Mendambakan Solusi bagi Israel-Palestina
Dalam konflik Israel-Palestina, Israel telah melanggar sejumlah asas dan prinsip yang diatur hukum humaniter internasional.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F20%2F6935047a-020f-4f2b-977a-4f3e176815e2_jpg.jpg)
Ilustrasi
Dunia perlu berupaya lebih keras untuk memastikan agar kelemahan penegakan hukum internasional tidak menjadi faktor yang turut ”melanggengkan” kejahatan perang.
Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menjadi pengingat bagi masyarakat internasional bahwa faksi perlawanan Palestina masih belum padam.
Hamas seolah juga ingin menguji kembali bagaimana dukungan bagi Palestina ketika mata dan perhatian masyarakat internasional beralih ke konflik dan krisis lainnya. Sejak meletusnya konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina, persoalan Israel-Palestina memang terkesan menjadi isu sekunder dan cenderung terlupakan.
Dalam perspektif Hamas, serangannya terhadap Israel tersebut memiliki dasar pembenaran. Hal itu merupakan reaksi dan bentuk perlawanan atas penderitaan, pendudukan militer, blokade, dan kekerasan yang dialami penduduk Palestina di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan juga Jalur Gaza selama beberapa dekade.
Bagi sebagian besar penduduk Palestina, Hamas menjadi representasi dalam perjuangan itu. Dalam perspektif itu, apa yang dilakukan oleh Hamas dapat dibenarkan menurut hukum internasional.
Hal itu karena terdapat nilai fundamental dalam hukum internasional yang melarang suatu negara, termasuk Israel, untuk melakukan pendudukan militer apa pun meskipun hanya dalam waktu sementara.
Hamas seolah juga ingin menguji kembali bagaimana dukungan bagi Palestina ketika mata dan perhatian masyarakat internasional beralih ke konflik dan krisis lainnya.
Resolusi Majelis Umum PBB 37/43 tahun 1982 juga menegaskan bahwa terdapat legitimasi bagi perjuangan orang-orang untuk kemerdekaan, integritas teritorial, persatuan nasional, dan pembebasan dari dominasi kolonial, apartheid, dan pendudukan asing dengan segala cara yang tersedia, termasuk melalui perjuangan bersenjata.
Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menjadi manifestasi perjuangan bersenjata itu.
Serangan yang mengejutkan yang dilakukan oleh Hamas itu ternyata memicu reaksi berlebihan dari Israel dengan melancarkan serangan balasan sporadis dan masif ke wilayah Gaza yang dihuni lebih dari 2,2 juta penduduk Palestina.
Wilayah yang disebut oleh Human Rights Watch sebagai ”penjara terbuka” tersebut menjadi target serangan Israel. Meskipun berada di bawah blokade dan kontrol Israel, Gaza memang tetap menjadi wilayah penting sebagai poros atau pusat perjuangan penduduk Palestina dari dominasi kolonial Israel selama ini.
Dampak dari serangan Israel ke wilayah Gaza ini begitu mematikan. Diberitakan, saat ini sudah lebih dari 10.000 pendidik sipil Palestina menjadi korban jiwa. Termasuk perempuan, anak-anak, serta jurnalis dan tenaga medis.
Serangan sistematis yang dilancarkan oleh Israel tersebut tidak hanya menyebabkan banyaknya korban jiwa dari warga sipil, orang-orang yang tidak bersalah. Serangan itu juga telah menyebabkan kehancuran yang meluas di sejumlah infrastruktur vital di Palestina, termasuk fasilitas publik, seperti bangunan tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan rumah sakit yang jelas bukan merupakan obyek militer.

Hal tersebut secara teknis dan substantif tidak hanya merupakan pelanggaran fundamental terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Itu juga pelanggaran serius terhadap hukum internasional, hukum HAM internasional, dan hukum humaniter internasional. Pelanggaran itu telah memenuhi kriteria obyektif untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crimes).
Hukum humaniter internasional, khususnya yang dibingkai dalam konvensi Geneva IV tahun 1949, secara spesifik mengatur tentang perlindungan terhadap warga sipil dan melarang segala bentuk serangan yang dapat menempatkan warga sipil dalam risiko tinggi, menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, dan kerusakan obyek sipil. Ini ditegaskan kembali dalam Pasal 51 Ayat (5) huruf (b) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Dalam situasi konflik Israel-Palestina saat ini, Israel juga telah melanggar sejumlah asas dan prinsip yang diatur dalam hukum humaniter internasional. Di antaranya, melanggar prinsip kepentingan, prinsip proporsional, prinsip pembedaan, prinsip pembatasan, dan asas perikemanusiaan yang secara eksplisit mewajibkan kepada pihak yang berperang (dalam hal ini Israel) untuk tidak menjadikan obyek sipil sebagai target serangan.
Termasuk dalam prinsip dan asas itu, adanya kewajiban untuk memastikan bahwa serangan tak akan menyebabkan korban dan kerusakan yang berlebihan dan penderitaan yang tidak seharusnya. Selain itu, juga kewajiban untuk dapat membedakan antara combatant dan warga sipil.
Terlepas dari itu, perlu diingat bahwa konflik bersenjata antara Israel-Palestina merupakan konflik yang berkepanjangan.
Satu genggaman
Terlepas dari itu, perlu diingat bahwa konflik bersenjata antara Israel-Palestina merupakan konflik yang berkepanjangan. Konflik ini telah menjadi ancaman yang paling serius bagi perdamaian dan keamanan dunia, khususnya di wilayah Timur Tengah.
