Transformasi Ekonomi Indonesia Berbasis Pengetahuan
Tanpa kehadiran ekosistem industri/bisnis yang kompetitif, ekosistem inovasi tidak akan terbangun.
Sebelum seabad kemerdekaan diperingati pada 2045, Indonesia ditargetkan sudah keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah. Melaju menjadi negara maju berpendapatan tinggi dengan rata-rata pertumbuhan 6-7 persen per tahun.
Hal tersebut menjadi salah satu substansi utama dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 yang disiapkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Upaya mencapai target itu butuh transformasi ekonomi. Transformasi yang mampu mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi berbasis sumber daya menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Dengan kata lain, mengandalkan sektor industri bernilai tambah tinggi dengan dukungan pengetahuan, teknologi, serta inovasi sehingga ekonomi menjadi lebih produktif, efisien, dan berdaya saing tinggi.
Indikator nilai ekspor industri berbasis teknologi sedang hingga tinggi (medium to high-tech export) kerap dipakai untuk mengetahui pengaruh penyebaran pengetahuan, teknologi, dan inovasi dalam sistem produksi suatu negara.
Berdasarkan Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Menurut Kode ISIC Tahun 2021-2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan berdasarkan Indikator Iptek, Riset, dan Inovasi yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2023, ekspor produk industri manufaktur kategori teknologi rendah pada 2022 mencapai 93,5 miliar dollar AS. Adapun impornya mencapai 33,7 miliar dollar AS atau surplus sekitar 59,8 miliar dollar AS.
Nilai ekspor produk kategori teknologi sedang sampai tinggi pada tahun yang sama mencapai 112,6 miliar dollar AS dan impor 170,2 miliar dollar AS atau defisit sekitar 57,6 miliar dollar AS. Angka statistik ini menggambarkan bahwa pengaruh pengetahuan, teknologi, dan inovasi terhadap sektor industri Indonesia masih terbatas pada produk industri kategori teknologi rendah.
Angka statistik ini menggambarkan bahwa pengaruh pengetahuan, teknologi, dan inovasi terhadap sektor industri Indonesia masih terbatas pada produk industri kategori teknologi rendah.
Rendahnya kinerja ekonomi berbasis pengetahuan di Indonesia ini juga sejalan dengan peringkat inovasi, sitasi karya ilmiah, perolehan US Patent, serta indeks kompleksitas ekonomi Indonesia yang berada di ranking terbawah di ASEAN-6 (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Indonesia).
Kegagalan pasar
Mark Zachary Taylor dalam bukunya, The Politics of Innovation, mengemukakan, tingkat inovasi suatu bangsa, antara lain, ditentukan oleh faktor kegagalan pasar. Kegagalan pasar terjadi ketika pasar tidak mengalokasikan sumber daya atau tidak mendorong berlangsungnya kegiatan riset dan pengembangan serta inovasi.
Hal ini terlihat dari rendahnya pengeluaran untuk riset dan pengembangan pada tahun 2022 yang hanya mencapai 0,1 persen dari PDB (di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam). Dari pengeluaran 0,1 persen PDB itu, pengeluaran riset dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah dan perguruan tinggi mencapai 0,08 persen dari PDB. Ini menghasilkan publikasi dengan sitasi rendah dan paten yang sebagian besar tidak berlanjut menjadi inovasi. Sementara pengeluaran riset dan pengembangan oleh sektor industri hanya 0,02 persen dari PDB.
Rendahnya pengeluaran riset dan pengembangan (R&D) sektor industri ini mengakibatkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi lulusan STEM (science, technology, engineering and mathematics). Pada gilirannya, itu berakibat rendahnya minat belajar bidang STEM. Ini tampak pada data Institute of International Education (IIE) bahwa jumlah mahasiswa Indonesia per sejuta penduduk yang belajar STEM di AS terendah di antara ASEAN-6.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Faktor pertama adalah hambatan untuk masuk/keluar. Pasar inovasi memiliki hambatan masuk (entry) yang tinggi karena biaya R&D tinggi, perlindungan kekayaan intelektual lemah, dan pemodal ventura juga lemah. Selain itu, tidak tersedia atau langka tenaga terampil, khususnya di bidang STEM.
Sementara perusahaan yang tidak produktif enggan untuk keluar (exit) sehingga terjadi inefisiensi ekonomi. Hambatan entry ini ditunjukkan oleh new business density rate Indonesia, yaitu jumlah bisnis baru terdaftar per 1.000 orang usia kerja, yang terendah di ASEAN-6. Kehadiran wirausaha bisnis baru memiliki peran penting dalam melakukan inovasi terobosan karena perusahaan yang sudah mapan hanya tertarik melakukan inovasi secara gradual.
Faktor kedua adalah monopoli/oligopoli dan perburuan rente. Perusahaan besar dengan kekuatan monopoli/oligopoli memiliki lebih sedikit insentif untuk berinovasi. Itu karena mereka dapat mempertahankan keuntungan tanpa perlu berinovasi. Ini tampak dari rendahnya pengeluaran perusahaan dalam riset dan pengembangan.
Akibatnya, terjadi stagnasi pasar dan berkurangnya inovasi secara keseluruhan dalam industri yang didominasi oleh beberapa pemain kuat. Di samping itu, praktik perburuan rente dalam bentuk perlindungan tarif, kuota impor, dan subsidi mengakibatkan distorsi pasar. Investasi di sektor produktif pun terkendala, sementara industri yang tidak produktif bertahan.
Rendahnya pengeluaran riset dan pengembangan (R&D) sektor industri ini mengakibatkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi lulusan STEM ( science, technology, engineering and mathematics).
Faktor ketiga adalah kuatnya daya tarik sektor ekstraktif yang mengakibatkan tidak efisiennya alokasi sumber daya (SDM, finansial, dan infrastruktur). Hal itu disebabkan sumber daya disalurkan secara tidak proporsional ke sektor itu dengan mengorbankan sektor lain, termasuk industri manufaktur.
Faktor keempat adalah korupsi. Korupsi menghambat inovasi dan kewirausahaan. Sebabnya, terbentuk lingkungan di mana keberhasilan bisnis diperoleh karena koneksi dan praktik korupsi, bukan karena inovasi dan daya saing bisnis.
Perlu dan harus
Transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan akan terjadi jika kegagalan pasar bisa diatasi. Hal tersebut dimulai dari upaya membangun ekosistem industri atau bisnis yang kompetitif. Ini dilakukan dengan cara menekan peluang perburuan rente dan korupsi, menciptakan lapangan bermain yang rata (level playing field) bagi semua pelaku bisnis melalui pencegahan praktik persaingan usaha yang tidak sehat (monopoli/oligopoli).
Selain itu, harus diupayakan kemudahan masuk (entry) bagi bisnis baru yang produktif dan mendorong exit bisnis yang tidak produktif. Sejalan dengan itu, didorong pula terjadinya diversivikasi industri di samping pengembangan ekonomi ekstraktif.
Tanpa kehadiran ekosistem industri/bisnis yang kompetitif, ekosistem inovasi tidak akan terbangun. Situasi itu akan mengakibatkan terjadinya misalokasi sumber daya berujung menyebabkan ekonomi Indonesia tetap tergantung pada ekonomi ekstraktif.
Jika hal itu terjadi, upaya mencapai visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terus menjadi impian. Generasi Indonesia mendatang pun bakal terus terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah.
Baca juga : Transformasi Ekonomi Pascapandemi
Chairil AbdiniSekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)