Membaca Resolusi Gaza
Sering dilupakan bahwa sesuai mandatnya, DK bertanggung jawab untuk mengeluarkan resolusi yang mengikat secara hukum.
Perang Hamas- Israel, yang dipicu oleh serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, semakin tidak terkontrol dan menjadi bola liar.
Ribuan korban warga Palestina di Jalur Gaza (de facto di bawah Hamas) tewas dan luka-luka. Belum terlihat ”cahaya (penyelesaian) di ujung terowongan” dan mata dunia kini terfokus pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemegang otoritas penjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Baru dalam Sidang Darurat Khusus (Emergency Special Session/ESS) Majelis Umum (MU) PBB, 27 Oktober 2023, Agenda 10 bertajuk ”Illegal Israeli actions in Occupied East Jerusalem and the rest of the Occupied Palestinian Territory” akhirnya disepakati sebagai sebuah resolusi.
Resolusi ES-10/21 protection of civilians and upholding legal and humanitarian obligations ini disepakati dengan 120 negara mendukung, 14 menentang, dan 44 abstain; sementara 14 negara lain absen. Harapan merekah seakan perdamaian sudah di depan mata.
Isu Palestina sebenarnya bukan isu baru atau istimewa, khususnya bagi Dewan Keamanan (DK) PBB.
Agenda ”rutin”
Isu Palestina sebenarnya bukan isu baru atau istimewa, khususnya bagi Dewan Keamanan (DK) PBB. Sejak 1948, PBB telah membahasnya dalam kerangka situasi Timur Tengah, mulai dari perang Arab-Israel, Palestina-Israel, dan kini Hamas-Israel.
Pola upaya penyelesaiannya juga serupa: PBB akan menyerukan gencatan senjata, pembukaan jalur bantuan kemanusiaan, pengiriman pengamat militer, hingga pengerahan pasukan penjaga perdamaian ke wilayah tersebut. DK berulang kali menyerukan perundingan untuk mencapai penyelesaian akhir konflik Israel-Palestina.
Melalui Resolusi 181 (1947), DK menegaskan visi dua negara, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan dan mendukung Peta Jalan Kuartet (PBB, Rusia, AS, Uni Eropa) dalam Resolusi 1515 (2003) berupa rencana solusi permanen dua negara.
Melalui Resolusi 2334 (2016), DK menyatakan, pembangunan permukiman di wilayah yang diduduki Israel sejak 1967 dinilai tidak sah dan menuntut agar negara Bintang David itu menghentikan semua aktivitasnya (di Tepi Barat ataupun Gaza).
Melalui Resolusi 242 (1967) dan 338 (1973), DK PBB telah menetapkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelesaian damai yang dinegosiasikan berdasarkan formula land for peace.
Dalam buku The United Nations Security Council and War (2008), Dubes Inggris Lord Carradon (Hugh Mackintosh Foot) yang terlibat dalam proses perundingannya mengungkapkan, formula ini merupakan rangkuman dari resolusi yang menegaskan bahwa perdamaian harus memiliki dua prinsip, yakni penarikan pasukan Israel (menyerahkan tanah) dan penghentian semua klaim atau keadaan perang (membuat perdamaian).
Ilustrasi
Menurut Carradon pula, tidak ada cara untuk menyepakati gencatan senjata tanpa menekankan ”tidak dapat diterimanya suatu akuisisi wilayah melalui perang”. Penafsiran ini banyak ditentang karena menyiratkan bahwa penarikan Israel ke batas sebelum 1967 menjadi syarat kesediaan negara-negara tetangganya berdamai.
Berdasarkan Bab VI, Pasal 34, Ayat 1 Piagam PBB, perang ini kemudian diajukan ke DK, tetapi empat kali pembahasannya mengalami kebuntuan.
Rancangan resolusi Rusia (16/10/2023), Brasil (18/10/ 2023), Rusia (25/10/2023), dan AS (25/10/2023) secara umum memiliki kesamaan: menyerukan gencatan senjata atau jeda kemanusiaan (humanitarian ceasefire/pause), akses bagi bantuan, evakuasi penduduk sipil, pematuhan pada hukum internasional, dan pembebasan sandera.
Namun, rancangan-rancangan itu ditolak karena tidak mencapai kuorum atau diveto secara terpisah oleh AS, atau Rusia dan China. Alasannya beragam, karena tak mengutuk Hamas, tidak ada rujukan terhadap hak bela diri Israel, dan ”tidak memberi kepastian” (evasive) bagi penghentian pertempuran.