Serangkaian gencatan senjata antara Israel dan Palestina yang sebelumnya telah terakumulasi pada kenyataannya hanya bersifat sementara. Hal itu tidak benar-benar mampu untuk ”menormalisasi” hubungan kedua belah pihak.
Gencatan senjata tersebut pada akhirnya hanya kembali menempatkan konflik Israel-Palestina ke dalam status quo. Selama periode status quo tersebut, Israel sangat leluasa untuk memaksakan kebijakan ambisius apa pun terhadap Palestina.
Ketidakberdayaan dan keterbatasan masyarakat internasional untuk mengambil tindakan nyata dalam membantu menyelesaikan konflik Israel-Palestina juga semakin menempatkan Israel pada posisi yang dominan.
Sepanjang periode ”kebuntuan” mencapai solusi yang ideal dan permanen itu, pembangunan dan perluasan permukiman dilakukan secara ilegal oleh Israel melalui tindakan militer di wilayah Palestina, khususnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Hal itu terus berlanjut tanpa henti dan membuat prospek penyelesaian konflik Israel-Palestina semakin ”jauh panggang dari api”. Hingga saat ini Israel telah membangun lebih dari 600.000 permukiman ilegal di wilayah-wilayah Palestina.
Padahal, sejumlah resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB Nomor 242, 252, 267, 298, 476, 478, 2334 dan juga Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3236 telah secara tegas dan eksplisit menyerukan kepada Israel untuk segera mengakhiri pendudukan dan ekspansi pembangunan permukimannya karena tidak memiliki legitimasi dan validitas yang sah dan melanggar ketentuan hukum internasional.

Pesawat tempur Israel melancarkan serangan udara pada Minggu (29/10/2023) dini hari di dekat rumah sakit terbesar dan utama di Gaza, yaitu Rumah Sakit Shifa.
Sejumlah resolusi tersebut juga mengharuskan adanya pengakuan atas kedaulatan, integritas wilayah, dan kemerdekaan politik kawasan yang merupakan wilayah dari Palestina.
Akan tetapi, dukungan politik besar-besaran dari negara- negara berkuasa, seperti Amerika Serikat, membuat Israel tidak peduli. Bahkan, justru terus bermanuver untuk memperbesar negaranya dengan menggabungkan Israel, Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza dalam satu genggaman.
Solusi permanen
Situasi dan dinamika saat ini menunjukkan negara-negara dan organisasi regional sangat terpecah dan terpolarisasi menanggapi konflik Israel-Palestina. Sejumlah negara berpendapat bahwa untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina itu, pendekatan terbaik yang harus dapat diupayakan saat ini adalah solusi dua negara (two state solutions). Artinya, menciptakan dua negara yang merdeka dan hidup berdampingan.
Akan tetapi, melihat fakta yang ada, solusi dua negara merupakan gagasan yang sulit untuk diwujudkan. Gagasan itu terkendala hal yang sangat fundamental dan menjadi inti dari konflik Israel-Palestina, yaitu ”pembagian wilayah” antara Israel dan Palestina.
Dalam negosiasi yang mungkin terjadi, Palestina sudah dapat dipastikan akan berada pada posisi asimetris. Tidak memungkinkan bagi Palestina untuk meminta pengembalian seluruh wilayah yang dikuasai dan diduduki secara ilegal oleh Israel saat ini. Hal itu menyulitkan Israel-Palestina untuk bisa memutus garis konflik di antara mereka.
Terhadap situasi perang yang terjadi saat ini, dibutuhkan optimisme, komitmen, dan kemauan politik dari semua negara. Dibutuhkan upaya internasional untuk tidak hanya mendorong adanya gencatan senjata sebelum lebih banyak warga sipil Palestina kehilangan nyawa. Namun, juga keberanian dan kemauan untuk mendesak Israel agar mematuhi ketentuan hukum internasional, hukum humaniter internasional, dan hukum HAM internasional.
Ini karena serangan Israel yang terus berlanjut akan menyebabkan penderitaan dan kerusakan yang jauh lebih dahsyat lagi, bahkan hingga kemusnahan penduduk Palestina.
Terhadap situasi perang yang terjadi saat ini, dibutuhkan optimisme, komitmen, dan kemauan politik dari semua negara.
Pada waktu yang bersamaan, negara-negara di dunia harus bisa dan mau menggunakan energi, pengaruh, dan kekuatan diplomatik untuk secara kolektif mendorong PBB, khususnya Dewan Keamanan PBB, mengambil tindakan nyata yang konstruktif dan efektif demi memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Ini sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan Bab VII Piagam PBB.
DK PBB juga harus didesak untuk menegakkan segala Resolusi DK PBB dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Israel, sekaligus memastikan bahwa hak-hak Palestina merupakan hal yang penting untuk dilindungi.
Jangan sampai lemahnya penegakan hukum internasional justru menjadi faktor eksternal yang turut ”melanggengkan” siklus konflik Israel-Palestina tersebut.
Sebagai solusi permanen, komunitas internasional harus mau, bisa, dan berani untuk terus mendesak Israel. Tidak hanya agar segera mengakhiri kekerasan, blokade, pembangunan ilegal, dan pendudukan militer di wilayah Palestina yang telah dimulai sejak tahun 1967. Akan tetapi, juga agar Israel segera ”mengembalikan” Palestina menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan perbatasan 1967, sesuai resolusi DK PBB Nomor 242. Tanpa itu, perdamaian tidak akan terwujud di sana.
Baca juga : PBB Gagal Melindungi Rakyat Palestina
Ogiandhafiz Juanda Advokat, Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional