Pahlawan adalah orang-orang yang telah meninggalkan jejak emansipasi dan humanisasi bagi cita-cita masyarakat dan bangsanya. Sayangnya, kisah mereka perlahan dikalahkan narasi generasi ”yang pragmatis”.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·4 menit baca
Di setiap daerah, kota besar atau kecil, selalu ada Taman (Makam) Pahlawan. Seperti ’taman ingatan’ bagi mereka yang hidup. Tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang berjasa, yang berjuang, demi tanah airnya. Taman ingatan itu perlahan bertransformasi dalam taman digital yang memperkaya makna kepahlawanan bersamaan dengan perubahan selera budaya generasi baru.
Di antara para pahlawan ada yang gugur tanpa pusara atau dimakamkan di pemakaman biasa yang mungkin tanpa upacara penghormatan. Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut pahlawan sebagai orang yang ”telah berjuang sepanjang hayatnya melangkaui tantangan zaman” (Kompas, 25/3/2023). Anhar Gonggong mengatakan, pahlawan sebagai orang yang ”telah berjasa dan mengorbankan jiwanya untuk kepentingan kemerdekaan” (Kompas, 11/11/2023).
Dengan segala kekurangannya, pahlawan merupakan tokoh yang berbuat sesuatu yang berarti dan tidak berbuat sesuatu yang mencemari generasinya. Mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan jejak emansipasi dan humanisasi bagi cita-cita masyarakat dan bangsanya. Sayangnya, kisah generasi ”yang terbaik” ini semakin tenggelam dalam masyarakatnya dan perlahan dikalahkan narasi generasi ”yang pragmatis”. Kenyataannya, di negeri ini, masyarakatnya mudah melupakan jasa dan pemikiran orang-orang yang telah menentukan nasib bangsanya.
Kini, diakui atau tidak, komunitas penggemar digital menjadi pengambil keputusan dalam membuat pemeringkatan bintang dan ’pahlawan’ dalam ekonomi perhatian.
Beralasan jika Presiden Joko Widodo perlu mengingatkan di akun media sosialnya bahwa Hari Pahlawan adalah saat meneladani perjuangan para pahlawan yang mempertahankan kemerdekaan dengan nyawa, darah, peluh, dan air mata. Caranya adalah, demikian kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, ”tidak menggerogoti, mengeksploitasi, menyiasati, menyalahgunakan, dan menjualbelikan Indonesia demi kepentingan diri, kroni, dinasti, golongan sendiri, serta segala hasrat sesaat dengan mengatasnamakan kepentingan Indonesia” (Kompas, 11/11/2023).
Memang makna kepahlawanan bukan terletak di monumen atau taman pahlawan, melainkan di relung imajinasi generasi kini dan akan datang dalam dinamika sejarah bangsanya. Di tengah ekonomi perhatian, orang bersaing meraih perhatian. Perhatian adalah komoditas dan modal bagi manusia di era digital. Di era ini, makna kepahlawanan kian berbaur dengan sistem persaingan ketenaran, bintang, dan penggemar seperti dalam dunia hiburan dan budaya populer.
Kata ”pahlawan” (bahasa Inggris hero) secara umum menunjuk pada seseorang yang diteladani karena karakter dan pencapaiannya. Dalam perkembangan imajinasi manusia kontemporer, pahlawan bisa tokoh nyata atau dari dunia fiksi bahkan animasi. Pahlawan dalam budaya populer misalnya dapat berupa tokoh utama dalam sebuah cerita, novel, film, dan sebagainya, yang dikagumi karena kualitas atau keahlian tertentu yang dimilikinya.
Peran pahlawan dan penggemar pada abad ke-21 jauh lebih canggih karena terkait dengan globalisasi ekonomi dan budaya konsumen yang dibawa oleh ekonomi pasar. Di era ini, penemuan kembali penanda pahlawan dan penggemar, terutama disebabkan oleh teknologi digital, aneka platform media sosial, dan pesatnya pembentukan komunitas penggemar melalui jaringan sosial yang menciptakan komunitas digital di mana berbagi diartikan sebagai peduli. Kini, diakui atau tidak, komunitas penggemar digital menjadi pengambil keputusan dalam membuat pemeringkatan bintang dan ”pahlawan” dalam ekonomi perhatian.
Ekonomi perhatian digital meleburkan penghormatan pahlawan dan pemujaan bintang, mencampurkan nilai budaya produktif dan budaya konsumtif. Seperti mendorong orang mengikuti tradisi sekaligus menggandrungi mode terkini. Dalam hal tradisi, kita mengidentifikasi nilai-nilai kolektif, sedangkan dalam hal mode adalah nilai-nilai individual. Jika tradisi merupakan gudang perbendaharaan simbolis dari nilai-nilai, pengetahuan, pelestarian, dan informasi yang diperlukan bagi daya hidup suatu masyarakat, maka pahlawan lebih berfungsi sebagai model identifikasi komunitas. Sementara pemujaan bintang dalam ekonomi perhatian lebih berfungsi sebagai model identifikasi kesuksesan individu dalam budaya konsumtif. Sesuatu yang semula dianggap bertentangan dengan pandangan dunia pahlawan yang menanamkan budaya produktif, ketimbang budaya konsumtif.
Transformasi saluran komunikasi digital memang tidak sepenuhnya menyebabkan kategori pahlawan sejati hilang dalam imajinasi publik dan tergantikan hanya oleh bintang-bintang media sosial seperti pemengaruh atau youtuber yang mengandalkan ketenaran semu lewat jutaan pengikut atau teman virtual. Penghormatan terhadap pahlawan—baik itu pahlawan sejarah, penulis, penyair, dll—terus hidup berdampingan dengan pemujaan terhadap bintang dari dunia hiburan, politik, seni, dan olahraga, meskipun popularitas dan kehadirannya dalam budaya popular, serta kekuatannya untuk membentuk identitas generasi baru secara bertahap terus memudar.
Bukankah jika kita mencermati penghormatan generasi kini terhadap pahlawan, kita masih bisa menemukan nama-nama tokoh sejarah? Orang-orang yang popularitasnya tetap terjaga atau muncul (kembali) di era media sosial dan di tengah-tengah persaingan perhatian para bintang popular. Popularitas mereka lebih karena dedikasi yang telah mereka lakukan, media hanya meneguhkannya.
Karena itu, meskipun ekonomi perhatian mengacaukan selera dan penilaian budaya generasi baru mengenai pahlawan sejati dari bintang atau selebriti, orang-orang hebat (mungkin mereka orang biasa) yang melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan juga akan selalu ada di sejumlah tempat dan waktu; pembuat sejarah bagi masyarakatnya. Untuk mengingat kembali kata-kata sejarawan sosial berpengaruh Daniel J Boorstin dalam The Image (1982),
”Kita bisa mengarang ketenaran, kita bisa sesuka hati (meskipun biasanya dengan biaya yang cukup besar) membuat seorang pria atau wanita menjadi terkenal; tetapi kita tidak bisa membuatnya menjadi hebat. Kita bisa membuat seorang selebriti, tetapi kita tidak akan pernah bisa membuat seorang pahlawan… Pemujaan selebriti dan pemujaan pahlawan tidak boleh dicampuradukkan.”
Kita bisa membuat seorang selebriti, tetapi kita tidak akan pernah bisa membuat seorang pahlawan… Pemujaan selebriti dan pemujaan pahlawan tidak boleh dicampuradukkan
Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar luar biasa (LB) di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan Pengajar LB di Program Doktor (S-3) Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.