Karena kegagalan DK, pembahasan mengenai masalah ini kemudian dibawa ke MU dalam bentuk ESS. Hal ini sesuai dengan Resolusi 377A(V), Uniting for Peace, yang disahkan MU pada 3 November 1950, yang menyatakan, ”ESS dapat diadakan dalam waktu 24 jam”.
Bagian terpenting dari resolusi ini menyatakan, ketika tak ada suara bulat dari anggota tetap, MU akan mengambil alih masalah ini. ESS akan diadakan jika diminta/disetujui tujuh anggota mana pun atau oleh mayoritas anggota PBB.
ESS sudah puluhan kali diadakan, sejak pertama kali pada 1956, membahas krisis Suez. Sejauh ini tercatat 11 agenda ”tetap”, mulai dari krisis Suez (Agenda 1/1956), invasi Uni Soviet ke Hongaria (Agenda 2/1956), pendudukan Afrika Selatan atas Namibia (Agenda 8/1981), hingga terakhir Invasi Rusia ke Ukraina (Agenda 11/2022).
Bagian terpenting dari resolusi ini menyatakan, ketika tak ada suara bulat dari anggota tetap, MU akan mengambil alih masalah ini.
Dalam praktiknya, agenda ESS dapat ditambah sesuai perkembangan mendesak yang terjadi dan dibahas berkali-kali. Isu Palestina-Israel terdiri dari sejumlah subagenda tetap: konflik Israel-Palestina (lima kali sidang antara 1980 dan 1982); pendudukan Israel atas Dataran Tinggi Golan (satu kali, 1982); konflik Israel-Palestina, khususnya Jerusalem Timur dan daerah yang diduduki Israel (Agenda 10), yang telah diadakan 19 kali sidang sejak 1997-2023.
Jordania, atas nama kelompok negara Arab, jadi inisiator sidang ESS kali ini bersama ”sejumlah negara yang sepaham” (like minded countries), termasuk Indonesia, yang disebut sebagai sponsor/ko-sponsor.
Ke-41 negara inilah yang aktif terlibat dalam pembahasan dan perumusan rancangan resolusi, hingga diambil suara dengan dukungan (in favour) mayoritas anggota, dan ditentang oleh AS, Israel, dan negara-negara liliput, seperti Fiji, Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia, Nauru, dan Tonga. Sebagai tambahan, sejak 2015, MU telah mengesahkan 140 lebih resolusi terkait isu Palestina-Israel.
Substansi Resolusi ES-10/21
Secara substantif, isi 13 paragraf pembuka (preambular paragraph/PP) bersifat umum dan normatif karena merujuk pada prinsip Piagam PBB dan resolusi-resolusi sebelumnya.
Secara khusus PP-6 menyatakan keprihatinan yang dalam (grave concern) pada peningkatan kekerasan, tak hanya di Jalur Gaza dan wilayah Palestina yang diduduki, tetapi juga di Israel. Bahkan PP-7 mengutuk (condem) aksi kekerasan yang dilakukan terhadap penduduk sipil Palestina dan Israel.
Ilustrasi
Seperti diketahui, hingga ESS dilaksanakan, situasi di Tepi Barat relatif tenang. Tak heran jika Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menegaskan tindakan dan kebijakan kelompok Islam Hamas tidak mewakili rakyat Palestina (The Strait Times, 16/10/2023).
Adapun paragraf operatif (operative paragraph/OP) merekomendasikan: OP-1, dilakukannya gencatan senjata segera (immediate), tahan lama (durable) dan berkelanjutan (sustained), menuju penghentian permusuhan (hostilities).
OP-2 menuntut agar semua pihak (all parties!), bukan hanya Israel, mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional, termasuk terkait perlindungan penduduk dan tempat- tempat sipil, tenaga kemanusiaan, kombatan yang tak mampu berperang karena luka atau cedera (persons hors de combat).
Sementara, OP-6 menolak pemindahan paksa (forced transfer) penduduk sipil Palestina; dan OP-7 menyerukan agar sandera (Israel) dibebaskan.
Sering dilupakan bahwa sesuai mandatnya, DK bertanggung jawab untuk mengeluarkan resolusi yang (semestinya) mengikat secara hukum. Sementara MU sebagai badan deliberasi mendiskusikan berbagai masalah sesuai dengan ruang lingkup PBB sehingga resolusi- resolusinya bersifat rekomendasi dan tidak mengikat.
Jika DK tak berhasil menyepakati sebuah resolusi dalam empat kali sidangnya, jelas bahwa Resolusi ES-10/21 merupakan resolusi kompromi, karena itu isinya sangat lunak (lenient).
