Bukan Indonesia jika tidak ada cerita. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan nomor urut capres-cawapres untuk Pilpres 2024. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapat nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3. Dalam agenda pengambilan nomor suara pada 14 November 2023, terlihat suasana penuh keakraban: saling sapa, salaman, dan joget serta tarian. Tidak tampak suasana ketegangan di antara mereka.
Dalam sambutan, setiap pasangan capres-cawapres pun lebih normatif dan santai, tidak tampak menggebu-gebu, suasana rileks sehingga suasana kekeluargaan sangat tampak. Inilah titik awal rekonsiliasi politik yang sangat diharapkan rakyat. Rakyat tidak terbelah sikap, tetapi lebih kepada menekankan koordinasi dan komunikasi dalam mencapai tujuan bangsa sesuai sila-sila dalam Pancasila.
Tugas pemerintah pada 2024-2029 sangat berat di antara perkembangan dinamika ekonomi global dan ancaman regional yang datang silih berganti. Dampak perang Rusia-Ukraina disusul perang di Palestina sudah dapat dipastikan membawa dampak dengan meredupnya pertumbuhan ekonomi. Daya ungkit PDB Indonesia hanya mampu mempertahankan pada posisi pertumbuhan ekonomi 4,94 persen year on year (yoy) sampai kuartal III-2023. Nilai utang pemerintah pusat menyentuh 393,74 miliar dollar AS dengan rasio utang mencapai 30,3 persen PDB.
Baca juga: Masa Depan Ekonomi Dunia
Agar infrastruktur tetap berjalan, bahkan pemerintah harus menggulirkan dana utang. Infrastruktur yang sudah jadi direvaluasi nilainya, kemudian sebagian dan seluruhnya dijual atau diberikan hak konsesi untuk mendapatkan dana segar untuk modal mengerjakan infrastruktur berikutnya yang sudah menunggu. Dana bergulir ini dikritisi sepenuhnya oleh pemerhati bangsa dengan tuduhan menjual aset negara dan isu ini potensial akan menjadi komoditas politis.
Tetap kritis
Dalam konteks untuk meredakan kegaduhan agar iklim politik lebih kondusif, rekonsiliasi memang tools utama. Sudah menjadi pengetahuan umum dalam ekonomi, kestabilan adalah hal utama. Jika terjadi kegaduhan politik, ujung-ujungnya adalah kegelisahan, ketidakpastian, dan akan disusul hengkangnya para pemodal dan para pelaku ekonomi yang dapat menurunkan kepercayaan ekonomi.
Ekonomi AS pun pada saat pertama kali Donald Trump menjadi presiden pada Januari 2017 juga penuh kontroversi. Pernyataan-pernyataan Trump sering sekali menyulut emosional pasar, memicu kepanikan investor, keresahan manufaktur, dan tampak sekali soliditas AS melemah. Namun, berangsur-angsur jargon make America great again yang bertujuan reposisi Amerika dilakukan Trump dalam rangka mencegah kejatuhan ekonomi AS. Trump mampu meredam tensi politik dengan Korea Utara dan utamanya mampu mengerem kekuatan ekonomi China.
Pengalaman AS sangat berbeda dengan kisah politik Filipina, India, Mesir, Turki, dan juga Iran. Di negara-negara tersebut, presiden yang dipilih dengan mekanisme demokrasi mendapat legitimasi politik dari para lawan politiknya. Persatuan yang kuat di antara rakyat menguatkan kepercayaan pemerintah sehingga mengirimkan kesan soliditas bangsa yang utuh.
Ekonomi tetap tumbuh meyakinkan karena kepercayaan rakyat, menghindari perselisihan dan memperbesar penyelesaian masalah dalam negeri dengan rekonsiliasi.
Filipina saat ini unggul pada sisi pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 5,4 persen. India masih meneguhkan menjadi kekuatan ekonomi ketujuh dunia dari sisi PDB, Mesir tetap berpengaruh, Turki masih kokoh kendati pernah diguncang people power, sementara Iran tetap solid.
Hal yang dilakukan para presiden tersebut adalah me-leverage spirit kebangsaan dan persatuan nasional. Desain ekonomi dilakukan pemerintah sebatas menjadi regulator, sementara riil ekonomi dilaksanakan para pelaku ekonomi di lapangan. Ekonomi tetap tumbuh meyakinkan karena kepercayaan rakyat, menghindari perselisihan dan memperbesar penyelesaian masalah dalam negeri dengan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi memang sangat penting untuk menjaga iklim kondusivitas dalam negeri dan menciptakan kesan stabilitas ke luar negeri. Tidak hanya seluruh pasangan capres-cawpres yang bakal diuntungkan, tetapi keseluruhan rakyat Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung.
Mekanisme
Ramai sekali beredar istilasi rekonsiliasi pada saat ini, tetapi sejatinya belum jelas betul bagaimana konkreit sebenarnya yang diharapkan. Sebagian mengartikan rekonsiliasi dengan pertemuan biasa, ada yang memahami sebagai politik dagang sapi, ada yang mengartikan sebagai partisipasi memberikan gagasan segar kepada pemerintah dan ada yang berpikir melebur menjadi bagian pemerintah yang berkuasa. Intinya, melupakan seluruh perkara politik dan menetralisasikan perbedaan.
Matrik pemahaman rekonsiliasi yang terdiversifikasi ini menjadi dapat dimaklumi karena definisi ini adalah definisi publik. Publiklah yang mereka-reka pandangan ini karena kenyang pengalaman konflik sosial karena perbedaan pandangan politik setelah era 1998. Pertemuan di kantor KPU dalam agenda pengambilan nomor surat suara capres-cawapres pun sebenarnya sudah bisa dimaknai sebagai rekonsiliasi pada tataran awal.
Berpijak dari pengalaman politik langsung sebelumnya, makna rekonsiliasi sebetulnya pemahaman dua kubu antara penguasa dan pihak kontrol. Sisi penguasa mengerti sisi risiko dari setiap langkah politik yang akan diambil. Harus memahami konten, diskusi bersama, dan mencari solusi untuk dua pihak bersama-sama. Sementara dari sisi kontrol, mampu mengendalikan prasangka, menahan kekritisan yang tidak memicu eskalasi sosial dan diharapkan pemahaman konteks dan konten lebih baik.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Roh Demokrasi
Jika melihat gambaran makna rekonsiliasi yang sudah terbangun pada 2014-2019, perpolitikan Indonesia akan memasuki babak baru konsolidasi politik dan sosial yang sedikit berbeda. Kritis terbungkus rekonsiliasi, perbedaan di dalam konsolidasi, sementara pengambilan keputusan berada dalam ranah negosiasi yang win-win solution.
Fenomena ini memang nyata pada perkembangan sikap dan perilaku rakyat Indonesia dan menjadi ciri khas matangnya sikap politik sebuah bangsa. Bangsa-bangsa besar saat ini pun melakukan hal yang sama pada masa-masa transisi politik dan sosialnya.
Perang dagang Amerika dan China pun diselesaikan dengan rekonsiliasi, konflik Laut China Selatan pasang surut karena rekonsiliasi. Demikian juga yang akan terjadi dengan perseteruan Korea Selatan dan Jepang, mereka melakukan langkah rekonsiliasi. Perang Rusia-Ukraina dan Palestina, naga-naganya juga akan rekonsiliasi, tinggal menunggu siapa menjadi pemrakarsa dan mediatornya.
Semoga langkah rekonsiliasi ini menjadi momentum penting untuk mengokohkan posisi Indonesia yang saat ini berada pada titik persimpangan jalan yang penuh rintangan.
Effnu Subiyanto, Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya