Milad Muhammadiyah, Tahun Politik, dan Pilar Bangsa
Di tengah ketegangan dan tarikan berbagai kepentingan politik praktis menuju Pilpres 2024, Muhammadiyah tetap menjaga khitahnya.
Oleh
ERIK TAUVANI SOMAE
·5 menit baca
Buya Syafii Maarif dalam Resonansi Republika mengingatkan tentang posisi Muhammadiyah di depan wajah politik kebangsaan dan politik kekuasaan di republik ini. Dalam politik kebangsaan, Muhammadiyah adalah pilar utama bangsa yang sukar dicari tandingannya. Namun, tampak paradoks dalam politik kekuasaan karena, di antaranya, mengutip Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan non-politik praktis.
Metafora Buya dalam tulisan itu melukiskan realitas Muhammadiyah yang dibentuk untuk mengangkat harkat dan martabat manusia melalui kegiatan keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, dan kemanusiaan. Meskipun ketulusan dan amal nyata itu, jika dihadapkan kepada politik kekuasaan, sering kali bertepuk sebelah tangan.
Milad ke-111
Tanggal 18 November 2023, Persyarikatan Muhammadiyah merayakan milad yang ke-111. Napas panjang Muhammadiyah tidak lepas dari asam garam organisasi dan sikap hidup yang dilandasi ketulusan, keteguhan, dan keyakinan bahwa iman dan amal saleh adalah syarat untuk meraih hidup baik (hayah thayyibah).
Tiga bulan setelah itu, 14 Februari 2024, rakyat Indonesia akan melangsungkan proses demokrasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2024-2029. Seperti halnya pada pilpres sebelum-sebelumnya, di tengah ketegangan dan tarikan berbagai kepentingan politik praktis, Muhammadiyah tetap tenang dan berhati-hati dalam bersikap sehingga tidak keluar dari khitahnya.
Muhammadiyah tentu memandang proses demokrasi (real politics) ini penting bagi hari depan bangsa dan negara. Namun, dalam aspek yang lain, khususnya pembangunan masyarakat madani (civil society) melalui peran kebangsaan (high politics), pun tak kalah penting dan strategisnya. Khitah Muhammadiyah antara lain untuk meneguhkan arah perjuangan organisasi agar tetap berada di jalur dakwahnya.
Tidak berpolitik praktis, sebagaimana yang selalu ditegaskan oleh Haedar Nashir, merupakan pilihan dan ijtihad Muhammadiyah. Dalam menghadapi tahun politik, Muhammadiyah memberi kebebasan bagi warganya untuk mengikuti proses demokrasi itu dengan hati nurani, rasional, kritis, dan untuk kemaslahatan umum. Namun, di sisi lain juga harus tetap menjaga silaturahmi di tengah perbedaan pilihan politik saat pemilu yang rutin dilaksanakan setiap lima tahun itu.
Usia ke-111 adalah usia yang melintasi zaman dengan berbagai pengalaman yang kompleks di tengah arus kontestasi politik Indonesia. Bahkan, sebelum Indonesia berwujud sebagai sebuah negara yang merdeka, Muhammadiyah telah pula mengalami dinamika sosial dan politik yang tidak sederhana. Maka, wawasan, kesadaran, dan kedewasaan dalam bersikap adalah cerminan dari pengalaman itu.
Ikhtiar menyelamatkan semesta
Muara perjuangan Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Selain memaksimalkan usaha untuk turut mewujudkan cita-cita bangsa, Muhammadiyah juga meluaskan peran kerahmatan di berbagai belahan dunia. Amal usaha telah didirikan di beberapa negara dalam wujud lembaga pendidikan.
Kerja-kerja kemanusiaan dalam skala nasional dan global juga terus dilakukan tanpa kenal lelah. Saat Turki dilanda gempa pada Februari 2023, misalnya, Muhammadiyah mengirimkan puluhan relawan dan bantuan kemanusiaan. Yang terbaru, penyaluran bantuan kemanusiaan bagi saudara-saudara di Gaza, Palestina. Maka, tepat belaka ketika milad ke-111 ini, tema yang diangkat adalah ”Ikhtiar Menyelamatkan Semesta”.
