Tergantung pada Pasar
Di Pasar Tenten Lelateng, aku tak hanya menemukan transaksi dalam pengertian ekonomi, tetapi telah lama menjadi simpul persilangan budaya antarkelompok-kelompok etnis di Indonesia.
Hidup kami tak pernah jauh dari pasar. Saat aku kanak-kanak, di jalan tanah yang tepat membentang di depan rumah kami, terdapat pasar pagi. Seingatku pasar ini sering kali disebut pekenan tenten, sejenis pasar kaget di wilayah urban. Mata dagangan yang paling banyak dijajakan di pasar ini berupa hasil bumi dan produk-produk usaha kecil rakyat. Selain bisa menemukan sayuran yang kini langka seperti semanggi dan gondo atau buah kuwista (kawista) dan asem badung, kami bisa menemukan hasil kerajinan rakyat. Biasanya di sini dijual juga tikar pandan berduri dan timba dari pucuk pohon ibus (sejenis palem).
Pasar Tenten Lelateng, demikian nama yang aku kenang dari pasar ini, hanya beroperasi dari pukul 04.00 sampai pukul 09.00. Selewat itu, jalanan kembali dibuka untuk menghubungkan desa kami dengan Desa Baluk yang terletak di seberang persawahan. Oh ya, Desa Baluk hanya berjarak tak lebih dari 3 kilometer dari rumah kami dan telah lama menjadi pemasok utama kebutuhan sehari-hari rakyat.
Para penduduk Desa Baluk yang rata-rata hidup dari bertani menyalurkan hasil pertanian mereka ke Pasar Tenten Lelateng. Merekalah yang menjual sayuran langka tadi dan juga produk-produk olahan seperti gula aren dan asam jawa.
Hal yang tak pernah lekang dalam ingatanku, di pasar ini juga dijajakan produk-produk olahan seperti kerupuk, terasi, ikan asin, dan berbagai jenis jajanan pasar seperti putu mayang, puli, serabi kuah, cucur, arem-arem, onde-onde, lumpia, dadar gulung, getuk, dan banyak lainnya. Bukan soal kuenya saja yang enak, tetapi para pedagangnya hampir bisa dipastikan berasal dari kampung tetangga. Umumnya para penjaja kue ini berasal dari Desa Loloan Barat dan Loloan Timur, yang mayoritas penduduknya dari suku Jawa, Melayu, Madura, dan Bugis.
Mungkin kau tak percaya, mereka menggunakan bahasa lokal, yang mereka sebut sebagai bahasa Loloan. Heterogenitas di antara penduduk Loloan membuat mereka ”menciptakan” bahasa lokal, yang sebagian besar dikonstruksi oleh bahasa Melayu, Jawa, Bugis, dan Bali. Bahasa Loloan sangat mirip dengan bahasa Malaysia, di mana hampir seluruh kata yang berakhir dengan vokal ”a”, diucapkan dengan ”e”. Sebutan kata ganti orang seperti ”kau” pada vokal ”u” tidak dibaca ”o” seperti dalam bahasa Indonesia, tetapi tetap dibaca ”u” seperti dalam ”mau”.
Misalnya:
”Gimane kabar kau, Mat?”
”Awak nak mudik kampung besuk.”
”Nak hajatan kau?”
”Ndak, Makku sakit.”
”Sakit ape?”
”Tau, katanye ade benjol di kepalanye.”
”Ha? Busul?”
(”Bagaimana kabarmu, Mat?”
”Saya mau pulang kampung besok.”
”Apakah hajatan kau?”
”Tidak, ibuku sakit.”
”Sakit apa?”
”Tahu, katanya ada benjolan di kepalanya.”
”Ha? Bisul?”)
Percakapan tadi menjadi ciri khas bahasa Loloan, sangat kental oleh percampuran bahasa Melayu, Jawa, dan Bali. Kata ”busul” berakar pada bahasa Bali untuk mengatakan ”bisul”. Lalu perubahan vokal terakhir ”a” menjadi ”e” mengacu pada pelisanan dalam bahasa Bali, yang diucapkan dalam cengkok khas Melayu.
