Pada akhirnya kemampuan teknologi, finansial, lobi, dan lain-lain memastikan Tiktok bakal memenangi pertandingan di Indonesia.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Tiktok Shop telah berhenti beroperasi sejak 4 Oktober 2023. Namun, tidak lama lagi Tiktok akan makin kuat berada di Indonesia. Mereka akan membeli salah satu perusahaan teknologi di Indonesia untuk aktivitas perdagangan daring. Berbagai macam gosip beredar, tetapi yang jelas pemerintah telah ”memberi restu” soal jual-beli itu. Sebelum pemilihan umum, urusan pembelian sudah selesai dan Tiktok akan makin kuat di Indonesia. Tiktok tidak kalah.
Tidak lama setelah pengumuman penghentian soal perdagangan melalui media sosial (social commerce), CEO Tiktok Shou Zi Chew bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Kita tidak tahu persis perbincangan keduanya. Setelah itu muncul kabar Tiktok hendak membeli salah satu perusahaan teknologi di Indonesia.
Perkembangan bisnis Tiktok yang membesar di Indonesia, kemampuan Tiktok Shop dalam meraih penjual dan pembeli, serta masa depan e-dagang di Indonesia sepertinya kemudian membuat sejumlah kalangan untuk memikirkan kehadiran Tiktok secara serius. Ancaman sudah nyata, di depan pintu. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika ada ide untuk ”merangkul” Tiktok dibandingkan melawannya.
Alasan mendasar adalah secara teknologi Tiktok lebih unggul dibandingkan perusahaan teknologi di Indonesia sehingga tidak mungkin melawan Tiktok secara langsung. Oleh karena itu, ide untuk ”bekerja sama” dengan Tiktok mengemuka dan makin kuat. Teknologi mereka dalam menjangkau konsumen salah satunya melalui siaran langsung di media sosial dan kemampuan menyasar pembeli sangat andal. Pada tahun 2022, pertumbuhan mereka mencapai 4,4 persen dan pada tahun ini jika tidak ditutup bisa mencapai 13, 2 persen berdasarkan data Momentum Works.
Ide untuk ”bekerja sama” dengan Tiktok tentu makin kuat ketika perusahaan teknologi Indonesia tengah memiliki masalah keuangan yang serius, secara khusus kondisi arus kas. Ketersediaan uang tunai menjadi masalah besar ketika beban operasional tetap tinggi sementara pendapatan tidak bergerak membesar. Oleh karena itu, mereka mencari cara untuk mendapatkan dana segar.
Namun, tidak mudah untuk menggandeng investasi asing atau menjual perusahaan teknologi yang selama ini dibanggakan setidaknya oleh sejumlah pejabat pemerintah. Oleh karena itu, restu dari pemerintah menjadi penting. Beberapa kali presiden membanggakan kemunculan mereka. Kita bisa membayangkan betapa ”sakitnya” ketika perusahaan kebanggaan itu menjadi milik investor asing. Restu penting!
Aura persaingan di antara pemain di dalam negeri juga makin mendorong perusahaan teknologi di Indonesia ”merangkul” Tiktok. Pikiran setiap perusahaan teknologi yang juga menjadi pertimbangan adalah kalau Tiktok tidak bersama kita, tentu bersama dengan lawan kita. Oleh karena itu, ada yang berusaha agar Tiktok tidak ”berkawan” dengan kompetitor mereka di dalam negeri.
Kelindan restu
Salah satu perdebatan yang kemudian muncul dan menjadi gosip adalah kelindan antara restu pejabat pemerintah dan kepentingan sejumlah orang. Ketika restu didapat, apa yang kemudian dilakukan oleh perusahaan teknologi di Indonesia yang hendak ”bekerja sama” dengan Tiktok atau bahkan oleh Tiktok sendiri? Orang kemudian ingat dengan idiom yang sering dipakai ekonom Milton Friedman, tidak ada yang namanya makan siang gratis.
Gosip ini tentu tidak berada di ruang kosong. Kompetisi pemilihan presiden yang makin kencang menjadi konteks yang perlu dipertimbangkan. Apalagi Tiktok sering dianggap memiliki kemampuan yang lebih jago dalam meraih suara kelompok tertentu. Namun, soal kelindan yang digosipkan sudah berkali-kali dibantah oleh pihak Tiktok. Mereka benar-benar berbisnis dan mencari cuan.
