Ekonomi Tetap Solid di Tengah Badai
Pertumbuhan ekonomi domestik tetap solid kendati melemah dibandingkan dengan sebelumnya.
Ketidakpastian kondisi perekonomian global tak sepenuhnya memberikan pengaruh besar pada perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi domestik tetap solid kendati melemah dibandingkan dengan sebelumnya.
Perekonomian Indonesia pada triwulan III-2023 tumbuh 4,94 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022 (year-on-year/yoy).
Angka pertumbuhan ini paling rendah dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yang rata-rata di atas 5 persen. Meski demikian, rata-rata pertumbuhan tiga triwulan pertama 2023 masih di atas 5 persen. Untuk triwulan IV diharapkan juga di atas 5 persen.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya ekspor, pelemahan sisi konsumsi, laju inflasi yang meningkat disertai dengan kebijakan moneter yang lebih ketat, dan jatuhnya harga komoditas di pasar internasional.
Selain itu, pada level global juga muncul berbagai masalah, seperti kenaikan angka inflasi, kebijakan moneter ketat dengan suku bunga tinggi, gangguan pada rantai pasok makanan dan energi, serta bencana kekeringan. Namun, semua faktor ini ternyata tak sepenuhnya mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi domestik tetap solid kendati melemah dibandingkan dengan sebelumnya.
Penerapan kebijakan ekonomi yang berbasis 3T—tepat kebijakan, tepat waktu, dan tepat sasaran—oleh pemerintah mampu meredam dan menghalau guncangan global seminimal mungkin guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tetap ekspansif. Kebijakan 3T sekaligus juga memastikan kegiatan ekonomi dapat terus berlanjut dalam koridor yang tepat dan berkelanjutan.
Penggerak pertumbuhan ekonomi
Berbeda dengan Indonesia, munculnya badai global tersebut memukul perekonomian banyak negara. Singapura sebagai salah satu hub perdagangan regional hanya mampu tumbuh 0,7 persen, sedangkan Taiwan dan Korea Selatan sebagai negara industri terkemuka di Asia tumbuh 2,32 persen dan 1,4 persen. Perekonomian negara-negara Uni Eropa bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan III-2023 sebesar minus 0,1 persen.
China, sebagai lokomotif perekonomian global, pertumbuhan ekonominya masih bertahan di angka 4,9 persen, lebih rendah daripada triwulan II-2023 yang 6,3 persen. Melambatnya ekonomi China disebabkan pelemahan konsumsi dan turunnya kinerja sektor properti. Sementara ekonomi Amerika Serikat mampu membukukan pertumbuhan yang sama dengan China, yaitu 4,9 persen, lebih tinggi daripada triwulan II-2023 yang hanya 2,1 persen.
Beberapa sektor ekonomi, yaitu industri pengolahan, perdagangan, transportasi, pergudangan, dan konstruksi, memberikan sumbangan terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2023.
Kondisi itu sejalan dengan Prompt Manufacturing Index (PMI) pada bulan September yang, walaupun sedikit melemah dibandingkan dengan Agustus, tetap berada di zona ekspansif, yakni di angka 52,30 poin. Artinya, mesin-mesin ekonomi masih terus berproduksi di level yang relatif tinggi guna memenuhi permintaan konsumen.
Demikian pula halnya dengan sektor investasi yang juga tetap memperlihatkan kinerja yang baik sebagai akibat dari pembangunan proyek strategis nasional (PSN), seperti Ibu Kota Negara dan jalan tol yang masih terus berjalan.
Kebijakan moneter ketat yang telah berlangsung hampir setahun melalui kenaikan suku bunga acuan beberapa kali hingga mencapai 6 persen ternyata tidak menyurutkan kinerja intermediasi perbankan. Terbukti, sampai dengan September 2023, penyaluran kredit perbankan tumbuh 8,96 persen (yoy) sehingga mencapai total Rp 6.837 triliun. Angka pertumbuhan kredit UMKM mencapai 8,34 persen.
Kenaikan penyaluran kredit perbankan tertinggi justru terjadi di sektor kredit investasi, yaitu 11,19 persen. Kenaikan kredit investasi tersebut memberikan optimisme karena kegiatan investasi di sektor riil tetap terus berjalan di tengah adanya ketidakpastian kondisi global.
Kebijakan moneter ketat yang diterapkan Bank Indonesia (BI) juga mampu meredam kenaikan laju inflasi yang terjadi selama setahun terakhir. Laju inflasi bulan Oktober sebesar 1,91 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan September yang 2,00 persen (yoy).
Kebijakan moneter ketat BI juga tidak sepenuhnya mengurangi likuiditas perekonomian. Terbukti, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) tumbuh 4,1 persen, sementara jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh 6 persen pada periode yang sama. Longgarnya likuiditas ini bukan hanya mampu menopang intermediasi perbankan, melainkan juga menjaga tingkat konsumsi masyarakat agar tetap tinggi.