Baiklah, bukan soal bahasa lokal itu yang ingin aku percakapkan hari ini. Namun, soal mata dagangan yang mereka jajakan sehari-hari di Pasar Tenten itu. Merekalah yang menjadi produsen utama jajanan pasar berbau Melayu itu di Pasar Tenten Lelateng. Secara perlahan dalam banyak upacara pada masyarakat Bali, mulai juga disuguhkan kue-kue yang kutemui di pasar ini.
Singkat kata di Pasar Tenten Lelateng, aku tak hanya menemukan transaksi dalam pengertian ekonomi, tetapi telah lama menjadi simpul persilakan budaya antarkelompok-kelompok etnis di Indonesia.
Dulu, jajanan utama untuk menjamu tamu di rumah kami terbatas pada kue seperti sumping (nagasari), rendang (pisang goreng), jemblem (combro), dan lapis ketan. Sejak era tahun 1980-an, kue-kue yang dijajakan di pasar depan rumah, sudah mulai banyak dibuat oleh masyarakat Bali, termasuk di desa-desa yang jauh di pelosok seperti Desa Awen atau Desa Tegalbadeng, yang jaraknya 6-7 kilometer dari desaku.
Sejak aku kanak-kanak, Bapak dan Ibu sudah suka berdagang. Kami menggelar meja kecil di depan rumah, tepat di sisi selatan Pasar Tenten Lelateng. Sebelum berangkat mengajar ke SD No 3 Negara (kini SD No 1 Lelateng), Ibu berjualan lontong (tipat cantok), cendol daluman, rendang, jemblem, dan yang istimewa roti ilut. Coba kau bayangkan saja bentuk Twist Donut dari Tous les Jours. Kira-kira bentuknya mirip ini, sama-sama digoreng dan ditaburi gula, bedanya roti ilut bikinan Bapak cenderung keras. Entahlah, sampai Bapak wafat aku tak pernah tahu di mana ia pernah belajar membuat donat ilut semacam itu.
Singkat kata di Pasar Tenten Lelateng, aku tak hanya menemukan transaksi dalam pengertian ekonomi, tetapi telah lama menjadi simpul persilangan budaya antarkelompok-kelompok etnis di Indonesia. Di kemudian hari ia menjadi potret perubahan sosial, yang oleh karena pengutamaan transaksi ekonomi, menyebabkan kelonggaran kohesi sosial pula.
Dulu, orang-orang Jawa dan Melayu yang memeluk Muslim tidak pernah merasa jijik dan takut pada anjing. Sejak era awal tahun 1990-an, sebagian dari mereka mulai jijik dan bahkan takut kalau melihat anjing. Tak jarang terjadi kehebohan di dalam pasar, gara-gara seekor anjing yang menerobos masuk di antara keriuhan pedagang.
Kejijikan dan ketakutan terhadap anjing secara perlahan merenggangkan relasi persaudaraan yang telah terjalin selama ratusan tahun antara penduduk Bali dan para pendatang yang memeluk Muslim. Suatu hari anjing kesayangan milik pamanku, I Ketut Tilem, dilempar batu oleh seseorang di dekat pasar. Karena melihat kaki anjingnya pincang, paman marah dan menanyai para pedagang di dalam pasar. Ia bahkan mengancam para pengunjung, jika ketahuan melempar anjingnya akan membuat perhitungan sendiri.
Perubahan yang benar-benar mencabut fungsi pasar sebagai simpul kohesi sosial terjadi pada era tahun 1990-an. Pasar Tenten Lelateng dianggap telah membuat kemacetan ruas jalan yang menghubungkan Desa Lelateng dengan Desa Baluk yang mulai ramai. Oleh pemerintah desa, Pasar Tenten kemudian dipindahkan ke tengah persawahan di dekat temuku (semacam cekdam tradisional untuk irigasi sawah).
Di lokasi yang baru, pasar kemudian dikelola oleh desa adat dengan kios-kios dan los yang harus disewa. Setiap pedagang harus tercatat dan menyewa tempat yang telah disiapkan oleh desa adat. Sementara di lokasi sebelumnya, para pedagang cukup menggelar dagangan di jalanan dan hanya membayar pungutan dari selembar karcis yang tak lebih dari Rp 50 (lima puluh rupiah).