Jika kita tengok ke belakang, membela Palestina sesungguhnya telah menjadi komitmen bersama yang digaungkan oleh para pendiri negara pada abad yang silam. Alinea pertama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, dinyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Ikhtiar menyelamatkan semesta ini sekaligus sebagai alarm untuk membangunkan kesadaran publik bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Tak hanya dalam ranah kemanusiaan, politik, dan ekonomi, tetapi juga dalam isu lingkungan hidup yang dampaknya akan sangat jauh hingga ke generasi anak cucu nanti.
Sebagai bagian dari civil society, Muhammadiyah sesungguhnya telah membantu pemerintah melalui jalur politik kebangsaan.
Seruan moral ini hanya mungkin dilakukan tanpa kepentingan pribadi dan kelompok tertentu karena yang dituju adalah kemaslahatan umum. Maka, ikhtiar menyelamatkan semesta dan masa depannya dengan ketulusan dan amal yang konkret adalah niscaya belaka. Modal sosial dan budaya yang dimiliki Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah non-politik praktis menjadi penting dan strategis.
Sebagai bagian dari civil society, Muhammadiyah sesungguhnya telah membantu pemerintah melalui jalur politik kebangsaan. Hal ini sesuai dengan salah satu sifat Muhammadiyah (Kepribadian Muhammadiyah) yang berbunyi: ”Membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan diridlai Allah.”
Apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan Muhammadiyah dilandasi kesadaran dan tanggung jawab sebagai seorang ‘abd dan khalifah. Tanpa kesadaran dan tanggung jawab itu, hanya akan menjerumuskan orang kepada jurang fatalisme, jika bukan pragmatisme sempit. Ini semakin menyadarkan betapa pentingnya posisi Muhammadiyah yang mengambil jalur high politics.
Kader bangsa
Meskipun Muhammadiyah secara organisasi tidak mengambil jalur politik praktis, tak sedikit pula kader terbaiknya berkhidmat untuk bangsa dan negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Bahkan dari sejarah awal republik ini lahir hingga kini dapat kita lihat kiprah para kader itu. Bung Karno, Fatmawati, Jenderal Sudirman, dan Djuanda adalah di antara kader Muhammadiyah di awal kemerdekaan.
Muhammadiyah mendorong para kader yang terjun ke gelanggang politik praktis di negeri ini, sesuai khitahnya, agar senantiasa menjaga integritas dengan mengedepankan akhlak mulia, perdamaian, kemaslahatan umum, dan menjadikan politik sebagai wadah untuk dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, mereka adalah anak panah yang melesat untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Kader-kader terbaik ini, mereka adalah dari Muhammadiyah untuk bangsa. Sebagai kader Muhammadiyah dengan wawasan keindonesiaan dan kemanusiaan yang luas, yang tampil bukan hanya wajah politisi, tetapi juga wajah negarawan yang anggun dalam moral, unggul dalam intelektual, dan untuk kepentingan umum tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan.
Seorang negarawan sejati tidak mengidap rabun ayam yang pikirannya jangka pendek. Tidak pula berwatak ikan lele, kata Profesor Abdul Mu’ti, yang semakin kumuh suasana politik, semakin pula ia menikmati. Ibarat mata elang, seorang negarawan sejati memiliki pikiran yang luas, tajam, dan jauh ke depan.
Di sinilah di antara kekuatan Muhammadiyah, yaitu melahirkan para negarawan melalui pendidikannya yang menyatukan antara fikr dan zikr. Negarawan di sini selain berakal sehat dan berpikiran cerdas (ulu al-albab dan ulu al-nuha), sekaligus juga peka, tajam, dan visioner (ulu al-abshar). Secara konkret, mereka juga gemar beramal (ummat al-‘amal).
Akhirnya, selamat milad ke-111 Muhammadiyah. Dengan batang usia yang panjang itu, Sang Surya tetap bersinar menebar manfaat untuk bangsa, negara, dan semesta.
Erik Tauvani Somae, Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (AIK FSBK) Universitas Ahmad Dahlan; Wakil Bendahara Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani Pimpinan Pusat Muhammadiyah