Namun, dalam kenyataannya, resolusi DK pun sebenarnya tidak mengikat dan memiliki kekuatan memaksa (Pasal 44), dalam arti tak harus dilaksanakan semua anggota PBB. Contohnya, Resolusi 242 dan 338 di atas serta Resolusi 2334 mengenai pembangunan permukiman oleh Israel hingga saat ini.
Israel juga tidak dengan sendirinya terkucil karena pada 2020 sekitar 165 negara telah mengakui negara Yahudi ini.
Demikian pula, lebih dari 150 resolusi DK, dari 1967 hingga 2016, yang berisi kewajiban bagi Israel, dianggap sebagai ”angin lalu”, dan masyarakat dunia tidak bisa berbuat apa-apa.
Kehebohan di Indonesia
Menariknya, di Indonesia, Resolusi ES-10/21 ini telah menimbulkan ”kehebohan”: sebuah stasiun TV menampilkan slogan ”Indonesia Sponsor Resolusi”, Tiktok menampilkan video ”Israel Kalah Telak di PBB, 120 Negara Lawan 14 Negara”, seakan Israel akan hancur karena resolusi itu.
Banyak pihak menilai Resolusi ES-10/21 sebagai, pertama, suatu keberhasilan besar yang akan menyelesaikan perang Hamas-Israel dan masalah Palestina secara keseluruhan. Kedua, kemenangan masyarakat dunia dalam perang melawan Israel. Ketiga, mobilisasi demonstrasi di sejumlah negara dunia akan memaksa Israel tunduk. Keempat, Israel akan dikucilkan dari pergaulan internasional.
Kehebohan ini jadi lebih ”menarik” karena kemajuan teknologi informasi sehingga ”kemasan” dan ”pemasaran”-nya kian canggih. Israel memang kalah telak, bahkan bukan hanya kali ini, melainkan dalam lebih dari 200 resolusi PBB tentang Palestina. Namun, itu lebih ”di atas kertas” (resolusi), sedangkan di lapangan kenyataan berbeda.
Israel juga tidak dengan sendirinya terkucil karena pada 2020 sekitar 165 negara telah mengakui negara Yahudi ini.
Sementara 28 negara belum mengakui, termasuk Afghanistan, Brunei, Indonesia, Iran, Kuba, Malaysia, Korea Utara, Libya, Arab Saudi, dan Yaman. Adapun Hamas sendiri sejak 1997 telah dimasukkan dalam daftar kelompok teroris oleh AS, Uni Eropa, Inggris, dan sejumlah negara lain. Melalui serangannya ke Israel, 7 Oktober, dikhawatirkan justru Hamaslah yang akan semakin dikucilkan.
Perang di mana pun pasti brutal dan kebrutalan Israel juga pernah terjadi sebelumnya dalam kerusuhan yang menyebabkan terjadinya peristiwa Intifada (perlawanan) I (1987) dan II (2000). Intifada I berujung pada Perjanjian Oslo (1993) dan Intifada II juga berakhir dengan perdamaian.
Ilustrasi
Namun, dalam kasus Gaza, kebrutalan Israel yang memakan korban lebih dari 4.000 anak memang sudah keterlaluan. Sayangnya, meski rakyat sipil Palestina paling banyak menjadi korban, Hamas masih bertekad melanjutkan perlawanan di Gaza; sementara di Tepi Barat ”hanya” terjadi bentrokan sporadis. Israel menuntut dilepaskannya warganya yang ditangkap, sebagai syarat humanitarian truce.
Mungkin kehebohan yang terjadi, khususnya di Indonesia, lebih disebabkan oleh ketidaktahuan dan bukan karena mencari sensasi. Kesedihan dan keprihatinan seyogianya lebih dikedepankan dan bukannya teriakan dan slogan perang yang memanaskan sehingga mengurangi makna dan menyebabkan jatuhnya lebih banyak korban.
Demikian pula penggalangan dana secara masif, yang dilakukan lebih tepat sasaran, karena Dubes Palestina di Indonesia pernah menegaskan tak pernah menerima bantuan apa pun yang digalang.
Sun Tzu mengungkapkan, tak ada negara yang diuntungkan oleh perang yang berkepanjangan. Kalaupun Hamas dan Israel masih ingin berperang, lebih baik mereka ingat kata Zhou Enlai: ”Semua diplomasi adalah kepanjangan dari perang dalam bentuk lain”. Yang pasti, diplomasi tak akan memakan korban rakyat sipil.
Baca juga : Pusaran Konflik Israel-Palestina Seret Dunia dalam Situasi Rumit
Dian Wirengjurit Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional, Bertugas di PTRI New York (1990-1994) dan PTRI Geneva (1997-2001 dan 2003-2007)