Oleh karena itu, baiklah kita tidak usah berandai-andai. Lebih baik kita melihat apa yang terjadi di Filipina ketika anak diktator Ferdinand Marcos, yaitu Ferdinand ”Bongbong” Romualdez Marcos Jr, memenangi pemilihan presiden negara itu. Majalah Time dalam sebuah tulisannya menceritakan, seorang pemuda bernama Joey Toledo yang memiliki akun Tiktok dengan sedikit pengikut tetapi bisa mendapat perhatian luas ketika ia membagikan kontennya.
Joey mengatakan, membuat dan membagikan konten pro-Marcos di aplikasi itu menyenangkan. Salah satunya karena dia senang mendapatkan ”dukungan” dari para pendukung rival Marcos. ”Kadang-kadang itu hanya untuk membuat pihak lain kesal saja. Anda tahu bagaimana orang Filipina? Mereka suka bentrokan.”
Pendekatannya yang terkesan asal-asalan terhadap Tiktok menjelaskan mengapa dan bagaimana Tiktok membuatnya berhasil atau sukses membuat konten. Jonathan Corpus Ong, peneliti disinformasi di Universitas Harvard, mengatakan bahwa dibandingkan dengan Facebook, Twitter, dan Instagram, algoritma Tiktok dapat melambungkan pengguna menjadi bintang hanya dengan satu postingan dalam beberapa hari. Hal ini mendorong pengguna seperti Joey untuk membuat konten menarik secara massal dengan harapan mendapatkan ketenaran viral.
”Potensi konten misinformatif untuk mencapai dinamika ’sensasi viral’ jauh lebih tinggi di Tiktok dibandingkan platform lain,” kata Jonathan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana algoritma Tiktok dapat melambungkan pengguna dengan sedikit pengikut bisa menjadikannya sebagai bintang hanya dengan satu postingan dalam beberapa hari? Terkesan brutal alias tanpa aturan yang jelas. Tentu Tiktok memiliki aturan-aturan yang jelas bagi pengguna untuk mendapatkan hasil akhir seperti itu. Salah satunya ada biaya yang harus dikeluarkan oleh orang yang ingin mendapatkan jangkauan yang lebih besar dari setiap unggahan di platform tersebut.
Meski, kita masih bisa mempertanyakan soal tata kelola (governance) dalam pengelolaan algoritma, secara khusus bagaimana sebuah konten ”tiba-tiba” viral. Laman Busines Insider pernah membahas soal ini. Teknologi kecerdasan buatan (AI) mampu meningkatkan misinformasi dan disinformasi. Teknologi telah membuat media lebih cepat dan mudah untuk membuat manipulasi. Kecerdasan buatan juga bisa membuat konten tampak lebih meyakinkan dan menarik.
Konten bisa menyebar dengan sangat cepat secara daring, khususnya di Tiktok, di mana algoritma dan penggunanya memprioritaskan viralitas. Begitu hal ini tersebar ke seluruh dunia, hampir mustahil untuk mengendalikannya. Mereka yang mengurusi keamanan platform media sosial sekalipun tidak akan mampu mengimbangi skala, cakupan, dan kompleksitas misinformasi yang sudah bergulir. Di sinilah kita bertanya soal tata kelola.
Namun, pada akhirnya kemampuan teknologi, finansial, lobi, dan lain-lain memastikan Tiktok bakal memenangi pertandingan di Indonesia. Tiktok yang kalah melalui Tiktok Shop di Indonesia bakal kembali. Mereka yang dulu melawan kehadiran Tiktok Shop sangat mungkin menjadi kawan. Tak terpahami bagaimana perasaaan dan posisi mereka kelak.
Lebih dari itu kita hanya bisa menonton saat perusahaan-perusahaan teknologi buatan anak bangsa akhirnya harus dimiliki perusahaan asing. Mereka mungkin kalah dalam mengakselerasi kemampuan teknologi, tetapi sebenarnya mereka telah membuat nilai-nilai yang baik bagi bisnis di Indonesia. Sangat mungkin nilai-nilai itu akan lenyap karena desakan segelintir orang dan investor yang melihat hanya sisi kebutuhan finansial dan kepentingan lain.