Sampai di situ aku ingat kisah novel berjudul Pasar yang ditulis Kuntowijoyo. Seorang priayi Jawa bernama Pak Mantri Pasar, yang menjadi Kepala Pasar Gemolong, berhadapan dengan pengusaha kaya tetapi sombong bernama Kasan Ngali. Pak Mantri mewakili kutub tradisional dalam mengelola pasar. Ia, misalnya, memelihara banyak burung merpati yang dibiarkan berkeliaran di sekitar pasar. Para pedagang pasar mulai protes karena burung tak hanya mengganggu, tetapi juga telah menyebabkan pasar jadi jorok dan sepi. Situasi sepi itu juga dirasakan pengelola bank pasar bernama Zaitun.
Kondisi pasar yang ”tidak sehat” itu membuat penetrasi Kasan Ngali lebih mudah. Ia membuat pasar saingan di halaman rumahnya sendiri. Para pedagang yang melihat kondisi tempat berjualan lebih bersih dan menjanjikan ramai-ramai berpindah. Bank pasar yang dikelola Zaitun pun berpindah ke pasar Kasan Ngali.
Kuntowijoyo sedang memotret perubahan sosial dari sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional yang biasanya dikelola oleh pemerintah lokal cenderung tak terurus. Pengurus pasar yang juga biasanya dari golongan priayi di masa lalu cenderung memperlakukan pasar sebagai ”wilayah jajahan”. Mereka berbuat semau-maunya, seperti di rumahnya sendiri. Pada tahun 1990-an, sangat marak terjadi ”pemodernan” terhadap para tradisional. Para pengelola lokal, termasuk Pasar Tenten Lelateng, beranggapan bahwa untuk menghindarkan pasar-pasar tradisional dari kejorokan, maka harus dilakukan ”pemodernan” dengan memasukkan investor.
Fakta lain di Kota Negara, kotaku, sejak beberapa pekan lalu Pasar Umum Negara dirobohkan total. Konon Bupati Jembrana I Nengah Tamba telah memperoleh investor untuk membangun sebuah pasar modern. Bupati sebelumnya, I Putu Artha, telah membangun sebuah gedung besar tak jauh dari Pasar Umum Negara. Pasar itu disebut sebagai Pasar Modern Tradisional Jembrana. Sampai hari ini, tak banyak pedagang yang mengisi kios-kios yang telah dibangun dengan dana miliaran rupiah itu.
Jika dulu ia bebas berjualan di depan rumah di tepi jalanan, kini harus membeli kios yang harganya puluhan juta rupiah. Artinya, ia membutuhkan modal lebih besar ’hanya’ untuk berjualan kue-kue upacara, yang ia buat dengan penuh ketakziman.
Kegandrungan para birokrat merobohkan pasar tradisional dan mendirikan pasar modern dilatari oleh tren indikator ekonomi. Sejak era awal 1990-an, di berbagai pelosok kota tengah marak investasi supermarket (pasar swalayan), yang kemudian direspons dengan rentetan pendirian minimarket sampai ke desa-desa. Dalam perhitungan para birokrat itu, memodernisasi pasar tak terhindarkan. Sebab, itulah cara mereka untuk menarik investasi dan mengubah pasar menjadi bercitra bersih dan higienis. Selain turut membentuk citra sebuah kota, pasar adalah simbol dari pencapaian prestasi sebuah periode pemerintahan di daerah.
Ibu dengan segenap kemampuan yang dia miliki menerima saja apa yang diputuskan oleh aparat desa. Pada usia yang sudah memasuki angka 80 tahun lebih, ia membeli kios di Pasar Desa Lelateng, jelmaan dari Pasar Tenten Lelateng. Jika dulu ia bebas berjualan di depan rumah di tepi jalanan, kini harus membeli kios yang harganya puluhan juta rupiah. Artinya, ia membutuhkan modal lebih besar ”hanya” untuk berjualan kue-kue upacara, yang ia buat dengan penuh ketakziman.
Oh, asal tahu untuk sebungkus kue kaliadrem yang isinya 20 buah, Ibu hanya memperoleh keuntungan Rp 50 (lima puluh rupiah). Sebungkus kembang duren (kembang goyang) yang isinya 20 buah, Ibu memperoleh keuntungan Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).
