Memahami Nyamuk ”Wolbachia”
Model nyamuk ”Wolbachia” ini sebuah program ”novelty” yang menjanjikan. Mungkinkah kasus demam berdarah akan menghilang?
Kementerian Kesehatan berencana mengimplementasikan metode baru penanggulangan demam berdarah, yakni melalui metode nyamuk Wolbachia.
Nyamuk Wolbachia pada dasarnya adalah nyamuk Aedes aegypti pembawa virus demam berdarah dengue yang di dalamnya dimasukkan bakteri Wolbachia. Bakteri ini akan melemahkan virus dengue yang bersemayam dalam tubuh nyamuk dan menurunkan infektivitasnya. Dengan cara ini, kasus demam berdarah akan menurun.
Sebagai tahap awal, Kementerian Kesehatan akan menyebar jutaan telur nyamuk di beberapa daerah. Telur ini akan menetas dan berkembang biak.
Akhirnya populasi nyamuk Aedes perlahan terganti oleh nyamuk Wolbachia yang tak berbahaya. Ini konsep sederhananya. Namun, upaya ini mendapat tantangan serius.
Muncul kontroversi luas dan penolakan di masyarakat. Beragam alasannya, antara lain metode ini dituding sarat kepentingan bisnis. Nyamuk Wolbachia dicurigai bisa menginduksi penyakit japanese encephalitis dengan konsekuensi keharusan membeli dan menggunakan vaksin untuk mengatasinya.
Sebagian menuding nyamuk ini produk rekayasa genetika dengan beragam potensi negatif terkait perubahan strain dan mutasi. Sebagian berspekulasi nyamuk ini diciptakan untuk menyebarkan penyakit lain agar populasi manusia berkurang.
Bali adalah salah satu daerah yang menolak metode ini. Oleh karena itu, penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia di beberapa daerah di Bali ditunda.
Nyamuk Wolbachia pada dasarnya adalah nyamuk Aedes aegypti pembawa virus demam berdarah dengue yang di dalamnya dimasukkan bakteri Wolbachia.
Namun, pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan meminta program ini tetap dilanjutkan di daerah lain. Alasannya, ini proyek strategis yang harus dijalankan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue dengan Metode Wolbachia pada beberapa daerah di Indonesia.
Tantangan penanggulangan demam berdarah
Demam berdarah merupakan salah satu isu kesehatan krusial. Setiap tahun lebih dari 100 juta manusia di dunia terinfeksi demam berdarah dan 25.000 di antaranya meninggal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, hampir empat miliar penduduk Bumi berisiko terkena demam berdarah. Di Indonesia, insiden demam berdarah juga terus meningkat. Tahun 2021 jumlah kasus lebih dari 73.000 dengan 700 kematian. Setahun kemudian meningkat menjadi 130.000 kasus dengan lebih dari 1.000 kematian.
WHO melabeli demam berdarah sebagai penyakit akibat nyamuk yang paling kritis, dengan peningkatan 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir.
Selama ini, pencegahannya masih bersifat konvensional. Fokusnya mencegah gigitan nyamuk Aedes aegypti lewat pengelolaan lingkungan, pengendalian bahan kimia, dan tindakan perlindungan diri terhadap nyamuk tersebut.
Masyarakat dianjurkan membersihkan sarang-sarang nyamuk, menggunakan bahan atau krim antinyamuk, dan memproteksi diri dengan kelambu.
Penatalaksanaan konvensional ini belum bisa mencegah peningkatan kasus. Di sisi lain, baru ada satu jenis vaksin untuk penyakit demam berdarah, yaitu Dengvaxia. Namun, vaksin ini terkesan rumit karena hanya diberikan pada anak berusia 9-16 tahun yang pernah terinfeksi demam berdarah.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi (kanan) menerima ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dalam acara peluncuran rencana perluasan manfaat nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta di Kantor Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, Rabu (2/9/2020).
Vaksin ini tak boleh diberikan kepada anak yang belum pernah terinfeksi karena berpotensi menimbulkan demam berdarah berat. Jadi, penggunaannya sangat terbatas dan perlu pemeriksaan laboratorium.
