Ekspor nonmigas menunjukkan tren penurunan sejak Oktober 2022. Perlambatan ekonomi dan permintaan global juga masih berpotensi menekan kinerja ekspor.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Nilai ekspor nonmigas pada Oktober 2023, menurut BPS, adalah 20,78 miliar dollar AS. Angka ini naik 7,42 persen dibandingkan dengan September 2023, tetapi turun 11,36 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ekspor nonmigas yang menyumbang 72,37 persen terhadap total ekspor ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia per Oktober 2023 turun 10,43 persen dibandingkan periode sama tahun 2022, menjadi 22,15 miliar dollar AS, kendati meningkat 6,76 persen dibandingkan September 2023.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia pada Januari–Oktober 2023, yakni 214,41 miliar dollar AS, juga turun 12,15 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, dengan ekspor nonmigas turun 12,74 persen.
Penurunan nilai ekspor Indonesia yang lebih dipicu oleh penurunan harga komoditas ketimbang volume ini tampaknya sejalan dengan fenomena normalisasi harga komoditas global. Harga komoditas di pasar dunia sempat melonjak ke rekor tertinggi pada 2022, terutama sebagai akibat disrupsi rantai pasok global, akibat perang Rusia-Ukraina dan Covid-19.
Berlanjutnya tekanan terhadap ekspor masih harus terus kita waspadai, terutama dengan masih tingginya ketidakpastian dan perlambatan ekonomi dunia, karena bisa menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,7 persen di triwulan II menjadi 4,94 persen di triwulan III-2023 (terendah dalam dua tahun terakhir) juga karena kontraksi ekspor, selain akibat melemahnya konsumsi rumah tangga.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi global menyebabkan turunnya permintaan barang dan jasa. Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) memprediksi kondisi ini berlanjut hingga akhir tahun. WTO merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan volume perdagangan barang global untuk 2023, dari 1,7 persen ke 0,8 persen.
Dari sisi fundamental, kinerja ekspor Indonesia selama ini menunjukkan rapuhnya posisi kita karena masih sangat tingginya ketergantungan kita pada ekspor komoditas sehingga rentan terhadap fluktuasi dan gejolak harga komoditas global. Kondisi ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi ekspor, hal yang sudah lama kita sadari, tetapi belum sepenuhnya berhasil kita lakukan hingga sekarang.
Alarm lain yang perlu kita perhatikan adalah pertumbuhan ekonomi kita yang semakin didominasi sektor jasa. Sementara sektor industri pengolahan terus menurun, sejalan dengan tren deindustrialisasi yang terjadi sejak 2002.
Hal ini tecermin dari terus menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB. Sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti manufaktur, pertanian, dan pertambangan, semua tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menegaskan, reindustrialisasi jadi agenda penting yang tak boleh ditawar-tawar, harus lebih serius digarap ke depan.