Kewajiban Negara Mengatasi Perubahan Iklim
Perubahan iklim, bahaya nyata yang dianggap sebagai bahaya ‘masa depan’ sebenarnya telah terjadi dan memakan korban.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F20%2F18e6f118-6e27-41f2-9dcf-3b2f3ea9eb84_jpg.jpg)
Ilustrasi
Pada 29 Maret 2023, Majelis Umum (MU) PBB mengadopsi resolusi yang meminta advisory opinion (pendapat hukum) dari Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai kewajiban negara dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Inisiatif ini dimulai oleh Vanuatu, yang kemudian didukung oleh 132 negara anggota MU PBB yang lain. Selanjutnya, ICJ meminta negara-negara pihak ICJ untuk mengirimkan pernyataan tertulis tentang hal ini. Bagaimana Indonesia sebaiknya meresponsnya?
Sebagai negara pihak ICJ, dan salah satu co-sponsor dalam inisiatif advisory opinion ini, Indonesia memiliki banyak hal yang dipertaruhkan. Antara lain, pertama, sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Menurut BRIN (2022), Indonesia terancam kehilangan 115 pulau kecilnya di 2030 dikarenakan naiknya permukaan air laut. Kedua, 32 persen penghidupan penduduk Indonesia bergantung pada alam, antara lain bertani, beternak, berkebun, dan melaut, sebagai profesi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Ketiga, Indonesia merupakan negara yang terletak dalam cincin api (ring of fire), sebuah daerah di mana letusan gunung berapi dan gempa bumi sering terjadi. Tekanan-tekanan terhadap iklim memperburuk kemungkinan terjadinya bencana alam ekstrem di Indonesia.
Menurut BRIN (2022), Indonesia terancam kehilangan 115 pulau kecilnya di 2030 dikarenakan naiknya permukaan air laut.
Kewajiban utama negara
Pertanyaan yang diajukan untuk advisory opinion ICJ pada dasarnya mencari jawaban untuk tiga hal. Yakni: (1) kewajiban negara menurut hukum internasional untuk mengatasi perubahan iklim; (2) konsekuensi hukum bagi negara yang gagal melindungi lingkungan dari kerusakan, sehingga menyebabkan perubahan iklim; dan (3) perlindungan untuk generasi masa depan dari dampak perubahan iklim.
Dalam memberikan jawaban untuk ketiga pertanyaan ini, Indonesia harus meneguhkan kepentingan bangsa, namun tetap mempertahankan elegansi dalam berdiplomasi.
Penulis berpendapat, jawaban terhadap advisory opinion ICJ di atas, normatifnya sudah dimuat dalam Perjanjian Paris tahun 2015 dan berbagai dokumen hukum internasional lain yang memuat tentang hak manusia atas lingkungan yang aman dan bersih, seperti UNDHR, ICCPR, dan ICESCR.
Pada hakikatnya, ada dua kewajiban utama negara dalam mengatasi perubahan iklim.
Pertama, memenuhi nationally determined contribution (NDC) yang disetujui oleh negara pihak dalam Perjanjian Paris. NDC merupakan target pengurangan emisi yang ditentukan oleh tiap-tiap negara, disertai ambisi untuk melakukan lebih banyak pengurangan emisi di masa depan.
Indonesia telah mendaftarkan enhanced NDC atau penambahan ambisi NDC menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional (UNFCCC, 2022). Kedua, memenuhi due diligence untuk standard of care dalam melaksanakan kewajiban internasionalnya.

Ilustrasi
Fokus dari pertanyaan selanjutnya adalah pertanggungjawaban untuk ganti rugi bagi negara korban perubahan iklim. Tentu negara-negara penyebab perubahan iklim (emitter) harus siap memberikan kompensasi kepada negara-negara korban.
Sejauh ini, perjanjian internasional yang ada hanya sebatas pengurangan emisi saja, belum terdapat insentif bagi emitter untuk membayar ganti rugi kepada negara-negara korban perubahan iklim (Granzotto, 2023).
Dalam menuliskan pernyataan tertulis Indonesia kepada ICJ, kita perlu bijak memberi jawaban. Karena, walau Indonesia negara korban perubahan iklim, Indonesia juga memiliki beberapa sektor dilematik, yang membuat kita jadi bagian dari penyebab perubahan iklim dunia.
