Ekonomi dan Krisis Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah fondasi bagi peradaban manusia. Jika demokrasi dikerdilkan, arti negara maju justru bisa sirna.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F12%2F4f05ee60-84ff-4bae-ab81-dbb91ec0037b_jpg.jpg)
Gus Wahyu Salfana (dari kiri), Erry Riyana Hardjapamekas, Lukman Hakim Saifuddin, Arif, Goenawan Mohamad, Omi Komaria Madjid dan Antonius Benny Susetyo hadir dalam pertemuan untuk membahas berbagai persoalan kebangsaan dan demokrasi di Warung Makan Prau Kuno, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Minggu (12/11/2023).
Tahun depan, sekitar 2 miliar orang atau hampir separuh penghuni dunia akan mengikuti proses pemilihan umum (pemilu) yang tersebar di 76 negara. Momen ini seharusnya menjadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah manusia.
Namun faktanya, banyak cacat dalam pelaksanaannya. Meski prosedur dijalankan, terjadi berbagai manipulasi dan tekanan, sehingga kualitas demokrasi tak terjaga (flawed democracy). Begitu prediksi The World Ahead 2024 terbitan majalah The Economist.
Meski prosedur dijalankan, terjadi berbagai manipulasi dan tekanan, sehingga kualitas demokrasi tak terjaga ( flawed democracy).
Indonesia, bersama Amerika Serikat (AS) dan India, akan menjadi negara dengan peserta pemilu terbesar di dunia. Penduduk India sekitar 1,4 miliar jiwa, AS sekitar 342 juta, dan Indonesia sekitar 280 juta jiwa.
Di AS, pemilu November mendatang dibayangi kehadiran kembali Donald Trump yang popularitasnya menguat belakangan ini. Jajak pendapat New York Times menunjukkan, 59 persen pemilih percaya Trump bisa menyelesaikan persoalan ekonomi atau lebih tinggi ketimbang kepercayaan pada Biden yang hanya 37 persen.
Kembalinya Trump akan menjadi persoalan bukan saja pada AS, tetapi juga bagi perekonomian global. Sebab, fragmentasi ekonomi diyakini akan lebih tajam lagi.

A Prasetyantoko
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo dengan tingkat kepuasan rakyat sekitar 80 persen, menjadi faktor yang bisa ikut menentukan presiden berikutnya: siapa pun yang didukungnya punya peluang menang. Sementara itu, berbagai kelompok masyarakat sipil dan pecinta demokrasi tengah menyuarakan gerakan pemilu jujur dan adil agar demokrasi tidak cacat.
Pemilu 2024 menjadi salah satu pertaruhan besar bagi masa depan bangsa, termasuk kelangsungan proyek pembangunan yang sudah dilaksanakan sepanjang 9 tahun terakhir.
Masa jaya demokrasi di tengah kebebasan berekspresi dan sistem ekonomi terbuka tengah surut diikuti meningkatnya pemerintahan otoriter di banyak negara di dunia.
Martin Wolf, kolumnis terkemuka Financial Times, menulis buku berjudul The Crisis of Democratic Capitalism (2023) yang menggambarkan kemunduran demokrasi seiring meredupnya kapitalisme. Masa jaya demokrasi di tengah kebebasan berekspresi dan sistem ekonomi terbuka tengah surut diikuti meningkatnya pemerintahan otoriter di banyak negara di dunia. Perkawinan kapitalisme dan demokrasi berada di ujung perceraian.
China telah berhasil mengembangkan perekonomian berbasis pasar bebas tanpa menerapkan demokrasi. Ketika perekonomian mengalami stagnasi pasca pandemi Covid-19, peran pengusaha sangat terbatas dalam menggerakkan ekonomi.
Jack Ma, simbol kesuksesan wiraswasta domestik China, memilih pensiun sebagai pengusaha dan menjadi dosen karena kebijakan represif pemerintah. Sementara itu, banyak negara di Eropa tak lagi mampu menjamin kesejahteraan warganya. Sebab, produktivitas ekonomi terus merosot dan penerimaan pajak berkurang. Sementara utang mereka berlipat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F16%2F3b406239-bd74-4ecd-b00e-b73712426c5a_jpg.jpg)
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Demokrasi menggelar aksi demonstrasi di Perempatan Tugu, Yogyakarta, Senin (16/10/2023). Aksi itu untuk menentang praktik politik dinasti.
AS sebagai salah satu penganjur utama rezim pasar bebas telah berputar haluan sejak pemerintahan Trump. Mereka mendahulukan kepentingan domestik dan menarik diri dari percaturan global. Sejak pandemi Covid-19, kebijakan industrinya banyak dimotori pemerintah, tak lagi mengandalkan kekuatan sektor swasta (pasar).
Kebijakan seperti Inflation Reduction Act, CHIPS and Science Act, dan berbagai kebijakan lain yang memproteksi industri nasional dianggap lazim. Padahal sebelumnya, praktik ini dianggap tabu.
