Israel-Hamas Bukan Perang Internasional
Perang Israel dengan Hamas bukan perang berskala internasional. Alasannya, Hamas tidak merepresentasi kekuatan bersenjata sebuah negara apa pun.
Serangan kelompok perlawanan Hamas terhadap Israel membuat Israel kehilangan harga diri. Selama ini Israel mengklaim dan merasa sangat super dalam hal militer dibandingkan seluruh negara Arab.
Israel juga selalu bangga dengan agen rahasianya yang bernama Mossad. Namun, ketika Hamas mengendap senyap tanpa terdeteksi sedikit pun dan menyerang masuk ke wilayah Israel, kebanggaan atas keperkasaan militer dan akurasi serta keandalan agen Mossad runtuh berkeping-keping seketika.
Mengapa Israel tidak mampu mendeteksi pergerakan Hamas yang dirancang begitu rapi, sistematis, dalam waktu yang cukup panjang? Hamas menggunakan logika terbalik. Hamas mempersiapkan diri dalam bentuk latihan perang di lapangan terbuka, tidak dalam ruang sunyi yang selalu diintip oleh kecurigaan Israel. Karena dilakukan di ruang terbuka, intelijen Israel tidak menaruh syak wasangka apa pun.
Di sini, pihak Israel terkibuli oleh taktik Hamas itu. Pengalaman selama ini, gerakan senyap selalu mudah dipatahkan melalui operasi intelijen.
Baca juga: Kunci Serangan Hamas
Pada September 2001, Amerika Serikat, sekutu kental Israel, juga kehilangan harga diri lantaran serangan Al Qaeda ke gedung kembar di New York dan Pentagon, Washington DC. Kedigdayaan militer serta kecanggihan teknologi pengintaian dan pengawasan serta keandalan kemampuan agen rahasia, CIA dan FBI, lenyap seketika. Harga diri Amerika Serikat menguap begitu saja. Kepongahan atas ketangguhan militernya pun seolah lenyap tanpa jejak.
Harga diri yang lenyap itu coba dikembalikan Amerika Serikat dengan cara mengokupasi Afghanistan selama 20 tahun berturut-turut. Alasan utamanya adalah menggempur tempat persembunyian Osama bin Laden, pemimpin tertinggi Al Qaeda. Yang mengherankan, Osama Bin Laden sudah mereka temukan dan mereka bunuh, tetapi Amerika Serikat masih bercokol di Afghanistan untuk sekian tahun setelah Osama Bin Laden tewas.
Serangan Hamas ke Israel yang menghilangkan wibawa dan keperkasaan Israel tersebut bakal mengikuti jejak Amerika Serikat, membabi buta menyerang, siapa saja dan di mana pun keberadaan para pejuang dan aktivis Hamas. Tak perduli dengan harga yang mereka bayar.
Perang Israel dengan Hamas, dari perspektif hukum humaniter internasional (Hukum Perang), bukanlah perang yang berskala internasional. Alasannya, kelompok perlawanan Hamas tidak merepresentasi kekuatan bersenjata sebuah negara apa pun. Karena itu, perang tersebut disebut non-international armed conflict.
Karena sifat alamiah perang tersebut bukan berskala internasional, keempat Konvensi Geneva Tahun 1949 mengenai perang tidak berlaku. Yang bisa dipakai sebagai parameter yuridis untuk menilai perang tersebut adalah pasal bersama (Pasal 3), yang sangat popular dengan sebutan common article, Konvensi Geneva 1949. Pasal bersama ini mengatur tentang perang non-internasional.
Mengapa disebut pasal (ketentuan) bersama? Sebab, pasal tersebut tertera dalam Konvensi Geneva 1949 mengenai perang di darat, di laut, perlakuan terhadap tawanan perang, dan perlindungan terhadap penduduk sipil. Pasal bersama ini mengatur, antara lain, perlindungan penduduk sipil dan pihak-pihak yang berperang, tetapi telah meletakkan senjata, orang yang sakit, terluka, yang ditahan, semua harus tetap diperlakukan secara manusiawi. Termasuk di dalam pasal ini diatur tentang larangan penyanderaan.
Instrumen hukum internasional lainnya yang patut dijadikan standar dalam menilai status perang Israel dengan Hamas adalah Protokol Tambahan II 1977, Konvensi Geneva 1949 mengenai Perlindungan Para Korban Perang yang berskala Non-Internasional. Dalam Protokol Tambahan II ini jelas dikatakan bahwa meskipun ada perilaku dalam konflik bersenjata yang belum diatur dalam aturan apa pun, manusia tetap harus dilindungi dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar hati nurani publik.