Dulu keuntungan sebesar itu masih bisa lumayan menghidupi keluarga karena ia tak perlu mencicil pinjaman di LPD (Lembaga Perkreditan Desa) untuk pembelian kios. Saat ini, justru ketika kiosnya sudah berdinding batako dan beratap asbes, keuntungan yang sama tidak berarti apa-apa. Kau bisa bayangkan sendiri, apakah itu kemajuan?
Soal lain yang jarang dipertimbangkan, perubahan wajah pasar menjadi beridentitas ”modern” telah membuat perubahan perilaku para pelakunya. Urusan utang-piutang yang dulu bernuansa tolong-menolong dan persaudaraan tidak lagi bisa dilakukan. Para pedagang lebih bersikap pragmatis, ”tidak ada uang tidak ada barang”, sebab piutang berarti membekukan modal di bawah tangan. Sikap semacam itu dilandasi kondisi, di mana para pedagang harus mengejar ”setoran” untuk membayar cicilan.
Aku tidak ahli dalam soal perhitungan ekonomi, tetapi kenyataan itu menunjukkan bahwa anggapan mengubah pasar tradisional menjadi pasar modern tidak sepenuhnya mengangkat kehidupan para pedagang. Alih-alih mengubah kehidupan, perubahan itu justru menyebabkan banyak pedagang kecil terjerat utang. Belum lagi soal-soal relasi sosial yang harus dikorbankan untuk sebuah perubahan yang terkadang ”utopia”.
Meski begitu, tampaknya Ibu tak punya pilihan lain. Ia harus selalu dekat dengan pasar. Dalam dirinya, pasar bukan cuma soal berjualan, yang senantiasa transaksional, melainkan di situlah ia mengekalkan daya hidup. Dinamika sebuah pasar adalah denyut kehidupan yang menjamin kelangsungan sebuah wilayah, termasuk wilayah di dalam diri.
Kue-kue itu tidak saja berupa olahan adonan tepung, gula, dan keuntungan, tetapi telah menjelma menjadi semacam pengabdian yang tulus untuk melanjutkan garis tradisi di tengah arus perubahan zaman.
Seorang kawi-wiku (pujangga besar Bali) bernama Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984) dalam Gaguritan Salampah Laku mengungkapkan, tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin. Artinya, jika tidak memiliki tanah sawah, tanamilah pekarangan di dalam dirimu. Inilah ajaran tentang kerendahan hati di hadapan begitu luas pengetahuan yang bisa kau reguk dari sekitarmu.
Bahwa eksistensi diri di dalam sebuah pasar, sebagaimana dilakoni Ibu, tak lain adalah keberadaan diri di tengah gemuruh perubahan zaman yang berlangsung dari waktu ke waktu. Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Ia harus dijalani dengan sikap penuh hormat dengan terus-menerus meletakkan kendali perubahan di dalam diri. Lingkungan sosial, termasuk kultural, boleh terus berubah, tetapi sikap kukuh Ibu terhadap kue-kue tradisional buatannya telah membuatnya selalu bergairah melakoni hidup.
Dengan kata lain, kue-kue itu tidak saja berupa olahan adonan tepung, gula, dan keuntungan, tetapi telah menjelma menjadi semacam pengabdian yang tulus untuk melanjutkan garis tradisi di tengah arus perubahan zaman. Hanya dengan sikap takzim semacam itulah kau akan siap menghadapi berbagai situasi sekritis apa pun keadaannya.
Wujud pasar boleh berubah, karena itu watak dasarnya sebagai cermin sosial sebuah masyarakat, tetapi seharusnya ”jiwa dalamnya” tetap kukuh memegang prinsip tolong-menolong, kekerabatan, dan persaudaraan. Transformasi semacam inilah yang harusnya dipegang kuat oleh para penentu kebijakan. Pendeknya, pasar modern boleh tumbuh di mana-mana, tetapi alangkah indahnya kemodernan itu menusuk sampai pada cara berpikir, perilaku, dan etika publik. Bukankah modern tidak hanya dilihat dari bangunan pasar yang megah dan bersih, bukan?
Jika cara menyikapi perubahan bisa sampai pada tahap ini, niscaya pasar akan selalu menjadi simpul penting di sebuah kota. Dinamika sikap seluruh masyarakat pendukungnya akan selalu tergantung pada pertumbuhan dan perkembangan sebuah pasar.
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022