONO
·4 menit baca
Partai untuk Kebebasan atau Partij voor de Vrijheid (PVV) pimpinan Geert Wilders memenangi pemilu Belanda, 22 November 2023. Partai populis sayap kanan-ekstrem dan anti-Uni Eropa ini memperoleh 37 kursi dari 150 kursi di parlemen.
Hal ini menunjukkan PVV menang secara dramatis atas aliansi partai sayap kiri (Partai Buruh/Partai Hijau) yang dipimpin Frans Timmermans, dengan perolehan 25 kursi. Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya PVV memperoleh suara terbanyak di parlemen. Bagi PVV, kemenangan ini merupakan momen bersejarah.
Pada Pemilu 2018, PVV hanya memperoleh 20 kursi. Artinya, dibandingkan dengan pemilu tahun ini, ada penambahan 17 kursi atau hampir dua kali lipat. Setelah 25 tahun di parlemen, baru kali ini PVV memperoleh suara terbanyak. Meski demikian, untuk menjadikan Wilders sebagai perdana menteri (PM), PVV harus berkoalisi dengan partai lain guna meraih sedikitnya 76 dari 150 kursi di parlemen.
Namun, konstelasi politik di Belanda menunjukkan pembentukan koalisi PVV dengan partai lain bukan pekerjaan mudah. Apa dampak kemenangan PVV terhadap partai-partai sayap kanan di Eropa?
Bangkitnya nasionalisme etnis
Kemenangan PVV menandai kebangkitan nasionalisme Belanda yang lebih didasari pada ikatan etnis atau nasionalisme etnis (ethnic nationalism).
Dengan mengacu sejarah Eropa, secara umum nasionalisme etnis memiliki lima ciri utama: anti-imigran, xenofobia, antisemitisme, islamofobia, dan supremasi kulit putih.
Sebagai partai berhaluan kanan, PVV dikenal dengan kebijakan anti-imigran, anti-Islam, serta didukung mayoritas penduduk kulit putih. Di Eropa, banyak negara telah memiliki parpol sayap kanan. Sejauh ini ada 13 negara anggota Uni Eropa (UE) memiliki partai berhaluan kanan yang cukup berpengaruh.
Kemenangan PVV menandai kebangkitan nasionalisme Belanda yang lebih didasari pada ikatan etnis atau nasionalisme etnis ( ethnic nationalism).
Ke-13 negara itu adalah Jerman (Alternative for Germany), Perancis (National Rally), Belanda (PVV), Polandia (Partai Law and Justice), Yunani (Partai Solusi Yunani), Hongaria (Fidesz), Swedia (Sweden Democrats), Austria (Freedom Party), Denmark (Stram Kurs Party), Slowakia (Partai Rakyat), Ceko (Partai Demokrat Sipil), Finlandia (Partai Koalisi Nasional), dan Italia (Fratelli d’Italia).
Derajat keterkaitan ideologi partai-partai politik sayap kanan di 13 negara Eropa terhadap nasionalisme etnis sangat bervariasi. Dari 13 negara itu, partai sayap kanan yang memiliki pengaruh politik signifikan di negaranya adalah Austria, Belanda, Perancis, Jerman, dan Italia.
Sebagai ilustrasi, meski pada Pemilu 2016 capres Austria dari partai sayap kanan, Norbert Hofer, kalah dari lawannya, Alexander van der Bellen (Independen), Hofer memperoleh 46,7 persen suara.
Sementara itu, Fratelli d’Italia sebagai partai konservatif nasional dan populis sayap kanan di Italia saat ini merupakan parpol terbesar di Italia setelah menang pada Pemilu 2022. Pimpinan partai ini, Giorgia Meloni, merupakan PM Italia saat ini. Untuk pertama kali, setelah Perang Dunia II, Pemerintah Italia dipimpin oleh PM dari partai politik sayap kanan.
Dampak kemenangan PVV
Kemenangan PVV pada pemilu Belanda besar kemungkinan akan berpengaruh terhadap meningkatnya elektabilitas dan popularitas partai-partai politik sayap kanan di Eropa. Dukungan publik yang meningkat ini juga ditopang oleh kenyataan membanjirnya kaum imigran di setiap negara itu.
Di Perancis, National Rally pimpinan Marine Le Pen menduduki tempat kedua pada Pilpres 2022 dengan 33,9 persen suara. Kelompok partai sayap kanan Perancis juga mencetak keberhasilan sejarah pada pemilu legislatif, Juni 2022. Kelompok ini meraup suara hampir 10 kali lipat dari pemilu sebelumnya.
Sulit dihindari, ke depan kemenangan PVV akan meningkatkan jumlah pemilih National Rally sehingga nantinya partai ini akan berkuasa di Perancis.
Dalam relasinya dengan lima ciri utama nasionalisme etnis, sedikitnya terdapat tiga ciri yang dimiliki PVV, yaitu anti-imigran, islamofobia, dan supremasi kulit putih. PVV dikenal anti-imigran. Salah satu sumber data menyebutkan, jumlah imigran di Belanda saat ini 2,5 juta dari sekitar 17,5 juta penduduk ”negeri kincir angin” itu.
Dari persepsi PVV, membanjirnya kaum imigran dan pengungsi dari luar negeri dianggap sebagai beban ekonomi negara, di samping berpotensi menimbulkan benturan budaya.
Wilders juga sering menyampaikan pandangan yang bersifat anti-Islam. Sikap anti-imigran dan anti-Islam ini sekaligus menunjukkan secara langsung ataupun tidak langsung bahwa mayoritas pendukung PVV berasal dari etnik kulit putih yang merasa memiliki superioritas dibandingkan dengan etnik pendatang.
Mengacu pada perkembangan sosial-politik di Belanda dewasa ini, ke depan dapat diperkirakan partai-partai politik sayap kanan di Austria, Jerman, dan Perancis akan terinspirasi oleh kemenangan PVV di Belanda. Mereka berasumsi: jika partai sayap kanan di Belanda dan Italia bisa menang, kenapa mereka tidak?
Jika mayoritas pemerintahan di Eropa dikuasai partai populis sayap kanan, dapat diperkirakan potensi konflik internal di negara-negara itu akan meningkat dan terbuka kemungkinan terjadi eskalasi konflik antarnegara. Konflik di dalam negeri kemungkinan karena sebagian warga menentang kebijakan partai yang islamofobia.
Untuk potensi konflik antarnegara, ketegangan politik bilateral Turki dan Belanda saat ini, jika tidak dikelola dengan baik, tidak mustahil akan mengalami peningkatan. Juga berpotensi memburuknya hubungan negara-negara Eropa di bawah pemerintahan sayap kanan dengan negara-negara Islam.
Jika mayoritas pemerintahan di Eropa dikuasai partai populis sayap kanan, dapat diperkirakan potensi konflik internal di negara-negara itu akan meningkat dan terbuka kemungkinan terjadi eskalasi konflik antarnegara.
Dalam konteks ini, nasionalisme etnis di beberapa negara Eropa berpotensi menjadi pemicu konflik internal dalam negara ataupun antarnegara karena kuatnya ikatan etnis sebagai penyangga eksistensi sebuah negara-bangsa.
Kesatuan etnis lebih diprioritaskan ketimbang terwujudnya perdamaian yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dunia tentu tidak menghendaki fasisme kembali berkuasa.