Tahun 2011, World Mosquito Program (WMP) memperkenalkan program nyamuk Wolbachia. Mereka menemukan bahwa memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam nyamuk Aedes menyebabkan virus dengue dalam nyamuk menjadi lemah dan tidak dapat bereproduksi.
Berdasarkan konsep ini, WMP mengembangbiakkan telur nyamuk Aedes yang di dalamnya dimasukkan bakteri Wolbachia dan menyebarkan telur-telur ini ke daerah terdampak demam berdarah. Telur nyamuk ini akan menetas, berkembang biak, dan membentuk populasi besar nyamuk yang tidak menyebarkan virus dengue.
Uji model ini telah dilakukan di sejumlah negara. Di Indonesia, uji coba dilakukan tahun 2018. Hasilnya menunjukkan, dengan model ini, kasus demam berdarah menurun 77 persen dan jumlah perawatan rumah sakit berkurang 86 persen.
Berdasarkan sejumlah hasil studi, WHO Vector Control Advisory Group telah merekomendasikan penggunaan teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue. Penemu program ini mengklaim metode ini aman. Alasannya, bakteri ini bakteri alami yang didapatkan pada lebih dari 50 persen spesies nyamuk, meski tidak pada nyamuk Aedes. Selain itu, metode ini telah diuji tingkat risikonya oleh sejumlah institusi, termasuk CSIRO Australia.
Hasilnya, derajat risikonya sangat rendah atau bisa diabaikan, baik terhadap manusia, binatang, maupun lingkungan. Artinya, saat ini secara saintifik, model ini memenuhi kriteria efektif dan aman. Lantas mengapa terjadi penolakan?
Berdasarkan sejumlah hasil studi, WHO Vector Control Advisory Group telah merekomendasikan penggunaan teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue.
Faktor penolakan
Penolakan program kesehatan masyarakat bukan hal baru. Cukup banyak program kesehatan, termasuk yang sudah mengglobal dan sudah lama ada, mendapat resistansi atau penolakan.
Di sejumlah negara, cakupan vaksinasi anak masih rendah akibat penolakan vaksinasi. WHO bahkan memasukkan penolakan vaksinasi sebagai satu dari sepuluh ancaman global utama kesehatan.
Program lain yang pernah ditolak di beberapa negara antara lain pemberian zat fluorida pada air minum untuk mengurangi kerusakan gigi (fluoridation of drinking water), vaksinasi wajib (mandatory vaccination) untuk campak dan Covid-19, serta program pencegahan HIV/AIDS lewat edukasi seksual dan distribusi kondom.
Banyak alasan penolakan program kesehatan. Salah satunya, minimnya sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat. Setelah merasa memiliki landasan ilmiah yang relevan dan payung kebijakan program, pemerintah sering terburu-buru ingin mengimplementasikan program tanpa memberi ruang luas untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat.
Masyarakat ”dipaksa” menerima program tanpa tahu secara jelas tujuan, mekanisme, hasil yang diharapkan, dan kemungkinan efek samping. Masyarakat ditempatkan hanya sebagai obyek yang harus ikut.
Alasan lain, ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau pelaksana program. Pemerintah dianggap memiliki kepentingan sepihak di balik program, terutama kepentingan bisnis.
Maraknya penolakan vaksinasi Covid-19 saat pandemi dipicu anggapan bahwa pelaksana program memainkan bisnis tes PCR, masker, alat pelindung diri, vaksin, dan juga penyalahgunaan dana bantuan Covid-19.
Lurah Rejowinangun Wulan Purwandari meletakkan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dalam acara peluncuran rencana perluasan manfaat nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta di Kantor Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, Rabu (2/9/2020).
Hal lain, benturan program dengan kebiasaan, etika, budaya, dan agama. Sebagus apa pun sebuah program tetap akan timbul potensi resistansi jika program bertabrakan dengan nilai-nilai ini.
