Lembaga Keuangan Mikro sebagai Penggerak Pertumbuhan Sosial Ekonomi
Pada akhirnya perilaku kewirausahaan transformasional yang dimiliki oleh LKM sebagai agen pembangunan ikut mendorong UMK untuk memiliki kewirausahaan yang transformasional.
Pertumbuhan usaha mikro kecil menjadi perhatian suatu pemerintahan mengingat sebagai penopang perekonomian suatu negara serta paling rentan dalam menghadapi gejolak ekonomi, gejolak sosial politik, ataupun pandemi. Meskipun terletak paling bawah dalam piramida perekonomian suatu negara, dalam hal ini di Indonesia, usaha kecil dan mikro sungguh memberikan kontribusi nyata, baik dari dari sisi kontribusi produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, serta menghasilkan devisa nonmigas. Hal ini terlihat pada laporan Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Kominfo dan BPS 2019.
Meskipun mengalami stagnasi selama pandemi Covid-19 periode 2020-2022, pada pertengahan 2022 sampai dengan sekarang serta seterusnya usaha kecil dan mikro mulai bergeliat serta bertumbuh dan berkembang berangsur-angsur secara signifikan.
Peran UMKM sangat penting dan sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. UMKM mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja sekitar 97 persen dari seluruh tenaga kerja nasional dan mempunyai kontribusi terhadap PDB sekitar 57 persen. Namun, persoalan klasik seputar pembiayaan dan pengembangan usaha masih tetap melekat pada UMKM. Pemerintah mencatat, pada 2014, dari 56,4 juta UMK yang ada di seluruh Indonesia, baru 30 persen yang mampu mengakses pembiayaan. Dari persentase tersebut, sebanyak 76,1 persen mendapatkan kredit dari bank dan 23,9 persen mengakses dari bukan bank termasuk usaha simpan pinjam seperti koperasi. Dengan kata lain, 60-70 persen dari seluruh sektor UMKM belum mempunyai akses pembiayaan melalui perbankan (Sarwono, H, Bank Indonesia 2015).
Pertumbuhan UMK/UMKM yang begitu pesat harus didukung lembaga keuangan mikro (LKM) yang kuat dan baik serta berorientasi pada pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan dalam menyalurkan kredit mikro.
Sementara itu, LKM sebagai pemberi dana mikro kepada pelaku usaha UMK kurang bisa berkembang dengan layak dan berkesinambungan, hal ini menurut Setiani dan Haryanto (2009) karena (1). Mendirikan LKM hanya bertujuan untuk mendapat fasilitas kredit murah dari pemerintah atau Bank BUMN, (2). LKM sebagai debitor pemerintah atau Bank BUMN kesulitan mengangsur secara teratur, (3). Pengendalian risiko yang kurang memadai, membiayai penuh usaha mikro dengan risiko keuntungan yang kecil, (4). Pengurus atau manajemen LKM kurang mempunyai wawasan bisnis dan kewirausahaan, serta masih berorientasi pada sosial-kemasyarakatan semata, padahal LKM itu harus untung untuk bisa membayar gaji serta membiayai aset dan biaya operasinya, (5). Rencana pengembangan dan perluasan jangkauan bisnis berdampak bagi sosial-ekonomi-kemasyarakatan masih jarang dimiliki oleh LKM.
Keberadaan berbagai jenis LKM seperti bank kredit desa (BKD), LKM berbadan hukum koperasi, Credit Union maupun lembaga nonpemerintah yang tidak jelas dan pembinanya (Wijono, 2005), membuat kreditor baik itu pemerintah melalui Kemkop & UMK, bank BUMN dan bank swasta serta BPD (bank pembangunan daerah) menjadi ragu di dalam menyalurkan kredit mikro dengan melihat dari aspek risiko serta poin (1) sampai dengan (4) diatas, sekaligus mempersulit pengembangan LKM di masa mendatang, di samping itu juga keberadaan LKM yang masih kurang pengawasan layaknya Lembaga perbankan (diawasi oleh OJK).
