Semoga kita semua berada dalam kejernihan berpikir dan kewarasan logika, tetap berlandaskan etika dan moral berbangsa dan bernegara. Tetap mengingat bahwa Indonesia itu milik ”kita”, bukan milik ”dia” atau milik ”mereka”.
Kita semua wajib menjaga Indonesia dengan penuh saksama dan dalam tempo selama-lamanya. Kita wajib memastikan bahwa pilar hukum sebagai garda negara demokrasi ditegakkan dan dijunjung tinggi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu Semua orang berhak atas pencapaian prestasi di bumi ini. Hal itu tidak bisa dihalangi atas dasar hak asasi. Akan tetapi, pencapaian itu berpijak pada koridor: bagaimana cara mendapatkannya. Bukan hanya melihat apa yang telah didapatkannya.
Etika, moral, sopan santun, adab, serta adat istiadat di negeri ini harus selalu ditegakkan meskipun berkerudung jargon demokrasi. Konsekuensi demokrasi adalah menang-menangan. Siapa yang menang itulah yang berkuasa. Lantas, pertanyaan yang penting adalah bagaimana caranya meraih kemenangan?
Pencapaian itu berpijak pada koridor: bagaimana cara mendapatkannya. Bukan hanya melihat apa yang telah didapatkannya.
Tahapan pemilu sudah berjalan. Kalau ada politisi yang sering tampil di media massa dengan leher berurat-urat menyatakan bahwa ”pemilu belum mulai kenapa takut kami curang”, saya kadang tersenyum sambil menanyakan, itu politisi alumni dari mana.
Coblosan pada 14 Februari 2024 itu titik kulminasi tahapan pemilu. Esensi pemilu itu sudah berjalan ketika para ketua partai berbondong-bondong menentukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan mereka usung. Lalu, dilanjutkan dengan deklarasi terbuka dan penggalangan massa.
Rakyat pun kemudian mulai terbelah dan resah karena tetap saja akan menjadi tiga kubu yang berseteru. Akankah negeri ini akan selalu resah?
Mari kita memosisikan diri sebagai pengawal etika dan moral di negeri ini. Ibarat sepak bola, silakan ada yang jadi wasit, ada yang menjadi hakim garis. Ada pula menjadi suporter, ada yang menjadi wartawan peliput, ada yang menjadi pemandu sorak, dan lain-lain. Dengan peran masing-masing ini, semoga kecurangan serta pelanggaran etika dan moral akan terawasi.
Kembali kepada nasihat nenek moyang kita bahwa ”Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti”. Semua perilaku buruk, jahat, dan tidak adil akan lebur oleh budi pekerti yang luhur.
Sri Handoko
Tugurejo, Semarang
Pinjol dalam Praktik
Berita utama harian Kompas (23-24/11/2023) mengungkap keprihatinan atas tingginya kredit macet di kalangan generasi muda seiring dengan pesatnya pinjaman online alias pinjol.
Bagi perkreditan konvensional, prinsip-prinsip perkreditan yang sehat memang diragukan dalam pinjol. Selain strukturnya agak kompleks, proses yang serba mudah dan cepat juga berakibat pada kurangnya tingkat kehati-hatian.
Pada pihak pemberi dana dan pemberi pinjaman tak ada semacam fit and proper test untuk menjajaki pengetahuan tentang perkreditan. Dalam praktik, semua orang yang punya ponsel bisa menjadi pemberi pijaman dan penerima pinjaman.
Dalam proses penilaian sampai pemberian kredit, prinsip ”5C” (character, capacity, capital, collateral, dan conditions of economy) yang intinya mengenali nasabah atau ”know your customers” dianggap sudah kuno.
Cukup berbekal fotokopi KTP yang membuktikan bahwa orangnya memang ada dan mempunyai tempat tinggal. Karakter? Syukur kalau ada catatan rekam jejak dari biro kredit atau kreditor lainnya. Kalau tidak ada, cukup pandang pertama petugas.
Pada pihak pemberi dana dan pemberi pinjaman tak ada semacam fit and proper test untuk menjajaki pengetahuan tentang perkreditan.
Kapasitas juga tak perlu. Pinjaman boleh untuk keperluan konsumtif. Pinjol untuk konsumtif mencapai 62,1 persen dari total penyaluran sebesar Rp 19 triliun kepada 18,9 juta debitor pada Januari hingga Agustus 2023 (Kompas, 23/11/2023). Prosedur yang mudah dan cepat merangsang syahwat ”lebih besar pasak daripada tiang”.
Pinjaman tanpa agunan sekarang digalakkan dan diperbesar nominalnya oleh pembuat kebijakan. Menurut prinsip keuangan mikro, skema tersebut hanya layak dilakukan di mana ”hubungan sosial” antara calon peminjam dan lembaganya cukup erat.
Proses perkreditan sehat (penilaian, pemberian, pengawasan, sampai penyelesaian kredit) pada pinjol di-by-pass dengan laporan ”tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari setelah jatuh tempo” (TWP90). Ini diikuti penagihan oleh debt-collector yang kerap menggunakan cara tidak etis.
Saat ini, makin diperlukan edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Selain itu, juga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat dan komprehensif untuk menegakkan prinsip perkreditan yang sehat.
Sumantoro Martowijoyo
Jl Batik Raya, Pekalongan