Dalam kampanye, sering bahasa direkayasa untuk membungkus kegiatan atau jargon dalam rangka doktrin pikiran masyarakat.
Oleh
FAIZIN
·3 menit baca
Tinggal menghitung hari, kita akan masuk masa kampanye Pilpres 2024 setelah penetapan nomor urut capres dan cawapres oleh Komisi Pemilihan Umum. Membincangkan kampanye tidak akan pernah lepas dari aspek bahasa sebagai perantinya. Hal paling lumrah ditemukan, politisi memanfaatkan bahasa untuk memengaruhi dan membujuk massa agar berpikir, berperilaku, atau memilih dengan cara tertentu. Hal tersebut senada dengan gambaran Adrian Beard dalam bukunya, The Language of Politics, yang mendeskripsikan betapa intimnya hubungan bahasa, politik, dan kekuasaan.
Jika melihat Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa proses kampanye merupakan upaya untuk meyakinkan pemilih dengan program ataupun citra diri, bahasa (statement) memiliki peranan besar di dalamnya. Bahkan, hal tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai gaya seperti mencitrakan diri (self image) ataupun intrik kepalsuan hingga agitasi (hasutan).
Akan tetapi, hal tersebut juga dapat dimanifestasi dalam pendidikan politik santun dengan penggunaan bahasa kedamaian, toleransi, kesepahaman, dan persahabatan. Tentu hal ini akan menjadi tolok ukur penting nuansa perpolitikan kita pada pesta demokrasi 2024.
Keberadaan bahasa dalam dinamika politik juga mengikuti revolusi teknologi informasi. Hal tersebut tergambar dalam pengekspresian model komunikasi bahasa politik di media sosial yang serba instan, personal, dan dipahami secara terbatas. Bahkan, kita dihadapkan kepada kenyataan baru bahwa wacana, jargon, bahkan idiom yang viral di media sosial menjadi kiblat untuk membangun kebenaran virtual yang berimplikasi terhadap realitas sosial.
Kita masih ingat penggunaan jargon pendukung capres cebong-kampret di media sosial yang menjadi peranti dikotomi para pendukungnya hingga terbawa dalam kehidupan nyata dan tidak jarang menjadi pemicu konflik masyarakat. Fenomena tersebut menunjukkan radikalnya penggunaan bahasa di media sosial hingga memunculkan istilah-istilah slang tersebut.
Kita masih ingat penggunaan jargon pendukung capres cebong-kampret di media sosial yang menjadi peranti dikotomi para pendukungnya hingga terbawa dalam kehidupan nyata.
Kehadiran kreativitas pengguna bahasa di media sosial tanpa disadari menghilangkan sekat sosial seperti pendidikan, profesi, jabatan, serta semua dimensi yang menjadi pertimbangan penutur dalam komunikasi. Akibatnya, siapa pun yang hadir dalam dimensi media sosial dapat dirisak (diusik) secara bebas tanpa mempertimbangkan aspek sosial tersebut.
Fenomena tersebut dianggap lumrah dalam peristiwa politik untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Akan tetapi, hal tersebut mengikis norma, etika, serta kesantunan berbahasa yang berujung terhadap berbagai kejahatan berbahasa. Dampak paling dominan dalam proses kampanye dengan cara tersebut yaitu suburnya kejahatan kebahasaan seperti penyebaran opini-opini yang belum tentu kebenarannya hingga penyesatan logika (logical fallacy). Keadaan tersebut diperparah dengan adanya jasa buzzer (pendengung) dalam proses kampanye di media sosial.
Hegemoni dan kejahatan berbahasa
Masa kampanye yang tinggal menghitung hari akan menjadi pertarungan tim kampanye setiap calon dalam penerapan strategi untuk mendapatkan simpati masyarakat. Salah satu strategi yang paling efektif yaitu rekayasa penggunaan bahasa untuk membungkus berbagai kegiatan ataupun jargon-jargon dalam rangka doktrin ataupun kontrol terhadap pikiran masyarakat.
Dari uraian tersebut kita ambil contoh kasus penggunaan kata pencitraan yang sukses dikonotasikan menjadi kebohongan dan kegiatan berlebihan. Kata tersebut selalu dijadikan alat menghantam lawan politik terhadap berbagai program yang ditawarkan. Padahal, jika kita melihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata pencitraan dijabarkan sebagai proses, cara membentuk mental pribadi.
Dalam hal ini kata tersebut berdenotasi netral ataupun positif bahkan seharusnya setiap calon memiliki pencitraan diri sesuai Bab I Ketentuan Umum PKPU Nomor 23 Tahun 2018. Kata tersebut secara sengaja dipisahkan dengan kesatuan antara ethos (karakter atau pembawaan), logos (logis), dan pathos (ikatan emosional) sehingga kata pencitraan membentuk makna antonimi dan oposisi dari kenyataannya.
Hal ini sebagai bukti nyata hilangnya kognisi bahasa, kesantunan berbahasa (’politeness’), bahkan menjadi kejahatan kebahasaan dampak permisifnya komunikasi politik kita.
Dengan demikian, siapa pun yang menjadi obyek kata tersebut akan terbingkai secara negatif tanpa mengukur realitasnya. Hal ini sebagai bukti nyata hilangnya kognisi bahasa, kesantunan berbahasa (politeness), bahkan menjadi kejahatan kebahasaan dampak permisifnya komunikasi politik kita.
Contoh lain yang juga populer dalam kampanye yaitu kata perubahan dan pembangunan. Kata tersebut selalu laris untuk menjadi dagangan politik. Sebab, kata perubahan dan pembangunan secara sengaja diterminologikan untuk menyimpan beragam kognisi sosial (kepercayaan individu ataupun kelompok terhadap sesuatu yang terjadi dalam dimensi sosial) dengan pemahaman akan adanya agenda-agenda strategis dengan penguasaan sumber daya manusia yang kompeten dalam rangka perbaikan program untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini kita melihat bagaimana pemaknaan kata tersebut berhasil menggambarkan referensial proses di dalamnya.
Sebenarnya dalam proses kampanye, bahasa tidak lagi diartikan denotatif semata dan dianggap alat untuk menyampaikan pikiran saja. Akan tetapi, dalam prosesnya, bahasa memiliki intrik tersendiri untuk menghadirkan berbagai idiom yang difungsikan untuk memunculkan propaganda dalam menyebarkan kebencian (warmongering) dengan cara memanipulasi fakta-fakta (psychological warfare). Kegiatan tersebut ditujukan untuk pembusukan nama baik lawan politik (defamatory). Hal tersebut diungkap oleh Aminulloh dkk dalam penelitiannya dengan judul ”The 2019 Indonesian Presidential Election: Propaganda in Post-Truth Era”.
Sangat disayangkan berbagai peristiwa tersebut memunculkan budaya komunikasi politik baru dan cenderung menggunakan bahasa agitasi (hasutan) untuk meraup simpati masyarakat. Tentu hal tersebut akan menjadikan sumber daya manusia (SDM) kita dilanda intelektual organik (tumbuh dalam permasalahan masyarakat) yang berdampak terhadap perilaku tidak kritis serta ketergantungan (dependent). Peristiwa tersebut terjadi karena rendahnya keterampilan penggunaan bahasa yang selama ini hanya menjadi kognisi bahasa semata. Bahkan, popularitas penggunaan bahasa yang baik (sesuai konteks) dan benar (sesuai gramatikal) cenderung dianggap elitis dan sempit.
Semoga dengan pemahaman tersebut menjadikan revolusi politik dalam proses kampanye yang mengedepankan norma dan etika untuk menentukan pemimpin negara yang bermartabat.