Gaza, Kemanusiaan, dan Media
Pers Indonesia semestinya tak sebatas mengritik kekejaman Israel. Penting mendukung cita-cita kemerdekaan Palestina.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F20%2F240d189b-244b-4816-b131-17db1d8f533b_jpg.jpg)
Ilustrasi
Mengapa Israel begitu ngotot memblokir jaringan internet di Jalur Gaza yang sedang berkecamuk dalam perang? Karena Israel sadar benar akan kekuatan pengaruh media sosial.
Ketika pers Barat cenderung bungkam dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Gaza, medsos tetap efektif mengabarkan kepada dunia tentang kehancuran dan kengerian yang terus terjadi di sana. Ketika media konvensional Barat acuh tak acuh terhadap ”genosida” yang sedang melanda Gaza, medsos tetap mengungkapkan detail fakta-fakta yang terus mengusik rasa kemanusiaan warga dunia.
Pesan-pesan keputusasaan yang disebarkan secara terputus-putus dan sporadis oleh para wartawan, sukarelawan, dan warganet di Gaza adalah jendela dunia yang menyibak aib yang coba ditutupi oleh rezim zionis Israel.
Arus informasi di medsos yang bersifat ekspresif, real time, hiperaktual, dan mudah menyebar sungguh sulit dibendung. Pemerintah Israel sangat cemas terhadap setiap klik warga Gaza pada ponsel masing-masing yang terus mengawasi perilaku Israel dalam melakukan hukuman kolektif atas penduduk Gaza yang tak bersalah dengan melanggar hukum internasional.
Jaringan medsos memungkinkan setiap klik itu menyebarkan kisah anak-anak, ibu-ibu, dan keluarga-keluarga Palestina yang terkurung dalam zona perang yang mematikan, tanpa suplai makanan, listrik, dan fasilitas lain. Hal inilah yang memicu gelombang demonstrasi di sejumlah negara untuk menuntut gencatan senjata, jeda kemanusiaan, serta kebebasan Palestina.
Ketika pers Barat cenderung bungkam dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Gaza, medsos tetap efektif mengabarkan kepada dunia tentang kehancuran dan kengerian yang terus terjadi di sana.
Medsos menunjukkan novelty-nya di sini, yakni menyajikan mode komunikasi yang tak terikat oleh struktur, hierarki, dan otoritas. Semua orang bisa menjadi kamerawan, reporter, bahkan sumber berita. Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2019) memperingatkan bahaya dari ketiadaan struktur, hierarki, dan otoritas ini.
Ketika semua orang berteriak layaknya seorang pakar dan mendapatkan tepuk tangan, yang mengemuka kemudian bisa jadi adalah anarki ruang publik. Namun, dalam konteks Gaza, ketika media-media Barat tak bisa banyak diharapkan kejernihan dan obyektivitasnya, mode komunikasi tanpa hierarki di medsos itu justru menghindarkan dunia dari pembutaan atas realitas.
Solidaritas lintas identitas
Terkait konflik, medsos selama ini lebih identik dengan negativitas. Medsos sering menjerumuskan warganet dalam polarisasi yang memecah belah. Demikian juga dalam konteks konflik Palestina-Israel, warganet yang pro-Israel semakin anti-Palestina, sebaliknya yang pro-Palestina kian anti-Israel.
Mereka tanpa sadar terkurung dalam lingkaran percakapan orang-orang berpandangan sama (like-minded people).
Dalam lingkaran itu, fanatisme dan antipati dipupuk dengan arus informasi yang searah dan perspektif yang seragam. Dalam kelompok perbincangan yang eksklusif, fakta-fakta disortir bukan berdasar kadar kebenaran, melainkan berdasar pertimbangan memperkuat atau melemahkan pandangan kita.
Di sini, terjadi konfirmasi bias (bias confirmation) di mana hanya fakta atau argumentasi yang membenarkan suatu keyakinan yang diafirmasi. Tanpa peduli, keyakinan itu sesungguhnya perlu diuji.

Ilustrasi
Maka, pandangan bahwa Israel berhak atas tanah Palestina diyakini begitu saja tanpa memerhatikan nasib bangsa Arab yang telah berdiam di sana sejak berabad-abad lampau. Sebaliknya, keyakinan bahwa Hamas berhak membela diri diamini begitu saja tanpa mengkritik cara kekerasan yang ditempuh dan sering justru merugikan bangsa Palestina sendiri.
Maka, pertempuran darat antara Israel dan Hamas dibarengi dengan pertempuran dunia maya. Dr Gabriel Weimann dari Universitas Haifa, Israel, dalam wawancara dengan BBC (16/5/2023) menyatakan, telah terjadi pertempuran ”hati dan pikiran” secara daring antara warganet pro-Palestina dan pro-Israel.
Agen-agen resmi Israel terus melancarkan propaganda komputasional. Palestina memang tidak disokong kekuatan teknologi dan uang untuk melancarkan propaganda komputasional serupa. Namun, Palestina memiliki banyak simpatisan yang lumayan fanatik di banyak negara. Dalam pertempuran ”hati dan pikiran” ini, cukup sering digunakan hoaks atau kabar bohong saling menyudutkan dari kedua pihak.