Prinsip hukum perang
Pengaturan tentang konflik bersenjata, baik yang bersifat konvensi maupun hukum kebiasaan, mengenal tiga prinsip utama: Jus ad bellum (motif melakukan perang), Jus in bello (tata cara berperang bukan tanpa batas), dan Jus post bellum (konsekwensi akibat perang, misalnya, mengadili penjahat perang).
Khusus prinsip kedua, jus in bello, di situ sangat keras dan tegas mengatur mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh diserang. Di sini dikenal dengan prinsip distinction, proportionality, dan military necessity. Prinsip distingsi berhubungan dengan pembedaan antara pasukan yang terlibat perang dengan penduduk sipil.
Prinsip proportional dikaitkan dengan cara dan alat perang yang dipakai, apakah itu proporsional atau berlebihan. Sementara prinsip keharusan militer berhubungan dengan larangan melakukan serangan terhadap obyek-obyek vital yang tidak berkaitan dengan kepentingan militer musuh, misalnya gardu listrik dan sumber air.
Singkatnya, secara hukum, penduduk sipil yang tak bersenjata dalam perang dilarang diserang. Bahkan, penduduk sipil harus dilindungi oleh pihak-pihak yang berperang. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan perisai. Selanjutnya, jika toh penduduk sipil berada dalam wilayah serangan militer yang dibenarkan, pihak-pihak yang berperang tetap diharus mengambil tindakan terukur agar penduduk sipil tersebut tidak menjadi korban.
Baca juga: Anak-anak, Korban Terbesar Konflik Israel dan Hamas di Gaza
Apa yang terjadi dengan balasan serangan Israel ke Hamas sekarang? Semua prinsip di atas dilindas. Tidak ada lagi pembedaan antara orang yang bersenjata dengan tidak, proporsionalitas juga tidak terjadi karena kebrutalan perang yang dilengkapi dengan kecanggihan teknologi perang, dan target non-militer juga dipreteli sedemikian rupa. Perang tersebut sungguh-sungguh sudah perang brutal dari sisi kemanusiaan.
Israel beralasan sudah mengingatkan penduduk sipil agar keluar dari Gaza supaya bisa diselamatkan dan tidak dikenai target militer Israel. Alasan ini sangat tidak sesuai dengan kenyataan karena Israel sudah lebih awal memblokade Gaza. Tidak boleh ada yang masuk dan keluar. Mau ke mana penduduk yang tak bersenjata itu pergi? Jawabannya, menanti maut datang menjemputnya dengan cara-cara tidak manusiawi.
Pemblokadean tersebut dilengkapi lagi dengan pemboikotan suplai air, makanan, obat-obatan, dan listrik ke Gaza di mana penduduk sipil bermukim. Selama ini memang suplai air dan istrik ke Gaza sangat bergantung kepada belas kasihan Israel. Penyumbatan suplai air, makanan, obat-obatan, dan listrik ke Gaza berarti menihilkan kemungkinan hidup bagi warga Gaza. Penduduk bisa mati lantaran kelaparan. Ini sebuah tindakan yang sangat tidak bisa diterima, selain oleh akal sehat, juga standar kesadaran hati nurani manusia mana pun. Israel, dalam konteks ini, sudah melampaui batas.
Di lain sisi, kesalahan terbesar kelompok perlawanan Hamas adalah menyandera (taking hostages) orang-orang yang tak berdosa. Selain itu, Hamas juga menjadikan penduduk sipil sebagai perisai. Keduanya sangat dilarang dan dikecam oleh aturan konflik apa pun, termasuk hukum kebiasaan.
Menyaksikan keberingasan perang antara Israel dan kelompok Hamas saat ini, maka dalam fase ketiga kelak, jus post bellum, memang harus ada penegakan hukum kepada orang-orang yang terlibat kejahatan perang.
Baca juga: Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Dalam kasus sengketa internasional antara Amerika Serikat dan Nikaragua pada 1980-an, Mahkamah Internasional mengalahkan Amerika Serikat karena masuk ke wilayah Nikaragua dan membantu kelompok perlawanan the Contras, melawan pemerintahan Sandinista Nikaragua. Ketika itu Amerika Serikat berdalih bahwa Nikaragua tidak memiliki legal standing menuntutnya karena Nikaragua belum memenuhi persyaratan formal terikat dalam perjanjian.
Mahkamah dengan tegas mengatakan, kendati pun tidak ada konvensi formal yang mengatur perang, hukum kebiasaan internasional tetap berlaku, dan akan dipakai oleh Mahkamah Internasional.
Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM RI Periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007