Kenaikan suhu Bumi datang lebih cepat ketika dunia belum merealisasikan komitmen menekan emisi pemicu pendidihan global.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Panas perang dan kerenggangan hubungan diplomatik saat ini seakan belum cukup. Tanpa itu pun, Bumi mengkhawatirkan: batas suhu aman terlewati!
Berdasarkan data Program Lingkungan PBB terbaru, hingga awal Oktober 2023 tercatat 86 hari bersuhu lebih dari 1,5 derajat celsius di atas suhu praindustri. September menjadi bulan terpanas yang pernah tercatat dengan suhu rata-rata global 1,8 derajat celsius di atas suhu praindustri tahun 1850-1900.
Bukannya terus turun, Jumat (17/11/2023), suhu rata-rata global untuk pertama kali dalam sejarah mencapai 2 derajat celsius lebih panas, seperti data Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa, dua hari setelah rekor baru itu (Kompas, 22 November 2023).
Ini serius karena kenaikan suhu 2 derajat celsius di atas suhu praindustri tak boleh dilewati. Untuk itu, hampir seluruh negara di dunia melalui Kesepakatan Paris 2015 berkomitmen menurunkan emisi karbonnya, termasuk Indonesia. Akhir November ini, dunia berkumpul lagi dalam Konferensi Iklim Dunia atau COP28 UNFCCC di Dubai.
Suhu Bumi naik 2 derajat celsius berarti malapetaka. Daya dukung Bumi tak mampu menopang kenyamanan. Bencana iklim kian sering dan dahsyat, berwujud panas ekstrem, dingin ekstrem, banjir bandang, kekeringan ekstrem, pencairan es di kutub, kenaikan muka laut, pulau-pulau tenggelam, hingga badai tropis mengerikan. Dampaknya nyata pada kesehatan, stok pangan, hingga eksistensi negara. Dan, itu semakin susah dipulihkan.
Yang terjadi hari ini kisah berseri krisis iklim. Akhir Juli 2023, Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan berakhirnya era pemanasan global, selamat datang era pendidihan global. Hingga Juli itu, kenaikan suhu signifikan membawa dampak gelombang panas di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.
China, misalnya, didera panas ekstrem hingga 52,2 derajat celsius, Spanyol dan Italia dilanda suhu 45,5 derajat celsius hingga 49 derajat celsius. Di Thailand dan Indonesia suhu juga ”mendidih”. Korban jiwa berjatuhan karena dehidrasi.
Akhir Juli itu, Program Copernicus dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis data suhu permukaan Bumi dan lautan yang melonjak tajam. Mencatatkan rekor baru (Kompas.id, 29 Juli 2023).
Memang, rekor suhu Juli dan pekan lalu bukan fenomena rata-rata tahunan. Rata-rata tahunan pada level 1,2 derajat celsius di atas level praindustri. Namun, fenomena berurutan itu jadi sebuah alarm nyaring perlunya komunitas global mengambil langkah nyata yang radikal mengurangi laju emisi gas rumah kaca penyebab pendidihan global.
Penyebab terbesar kenaikan suhu pendidihan adalah penggunaan bahan bakar fosil. Kontribusi terbesar dari makin masifnya penerbangan internasional pascapandemi Covid-19.
Total emisi dari bahan bakar fosil disumbang batubara, minyak bumi, gas alam, dan industri semen. Semua sumber itu ada di Indonesia, yang hasilnya kita semua turut menikmati.
Mengutip Guterres, menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius masih mungkin. Caranya, cabut akar emisi. Paling efektif, transisi energi fosil ke energi baru terbarukan!