LKM di Indonesia saat ini berkembang pesat dan mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Pertumbuhan LKM begitu sangat pesat karena hampir 63,35 juta unit atau 99,9 persen pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia didominasi unit usaha mikro dan kecil (Kemkop & UMKM, BPS & Kemkominfo, 2019; Rasyid, 2017). LKM bisa dikatakan sebagai salah satu pilar penting dalam proses intermediasi keuangan yang dibutuhkan masyarakat kecil dan menengah guna untuk konsumsi ataupun produksi serta juga menyimpan hasil usaha mereka. Oleh karena itu, diperlukan solusi keberadaan LKM agar berkesinambungan, diperlukan orang tua asuh dari bank BUMN, bank swasta atau lembaga/yayasan untuk membimbing dan membina LKM baik berbadan hukum koperasi ataupun berbadan hukum perseroan terbatas.
Hubungannya seperti principal-agency theory (Jensen & Meckling, 1976; Muskin & Tirole, 1992; Petersen, 1993; Strausz, 1997). Principal adalah orang tua asuh dalam hal ini bank BUMN, BPD, bank swasta serta pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, sementara agensi adalah LKM baik berbadan hukum koperasi maupun berbadan hukum perseroan terbatas. Pembinaan dari principal mencakup pembinaan manajemen, kewirausahaan (berorientasi pada ekonomi), serta sosial-kemasyarakatan, yakni ekosistem LKM sebagai kreditor dan UMK sebagai debitor berada, pembinaan dari sisi teknologi informasi dan komunikasi secara digitalisasi dan pembinaan berikutnya tentunya penyaluran dan pengelolaan kredit mikro. Karena principal dalam hal ini bank BUMN, BPD dan bank swasta diawasi oleh OJK, otomatis agensinya, yakni binaaannya para LKM baik berbadan hukum koperasi dan perseroan terbatas, juga ikut diawasi oleh OJK.
Dengan tiga cara pembinaan dari prinsipal kepada agensi, perlu kebersinambungan penyaluran dana mikro sesuai potensi pasar dan bisnis yang disasar oleh LKM, hal ini sesuai dengan Nkundabanyanga, Akankunda, Nalukenge & Tusiime, I. (2017), bahwa loan availabilitydanfinancial sustainability menjadi elemen utama bagi microfinance institution (MFI)/LKM.
Di Indonesia, LKM diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Menurut Pasal 1 (1) Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, yang dimaksud dengan LKM adalah ”lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan”.
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa LKM merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediary yang bertujuan tidak hanya semata-mata mencari keuntungan (profit motive) saja, tetapi mempunyai tujuan lain, yakni tujuan sosial (social motive) yang kegiatannya lebih bersifat community development. LKM sebagai pemberi kredit mikro kepada UMK sekaligus sebagai ujung tombak pertumbuhan perekonomian mikro-kecil turut mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan termasuk lingkungan sebagai ekosistem yang membentuk UMK di mana UMK itu berada.
Pimpinan organisasi atau perusahaan melalui pendekatan perilaku kewirausahaan transformasional (transformational entrepreneurship behaviour) (Maas, Jones & Lockyer, 2019; Xu & Maas, 2019; Maas & Jones, 2019) itulah yang mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan serta lingkungan secara seimbang dan optimal, sehingga ekosistem didalamnya ikut bertumbuh dan berkembang.
Pendekatan yang selama ini hanya semata-mata berperilaku kewirausahaan (entrepreneurship behaviour)(Andole & Matsui, 2021; Dess & Lumpkin, 2005; Llanos-Contreras et al., 2020; Majid & Koe, 2012; Wiebe & Scherer, 1987)untuk mengejar keuntungan ekonomi saja, padahal yang dibutuhkan adalah membangun organisasi yang berkesinambungan (Aldrich & Zimmer, 1986; Chell & Baines, 2000; Dubini & Aldrich, 1991).Organisasi atau perusahaan yang tumbuh berkesinambungan (berkelanjutan) adalah perusahaan yang mampu membawa organisasi mencapai tujuan bisnis jangka panjang melalui proses dan tindakan perusahaan dari waktu ke waktu dengan memasukkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam strategi bisnis (Baumgartner & Rauter, 2017; Haugh & Talwar, 2010), terbukti tidak membuat organisasi menjadi berkesinambungan. Perusahaan bisa tumbuh dan maju serta berkembang, tetapi bilamana ekosistem di bawahnya mengalami gangguan atau tidak bertumbuh, lambat laun perusahaan ikut mengalami stagnasi dan pertumbuhan negatif.