Sejak pandemi Covid-19, kebijakan industrinya banyak dimotori pemerintah, tak lagi mengandalkan kekuatan sektor swasta (pasar).
Pandemi Covid-19 telah memaksa negara menjadi pelaku utama dalam menggerakkan roda perekonomian yang berlanjut pada pasca-pandemi. Dalam waktu bersamaan, peta geopolitik juga berubah, ditandai meningkatnya konflik militer.
Perang Rusia-Ukraina belum usai, meletup perang Israel-Hamas. Fragmentasi politik telah membuat perekonomian global tak lagi efisien dan pada saat bersamaan banyak negara yang memutar haluan menjadi lebih protektif dan nasionalistik.

Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019, Joko Widodo-Jusuf Kalla foto bersama dengan pimpinan MPR dan Presiden dan wakil presiden Periode 2009-2014, SBY-Boediono usai Sidang Paripurna MPR dengan agenda Pelantikan Presiden di Ruang Rapat Paripurna 1 MPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/10).
Di Indonesia, sejak Presiden Joko Widodo dilantik pada 2014, pembangunan infrastruktur dibangun secara progresif dengan mengandalkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pelaksana proyek. Anggaran infrastruktur naik drastis, dari Rp 154 triliun pada 2014 menjadi Rp 256 triliun pada 2015. Alokasinya terus naik hingga mencapai puncaknya pada 2020 senilai Rp 420 triliun.
Berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN), mulai dari jalan tol, kereta api cepat, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dijalankan secara intensif bahkan pada akhir periode pemerintah Presiden Jokowi. Setelah kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi, kini studi pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya segera dimulai, melalui kerja sama dengan China.
Sebagaimana dijelaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, total dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur pada periode tersebut sebesar Rp 6.445 triliun. Pemerintah hanya menganggarkan Rp 2.385 dari APBN atau sekitar 37 persen.
Presiden Jokowi menjelaskan, tahun depan akan dimulai produksi mobil listrik. Targetnya, produksi mencapai 600 ribu unit per tahun pada 2030.
Selebihnya, pembiayaan pembangunan mengandalkan partisipasi swasta, baik dalam maupun luar negeri. Demikian juga dengan pembangunan IKN yang membutuhkan biaya sebesar Rp 466 triliun. Alokasi APBN hanya 19,2 persen.
Selain membangun infrastruktur secara masif, Presiden Jokowi juga meluncurkan kebijakan hilirisasi dengan melarang ekspor berbagai komoditas, dimulai dengan nikel. Indonesia berambisi menjadi pemain penting dalam industri mobil listrik dunia.
Di depan para pemimpin perusahaan global, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di San Fransisco pekan lalu, Presiden Jokowi menjelaskan, tahun depan akan dimulai produksi mobil listrik. Targetnya, produksi mencapai 600 ribu unit per tahun pada 2030.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F02b79ea7-e7b7-4b3d-8f70-5f4f0b808bff_jpg.jpg)
Purwarupa kapal pelat datar di PT Gunung Steel Construction, Gunung Steel Group, di Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (15/1/2017). Kapal pelat datar hasil penelitian di Universitas Indonesia memungkinkan kapal baja dibuat lebih murah karena menghilangkan proses pelengkungan pelat baja.
Bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki presiden yang visioner dan berani mengambil risiko melakukan pembangunan (infrastruktur) yang mendukung proses hilirisasi serta pembangunan ekosistem industri mobil listrik. Meski mendapat tentangan dari banyak negara maju dan lembaga multilateral, kebijakan ini tetap dijalankan secara konsisten sebagai bagian dari upaya menjadi negara maju pada Indonesia Emas 2045.
Pembangunan infrastruktur dan industri manufaktur diyakini akan meningkatkan daya saing, produktivitas dan pendapatan per kapita.
Meski demikian, jika berbagai kebijakan ini kemudian dijadikan dalih bagi proses politik yang tidak demokratis, justru muncul risiko besar terhadap keberlangsungan pembangunan itu sendiri. Sektor swasta serta investor asing akan menunda keputusan investasi, bahkan berputar haluan, jika terjadi gejolak sosial akibat represi demokrasi.
Jika demokrasi dikerdilkan, arti negara maju justru bisa sirna dan fondasi yang sudah dibangun susah-payah akan sia-sia.
Di tengah meredupnya demokrasi di banyak penjuru dunia, semestinya Indonesia bisa memberi harapan atas keberhasilan pembangunan ekonomi yang dijalankan bersamaan dengan demokrasi yang semakin matang.
Seperti kata Wolf, demokrasi bukan sekedar soal pembangunan ekonomi. Namun lebih dari itu, demokrasi adalah sebuah fondasi bagi peradaban manusia. Jika demokrasi dikerdilkan, arti negara maju justru bisa sirna dan fondasi yang sudah dibangun susah-payah akan sia-sia. Pemilu 2024 adalah persimpangan jalan, apakah kita akan menjadi negara maju yang demokratis atau tidak.