Indonesia perlu menggarisbawahi doktrin common but differentiated responsibility and respective capabilities, in light of different national circumstances dalam Perjanjian Paris 2015 yang menyatakan semua negara memiliki tanggung jawab sama, namun penunaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan situasi nasional masing-masing.
Hal ini penting untuk mengingatkan bahwa negara maju tentu memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada negara sedang berkembang seperti Indonesia. Sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia masih memiliki beberapa kekhawatiran utama.
Pertama, Indonesia merupakan pengekspor negara batubara kedua terbesar di dunia. Nilai ekspor Indonesia atas batubara pun sangat fantastis, mencapai 3 miliar dollar AS per bulan (Reuters, 2022).
Indonesia berencana menghentikan PLTU tenaga batubara pada 2056, namun sampai saat ini, lebih dari 50 persen kebutuhan energi listrik di Indonesia masih menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.
Sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia masih memiliki beberapa kekhawatiran utama.
Proyek bantuan luar negeri seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan rencana investasi sebesar 20 miliar dollar AS untuk transisi energi masih harus ditunda peluncurannya karena kesulitan dalam mendetailkan bauran energi untuk mengurangi ketergantungan listrik Indonesia pada batubara (Reuters, 2023).
Indonesia perlu menggarisbawahi perlunya dukungan luar negeri yang ”seimbang” dengan pendapatan dari bahan bakar fosil Indonesia. Apabila bantuan yang ditawarkan tak dapat mencukupi kebutuhan negara yang selama ini dibiayai dengan batubara (atau bahan bakar fosil lain), maka kemungkinan Indonesia untuk bertransisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) tentu tersendat.
Dengan transisi dari bahan bakar fosil menuju EBT, Indonesia dapat mengurangi emisinya sebesar 38 persen.
Kedua, deforestasi. Walaupun Indonesia telah menyatakan akan mencapai ”karbon netral” pada 2030, tak ada komitmen negara ini untuk menghentikan deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, Indonesia telah mengurangi kebakaran hutan hingga 82 persen pada 2022, namun pada kemarau 2023 titik api mulai banyak bermunculan.
Singapura dan Malaysia mulai mengeluhkan adanya polusi asap dari Indonesia, walaupun dibantah kebenaran datanya oleh Indonesia. Penanganan deforestasi akan mengurangi emisi Indonesia sebesar 60 persen.
Selama penanganan ini belum dilakukan dengan baik dan memenuhi due diligence standard of care untuk tak menyebabkan polusi antarnegara, Indonesia tetap jadi salah satu penyumbang besar emisi dunia.

Ilustrasi
Ketiga, perlindungan bagi generasi masa depan. Kita bisa belajar dari kasus generasi masa depan versus Kementerian Lingkungan Kolombia, di mana penggugat meluncurkan acción de tutela, sebuah mekanisme hukum untuk individu bisa mengklaim perlindungan atas hak dasarnya (LEAP UNEP, 2018). Mahkamah Agung Kolombia memutuskan perlindungan untuk para penggugat dan memberikan pengakuan kepada Colombian Amazon sebagai subyek hak.
Indonesia penting untuk menggarisbawahi pentingnya perlindungan generasi masa depan karena dalam waktu singkat, pada 2030-2050, Indonesia akan mengalami bonus demografi, di mana populasi usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 60 persen dari total populasi.
Artinya, Indonesia akan memiliki lebih banyak orang muda yang butuh perlindungan atas lingkungan hidup yang aman dan layak, dan itu hanya bisa dilakukan oleh generasi sekarang dengan memperbaiki cara hidup kita menuju lingkungan yang lebih sehat.
Perubahan iklim, bahaya nyata yang dianggap sebagai bahaya ”masa depan”, sebenarnya telah terjadi dan memakan korban. Beberapa negara (bahkan Indonesia) telah kehilangan daratan teritorialnya karena tenggelam oleh air laut. Belum lagi korban nyawa dikarenakan iklim ekstrem, termasuk penyakit (seperti demam berdarah dan malaria), kemarau panjang, banjir, taifun, dan longsor.
Sebaiknya kita dengan bijak dapat menyikapi pertanyaan yang diajukan oleh MU PBB kepada ICJ sehingga jawaban yang diberikan oleh ICJ pun dapat melindungi negara korban, dalam hal ini termasuk Indonesia, dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca juga : Agenda Krusial Menuju COP-28
Linda Yanti Sulistiawati Senior Research Fellow, Asia-Pacific Centre of Environmental Law, National University of Singapore. Dosen Hukum Internasional UGM