Pemimpin organisasi dalam berwirausaha harus bertransformasi, yakni perilaku untuk melihat ekosistem yang membentuk organisasi secara holistik. Perilaku kewirausahaan transformasional yang membawa organisasi bertransformasi untuk melihat pertumbuhan secara komprehensif serta makro yang mencakup sosial-ekonomi termasuk pengembangan komunitas dan lingkungan secara seimbang dan optimal.
Perilaku kewirausahaan yang transformasional untuk mencapai pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh Guru Besar Manajemen Max Marmer (2012) Harvard University. Menurut Marmer (2012), munculnya ”kewirausahaan sosial” berupaya mengisi kekosongan moral ini dengan memfokuskan kembali energi dan sumber daya pada masalah-masalah sosial yang penting. Meskipun Kewirausahaan sosial cukup menjanjikan, dampaknya masih terbatas hingga saat ini karena solusinya jarang dirancang dengan mempertimbangkan skalabilitas dan keberlanjutan ekonomi yang sesungguhnya. Selain itu, meskipun komunitas Kewirausahaan sosial dipenuhi oleh orang-orang yang mempunyai niat baik, banyak dari solusi mereka yang gagal mempertimbangkan kompleksitas masalah yang ingin mereka selesaikan sehingga dapat menyebabkan lebih banyak dampak buruk daripada manfaat.
Agar berhasil melakukan transisi ke era sosio-ekonomi baru di era informasi, diperlukan pemikiran bagaimana menyatukan alat kewirausahaan teknologi yang terukur dengan etos moral kewirausahaan sosial.
Penulis melihat dan menyaksikan LKM berbadan hukum koperasi di bawah pembinaan bank BUMN mampu bertransformasi secara digital baik di dalam melayani dan memberikan pinjaman kredit mikro. Dalam hal ini, contoh nyata LKM yang sudah beroperasi serta bertumbuh dan berkembang sejak 1998, mendanai UMK baik perdagangan maupun garmen termasuk ekosistem dari UMK tersebut penyuplai bahan kain, benang, kancing dan tenaga penjahit termasuk mesin jahit, kemudian dikembangkan bukan saja pendanaan mikro untuk perdagangan dan garmen, tetapi dikembangkan untuk transportasi, hasil dari garmen dan perdagangan perlu dibawa moda transportasi baik darat, laut, dan udara ke wilayah kepulauan lainnya sampai pula ekspor ke negara-negara tertentu. Apa yang dilakukan oleh LKM berbadan hukum koperasi sudah menunjukkan ke dalam kuadran-4, yakni transformational entrepreneurshipyang memberikan dampak economic impact dan long-term societal impact yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa LKM tersebut menyalurkan dan mengelola kredit mikro serta ikut mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan.
Pada akhirnya, perilaku kewirausahaan transformasional yang dimiliki oleh LKM sebagai agen pembangunan ikut mendorong UMK untuk memiliki kewirausahaan yang transformasional. Predikat itu bisa dicapai dengan melibatkan ekosistem di sekitarnya sehingga pertumbuhan sosial-ekonomi dan pengembangan masyarakat secara seimbang diperoleh, untuk mencapai kebersinambungan organisasi. Sebagai tulang punggung dan penopang piramida perekonomian nasional, LKM dan UMK memberikan dampak yang berarti bagi pemerataan pertumbuhan sosial-ekonomi-kemasyarakatan di Indonesia.Michael Gunawan adalah Anggota Indonesia Strategic Management SocietyEmail : Mbwftafg@gmail.com