Sistem pangan adalah salah satu pendorong utama perubahan iklim karena menyumbang sepertiga emisi GRK global dan mengonsumsi 30 persen total energi dunia.
Oleh
DODDY S SUKADRI
·3 menit baca
Hanya hitungan hari, para pemimpin dunia akan berkumpul di pertemuan puncak perubahan iklim yang disebut Konferensi Para Pihak. Mereka akan membicarakan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of the Parties United Nations Framework Convention on Climate Change atau COP-UNFCCC) ke-28.
Konferensi tahunan yang akan dihadiri lebih dari 190 negara yang telah meratifikasi UNFCCC itu tahun ini digelar di Dubai, Uni Emirat Arab, 30 November-12 Desember 2023.
Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri terkait dijadwalkan juga hadir. COP kali ini diperkirakan akan membahas krisis iklim global dengan latar belakang gelombang panas, bencana kekeringan, dan banjir yang baru-baru ini terjadi di banyak belahan dunia.
Sebagaimana diamanatkan Perjanjian Paris, COP28 akan menyampaikan evaluasi komprehensif atau global stock take (GST). GST ini berisi kemajuan kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional setiap negara atau disebut nationally determined contribution/NDC) untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2050.
Sekelompok ilmuwan saat ini tengah bekerja membantu high level expert group (HLEG) yang dibentuk PBB dan presiden COP28 untuk mencari solusi terbaik krisis iklim global.
Karena peperangan, hasil kesepakatan COP27 yang dicapai tahun lalu di Sharm el-Sheikh telah gagal menghapus bahan bakar fosil secara bertahap.
Isu-isu utama
Para pengamat COP telah menganalisis isu sentral yang akan diperdebatkan di COP28. Isu keamanan energi, salah satunya. Isu ini jadi perhatian utama sejak 2022, terutama akibat dampak invasi Rusia ke Ukraina dan perang Palestina-Israel.
Perang telah mengakibatkan intensifikasi produksi bahan bakar fosil dalam jangka pendek seiring upaya banyak negara untuk mengamankan kebutuhan energi mereka. Perang juga telah mengakibatkan kegagalan dalam mencapai target penurunan emisi, kegagalan dalam ekonomi hijau, dan kerugian lingkungan secara keseluruhan.
Karena peperangan, hasil kesepakatan COP27 yang dicapai tahun lalu di Sharm el-Sheikh telah gagal menghapus bahan bakar fosil secara bertahap. Ketergantungan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil hanya akan menghambat pengembangan energi bersih, terbarukan, dan berkelanjutan.
Isu lain adalah kerawanan pangan. Sistem pangan adalah salah satu pendorong utama perubahan iklim karena menyumbang sepertiga emisi GRK global dan mengonsumsi 30 persen total energi dunia.
Terjadinya cuaca ekstrem, peperangan antarnegara, dan pandemi Covid-19 telah memperburuk masalah iklim. Laporan global tentang krisis pangan 2023 menemukan, 258 juta orang kini terdampak krisis atau kerawanan pangan akut.
Presiden COP28 Sultan bin Ahmed Al Jaber juga memberi perhatian khusus pada masalah pangan yang sebagian besar masih berbasis bahan bakar fosil. Produksi pangan hewani, misalnya, menyebabkan peningkatan gas metana (CH4) di atmosfer.
Ilustrasi
Meski emisi CO2 menyumbang 76 persen emisi global, CH4 menyebabkan pemanasan udara 80 kali lebih cepat walau waktunya jauh lebih pendek. Dengan berlanjutnya kerawanan pangan dan berkurangnya luas lahan produktif, perlu solusi lain untuk memastikan ketersediaan pangan nonhewani yang sehat dan bergizi tinggi.
Pendanaan iklim juga akan jadi perhatian utama di COP28. Tanpa dukungan dana yang memadai, mustahil bagi dunia mencapai emisi nol bersih dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini terlihat jelas di negara-negara di dunia Selatan.
Pada COP15, negara-negara maju berkomitmen menyediakan bantuan pendanaan iklim 1 miliar dollar AS mulai 2020 untuk negara berkembang, tetapi tak pernah terwujud.
Meski COP28 merupakan proses yang berfokus pada negara pihak, lebih banyak upaya harus dilakukan untuk meningkatkan peran pemerintah daerah karena merekalah yang paling dekat dengan masyarakat.
Krisis iklim juga telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Pada COP15 UNCBD (United Nations Convention on Bio Diversity) di Montreal tahun 2022, semakin banyak pakar dan politisi yang menekankan keterkaitan antara krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
COP28 UNFCCC memberi peluang penting guna mempertahankan momentum terkait target Perjanjian Paris sekaligus mendorong agenda iklim menuju 2030 dan 2050. Penting mempelajari bagaimana pemerintah mengatasi tantangan iklim dan apa yang bisa dilakukan untuk mengintegrasikan pertimbangan transisi yang adil ke dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Banyak negara dan komunitas mulai memikirkan apa yang akan terjadi jika dampak perubahan iklim tak dapat diubah lagi dan bagaimana perlindungan kepada kelompok rentan.
Doddy S SukadriDirektur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Mantan negosiator COP-UNFCCC