Namun, di dunia maya tidak hanya ada kelompok pro-Israel dan pro-Palestina. Ada kelompok lain yang cukup besar, tetapi selama ini belum banyak bersuara. Mereka kurang berminat dengan isu agama dalam konflik Palestina. Mereka cenderung pasif dalam diskursus tentang Palestina-Israel.
Lalu, tiba-tiba medsos dan pemberitaan media massa menyadarkan mereka bahwa yang sedang terjadi di Gaza adalah sesuatu yang sangat buruk dan tak bisa ditoleransi. Sebagai warga dunia, mereka merasa tidak bisa tinggal diam menyaksikan peristiwa yang semakin sering disetarakan dengan genosida, apartheid, dan penjajahan itu. Mereka pun tergerak menyampaikan sikap.
Mereka mendukung Palestina bukan karena masalah agama, tetapi karena yang menjadi korban penindasan adalah bangsa Palestina.
Hal ini karena medsos telah menjadi bagian integral dari hidup sehari-hari mereka. Medsos terus memercikkan kabar krisis kemanusiaan di Gaza. Begitu mudah menemukan teks, foto, video yang menunjukkan detail krisis itu. Terpaan informasi itu mengusik perhatian orang-orang yang sesungguhnya bersikap netral untuk menyuarakan kepedulian. Yang terjadi kemudian, kita makin familiar dengan pemandangan warga lintas agama ikut demonstrasi pro-Palestina di kota-kota besar dunia.
Mereka mendukung Palestina bukan karena masalah agama, tetapi karena yang menjadi korban penindasan adalah bangsa Palestina. Mereka mendukung kemerdekaan Palestina, bukan karena kebencian terhadap Israel, tetapi karena kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Mereka menyatakan Israel telah melakukan genosida karena kekejaman di Gaza memang mendekati level itu.
Posisi media massa
Jika medsos telah membantu membangkitkan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina, bagaimana dengan media massa? Standar ganda pers Barat dalam melihat konflik Palestina ternyata tidak berubah, bahkan semakin serius.
Tentu tak semua media Barat demikian. Namun, seperti ditunjukkan media besar seperti Fox News, CNN, dan The Times of London, sikap diskriminatif terhadap Palestina sangat terasa. Mereka mengkritik keras serangan Hamas ke Israel, tapi kritik keras yang sama kurang mereka tunjukkan terhadap serangan Israel ke Gaza yang lebih menghancurkan dengan korban jauh lebih besar.
Pers arus utama Barat memperlihatkan solidaritas luar biasa terhadap 1.300 warga Israel yang tewas akibat serangan Hamas, tetapi memperlihatkan reaksi yang ”biasa-biasa” ketika lebih dari 8.000 penduduk Gaza tewas akibat serangan Israel. Pers Barat mudah terkecoh propaganda anti-Palestina, tetapi sangat kritis terhadap propaganda anti-Israel.
Palestinian Journalists Syndicate sampai memohon-mohon agar pers Barat peduli pada kematian lebih dari 25 wartawan di Gaza. Padahal, dalam keadaan normal, kematian satu wartawan saja sudah menyulut solidaritas global.

Hal yang tak kalah penting, jika pers Barat menyatakan Israel punya hak membela diri, mengapa mereka tak menekankan bahwa Palestina juga berhak mempertahankan diri? Di sini, pers Barat mengabaikan akar masalah serangan Hamas ke Israel, yakni pendudukan dan penjajahan Israel di bumi Palestina.
Melupakan akar masalah ini juga cukup terasa dalam pemberitaan pers nasional. Media massa Indonesia umumnya telah menunjukkan keberpihakan terhadap Palestina. Namun, pemberitaan mereka tak banyak menyentuh akar masalah konflik Palestina. Pemberitaan umumnya baru sekadar menyoroti kekejaman rezim Israel dan perlunya gencatan senjata dan jeda kemanusiaan.
Pertanyaannya, andaikan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan tercapai, apa yang terjadi kemudian? Apakah kemerdekaan Palestina akan segera terwujud? Atau isu kemerdekaan ini akan menguap lagi hingga pecah perang yang berikutnya. Ribuan nyawa yang melayang di Gaza dalam minggu-minggu terakhir ini tentu tak ternilai harganya.
Hanya kemerdekaan yang pantas menggantikan pengorbanan itu. Pers Indonesia semestinya tak sebatas mengkritik kekejaman Israel di Gaza, tetapi juga terus menggarisbawahi pentingnya dukungan untuk cita-cita kemerdekaan Palestina; mewujudkan negara Palestina dan Israel yang berdiri sejajar, hidup dalam damai, saling menghormati.
Baca juga : Dalam Satu Jam, 15 Orang Meninggal di Gaza
Agus Sudibyo Ketua Dewan Pakar PWI Pusat
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F12%2Fe60eeb75-9ff3-4883-a049-69437c734823_jpg.jpg)
Agus Sudibyo