Kesetiaan buta kepada sosok personal, seperti pasangan atau tokoh, dapat berubah menjadi bencana.
Oleh
ALISSA WAHID
·2 menit baca
Berbagai kasus kekerasan dalam keluarga akhir-akhir ini sangat sering kita dengar. Terbaru adalah kasus dr Qory yang melarikan diri dari kekerasan berkepanjangan oleh suaminya. Pertanyaan yang kerap dilontarkan: bagaimana mungkin sudah menjadi korban kekerasan, bahkan dalam situasi yang membahayakan hidupnya, tetapi korban masih bertahan dan setia kepada pelaku kekerasan?
Bagaimana individu membangun kesetiaan kepada seseorang? Sejauh mana kesetiaan menyebabkan individu menerima semua perilaku figur setia?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebagai contoh adalah kasus penganiayaan yang dilakukan Bahar Smith tahun 2020. Video yang tersebar menunjukkan dua santri belia yang dianiayanya terdiam menerima kekerasan tersebut. Alasannya adalah menghormati guru atau habib tersebut. Demikian juga berbagai kasus kekerasan lain yang terjadi akibat relasi kuasa. Kesetiaan yang berujung bencana.
Soal kesetiaan juga muncul di sela keramaian bangsa menuju Pemilu 2024. Ia menjelma menjadi pertanyaan dan gugatan dari berbagai sisi terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan.
Para politisi yang hengkang dari partai politiknya, para kepala daerah hasil dukungan partai politik tertentu yang menyeberang ke kubu pesaing politik, koalisi partai politik yang berubah-ubah bergantung transaksi politik, dan kelompok-kelompok relawan yang terbelah menjadikan terma kesetiaan menjadi terma kunci untuk saling menilai, menuduh, dan menuntut.
Sebagian pendukung Presiden Jokowi yang sejak tahun 2014 setia mengiringi kepemimpinannya mendadak berbalik menjadi pengkritik pedas beliau dan keluarganya.
Publik memahami pemicunya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Keputusan ini menjadi polemik karena berbagai alasan, termasuk pelanggaran etik berat yang terjadi.
Kontroversi terbesarnya adalah banyaknya pihak terlibat yang terhubung dengan Presiden Jokowi. Ketua MK yang memimpin saat itu adalah adik ipar Presiden Jokowi.
Gugatan diajukan putra dari orang yang dikenal publik cukup dekat dengan Presiden Jokowi.
Puncaknya adalah saat putra Presiden Jokowi menggunakan sosok personal dan kelompok dapat berubah dan dimanipulasi, sementara nilai-nilai luhur bersifat kekal dan berlaku dalam semua konteks. Setia pada nilai-nilai luhur memudahkan kita untuk mengambil keputusan karena keajekan tersebut.
Begitu pun dalam kehidupan bangsa, terutama di masa pesta demokrasi yang penuh dengan dinamika ini.
Kesetiaan pada keindonesiaan kita akan memudahkan kita mengambil sikap dan mengelola kehidupan bersama.
Alangkah sedihnya apabila kesetiaan dihentikan pada figur, bukan pada prinsip luhur atau cita-cita bersama sebagai bangsa. Dan alangkah sedihnya apabila kesetiaan warga bangsa dikapitalisasi untuk kepentingan sesaat dan kepentingan kekuasaan belaka oleh justru para figur para pemimpin bangsa ini. Semoga Tuhan membuka nurani mereka.