Di banyak negara, program pencegahan penyakit seksual lewat pendidikan seksual, distribusi kondom, dan pengetesan dini mendapat resistansi dan penolakan karena dianggap memicu promiskuitas.
Penolakan program juga berpotensi terjadi pada program-program inisiatif baru. Semakin baru sebuah inisiatif, semakin besar peluang resistansi. Alasannya, inisiatif baru sering dianggap belum teruji dan masih bersifat eksperimental.
Masyarakat enggan mengadopsinya hingga mereka yakin bahwa inisiatif itu benar-benar aman dan efektif. Selain itu, inisiatif baru mungkin memerlukan perubahan perilaku atau rutinitas masyarakat. Hal ini membuat implementasinya menjadi sulit.
Penolakan masyarakat terhadap program nyamuk Wolbachia dipicu oleh kulminasi isu-isu di atas. Belum pernah terdengar ada sosialisasi adekuat program terhadap masyarakat dan tiba-tiba saja program dijalankan. Jangankan masyarakat umum, tenaga kesehatan juga banyak yang belum tahu tentang adanya program ini.
Padahal, sebagai sebuah program strategis, mestinya informasi program ini menggaung keras. Keterlibatan Bill Gates dalam proyek ini, dan juga pada proyek-proyek WMP lain sejak 20 tahun lalu, menimbulkan spekulasi tentang adanya kepentingan bisnis di baliknya.
Apalagi Microsoft pernah menjadi institusi kolaboratif WMP. Hingga saat ini, masih banyak yang percaya Gates mengambil keuntungan besar di balik penanganan Covid-19, baik lewat bisnis PCR maupun vaksin. Masyarakat pun belum terbiasa dengan konsep ”melawan nyamuk dengan memperbanyak nyamuk lain”.
Ini konsep tak sederhana bagi mereka. Apalagi mekanismenya melalui penyuntikan bakteri ke dalam telur nyamuk dan mengharapkan nyamuk berkembang biak dan menjadi populasi mayoritas tanpa bahaya.
Keterlibatan Bill Gates dalam proyek ini, dan juga pada proyek-proyek WMP lain sejak 20 tahun lalu, menimbulkan spekulasi tentang adanya kepentingan bisnis di baliknya.
Problem komunikasi
Sebagai masyarakat awam, alur-alur proses ini menimbulkan beragam pertanyaan logis: bagaimana jika nyamuknya menjadi ganas, bagaimana jika Wolbachia membawa infeksi baru, mengapa harus menggunakan program rumit, sementara nyamuk bisa dibasmi dengan abatisasi dan obat nyamuk?
Meski disuguhi data ilmiah keuntungan program, sepanjang pertanyaan-pertanyaan sederhana ini belum terjawab, sulit bagi mereka menerima program ini.
Alasan lain, program ini masih relatif baru dan teknologinya pun dianggap novel. Hasil penelitian epidemiologisnya di Indonesia baru dipublikasikan dua tahun lalu. Masyarakat khawatir akan ada efek samping pengembangan populasi nyamuk baru ini, baik pada manusia, binatang, maupun lingkungan. Sebagian berargumen uji coba selama ini hanya dalam kurun beberapa tahun dan pada populasi terbatas. Bagaimana efek jangka panjangnya dan pada populasi berbeda?
Sejatinya, model nyamuk Wolbachia ini sebuah program novelty yang sangat menjanjikan. Bisa jadi suatu saat kasus demam berdarah akan menghilang di muka Bumi lewat program ini. Ini positive thinking-nya. Apalagi, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah bahwa program ini berbahaya. Artinya, sejauh ini aspek efektivitas dan keamanannya terpenuhi.
Sayangnya, kebaikan program ini tak diikuti komunikasi yangtepat agar lebih dapat diterima masyarakat. Tanpa itu, program nyamuk ini, dan juga program kesehatan masyarakat lainnya, tidak akan dapat berjalan sukses.
Baca juga : "Wolbachia", Kunci Kemenangan Yogyakarta Melawan DBD
Baca juga : Teknologi ”Wolbachia” Bukan Hasil Rekayasa Genetik
Iqbal Mochtar, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)