Bahasa daerah sebagai lumbung bahan baku padanan istilah asing menjadi solusi alternatif mencari padanan kata yang tepat.
Oleh
AZHARI DASMAN DARNIS
·2 menit baca
Pengindonesiaan istilah asing dengan cara menyerap (dengan menyesuaikan ejaan dan lafal) tidak hanya lebih mudah, tetapi juga lebih cepat, dan satu lagi, paling memenuhi prinsip kesalingterjemahan (intertranslatability). Prinsip ini memudahkan pelacakan bentuk asal istilah beserta makna konsepnya. Sejatinya, prinsip itu lebih untuk memenuhi kebutuhan interaksional di antara para pandit (scholar), alih-alih sebagai peranti heuristik pengguna bahasa.
Menyerap memang seharusnya jadi jurus terakhir. Masih ada kiat lain yang cukup menantang, yaitu pemadanan menggunakan bahasa daerah. Kata unggah dan unduh dari bahasa daerah pada domain teknologi informasi adalah contoh sukses, membayar ”trauma leksikal” sangkil dan mangkus dulu.
Mari kita lihat apakah bahasa daerah yang umumnya digunakan untuk fungsi lokal dan urusan domestik itu memiliki konsep-konsep modern.
Sejatinya, ratusan budaya yang diabstraksi dalam bahasa daerah merupakan lumbung bahan baku padanan istilah asing. Lumbung tersebut, malahan, sudah bermarkah sesuai dengan kekhasan sosial budaya masing-masing (ekoleksikon).
Budaya Manggarai yang kaya dengan konsep-konsep wanatani (agroforestry), misalnya, memiliki spesifikasi nama yang cermat dan rinci, mulai tentang masa bertunas sampai panen beberapa jenis tanaman produksi.
Bahasa Jawa melimpah dengan istilah kekerabatan. Di samping memiliki konsep khusus untuk beberapa generasi sebelum dan setelah ego secara vertikal, bahasa itu juga punya nama tersendiri untuk kekerabatan secara horizontal. Bahasa dengan penutur paling banyak itu adalah kandidat paling presisi untuk bidang hukum waris.
Demikian juga dengan bahasa Bugis dan Makassar. Duo bahasa itu merupakan salah satu jawara ekoleksikon kemaritiman dan kelautan. Orang Bugis-Makassar, bahkan, telah memberi nama Marege untuk benua yang kemudian dikenal dengan Australia. Kapal pinisi mereka sudah berenang-renang di pantai Marege jauh sebelum benua hijau itu didatangi orang Eropa.
Bahasa Dayak memiliki banyak istilah seputar perikanan darat. Salah satunya sentak yang biasa digunakan sebagai padanan strike. Orang Banjar sering menggunakan istilah sakang untuk ponsel atau komputer yang hang. Bahasa Moronene di Sulawesi Tenggara menggunakan kata arupako untuk konsep ’melakukan banyak kegiatan dalam satu waktu’ (multitasking). Ada lagi mesalalaica untuk konsep rumah tangga yang diberkahi kedamaian, kasih sayang, dan rahmat Tuhan, acap diselipkan dalam doa untuk pasangan yang baru menikah.
Bukan saja padanan konsep asing yang ditawarkan oleh bahasa daerah, ada juga konsep baru. Dalam bahasa Banjar, umpamanya, ada konsep untuk humor yang berbau permainan logika, seperti pada kalimat jangan menikah dengan orang sekantor atau kepala polisi tidak pakai sepatu. Dalam bahasa Banjar disebut malahabiu.
Bahasa-bahasa daerah ternyata juga memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengusung konsep, bahkan yang beranah sastra. Seorang kawan penutur bahasa Dawan, yang dituturkan oleh hanya puluhan ribu sampai sejuta penutur (ethnologue.com), di Nusa Tenggara Timur berhasil menerjemahkan ke-103 puisi Gitanjali-nya Tagore, si peraih Nobel Sastra, ke dalam bahasa Dawan. Semua puisi dalam kumpulan itu dialihbahasakan dengan tuntas.
Penerjemah tidak menjodohkan kata dengan kata belaka. Dia mendalami kedua bahasa lebih dahulu, terutama bahasa Bengali, bahasa sumber, karena dia penutur bahasa Dawan. Kawan tersebut mempelajari tentang Tagore agar memiliki wawasan luas dan dalam tentang penulis dan karyanya. Dia mendedikasikan 10 tahun waktunya untuk memetik hasil Gitanjali dalam bahasa Dawan.
Jadi, pemadanan istilah asing dengan bahasa daerah bukan hanya tentang menemukan cangkang konsep yang cocok. Hal itu juga terkait dengan bagaimana mengubah kebiasaan dan sikap kita yang akan mengerek prestise bahasa daerah agar leluasa duduk pada serambi yang sama dengan bahasa Indonesia.