Kenaikan kredit investasi tersebut memberikan optimisme karena kegiatan investasi di sektor riil tetap terus berjalan di tengah adanya ketidakpastian kondisi global.
Prospek ke depan
Semua pihak berharap pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2023 ataupun pada 2024 tetap di atas 5 persen sehingga keberlanjutan kegiatan ekonomi yang ekspansif tetap terjaga di level yang tinggi. Optimisme tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan mengingat ada beberapa faktor pendukung di belakangnya.
Pertama, investasi akan terus melaju, khususnya dengan adanya pembangunan IKN, ataupun pembangunan infrastruktur lain di seluruh Indonesia. Kedua, tingkat konsumsi juga diperkirakan tetap meningkat dengan adanya pemilihan umum. Ketiga, angka inflasi tahunan sedapat mungkin tetap terjaga di angka 2,8 persen sesuai dengan target Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.
Keempat, pemberian insentif fiskal untuk sektor properti, yaitu Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen yang dimulai November 2023-Juni 2024 dan 50 persen untuk periode Juli-Desember 2024, diharapkan akan mendorong penjualan properti ke level yang lebih tinggi.
Kelima, pemerintah juga menggelontorkan subsidi Rp 4 juta dalam bentuk bantuan biaya administrasi (BBA) untuk membeli rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Di samping itu, ada beberapa faktor lain yang memiliki daya dukung besar guna menopang ekspansi ekonomi di periode berikutnya. Pertama, sektor pariwisata mempunyai potensi besar untuk terus ditingkatkan dan dikembangkan ke daerah-daerah wisata baru.
-
Kedua, daya beli masyarakat perlu terus dipertahankan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, yakni dengan melanjutkan bantuan langsung tunai atau program sosial lainnya.
Ketiga, pakar ekonomi memperkirakan laju inflasi global akan mulai melandai di 2024 sehingga ada peluang bagi bank sentral untuk menurunkan kembali suku bunga acuan dan menerapkan kembali kebijakan moneter yang lebih longgar.
Keempat, muncul harapan bahwa harga pangan dan energi akan mulai menurun di 2024 sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan dan konsumsi.
Tantangan yang dihadapi
Pencapaian target pertumbuhan ekonomi ke depan tampaknya mudah untuk dicapai dalam koridor ekspansif. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya menentukan strategi dan kebijakan yang tepat untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangan sampai di bawah 5 persen.
Harapan untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen secara konsisten dan berkelanjutan masih menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Pertama, masalah geopolitik global masih menyisakan ancaman besar dalam mendukung perekonomian global. Perang Ukraina dan Rusia masih terus berlangsung, dan kini muncul konflik baru antara Israel dan Palestina.
Kegagalan untuk memitigasi risiko perubahan iklim akan berdampak panjang terhadap pembangunan ekonomi global.
Ketegangan politik dan militer antara Amerika dan China ataupun China dengan Taiwan juga meninggalkan risiko geopolitik yang masih besar.
Kedua, risiko perubahan iklim masih menjadi salah satu ancaman besar, tidak hanya untuk pembangunan jangka pendek, tetapi juga untuk jangka panjang. Hal ini sejalan dengan laporan Global Risk Report 2023 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia.
Kegagalan untuk memitigasi risiko perubahan iklim akan berdampak panjang terhadap pembangunan ekonomi global. Semakin tinggi dampak dari perubahan iklim, akan semakin membebani anggaran pemerintah. Oleh sebab itu, diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat untuk mengatasinya.
Ketiga, walaupun inflasi diramalkan akan mulai melandai, belum dipastikan apakah trennya akan terus menurun atau hanya akan turun untuk sementara waktu. Kebijakan ekonomi makro ataupun moneter ke depan sangat dipengaruhi oleh kenaikan laju inflasi yang bisa muncul setiap saat.
Keempat, ancaman serangan terhadap keamanan siber masih tinggi dan sulit dikendalikan oleh siapa pun. Bukti empiris sudah memperlihatkan ribuan situs internet milik korporasi dan juga pemerintah sudah diserang para peretas dan sebagian dari mereka meminta uang tebusan sebagai tuntutan utamanya.
Serangan siber tersebut mengancam proses bisnis dan mekanisme kerja di era modern yang sangat bergantung pada teknologi digital sekarang ini. Gangguan terhadap proses produksi di sektor korporasi dan layanan pemerintah yang berbasis digital akan mengganggu output barang dan jasa maupun kecepatan layanan pemerintah.
Baca juga : Potensi Investasi Infrastruktur Hijau Indonesia Capai Rp 9.500 Triliun
Agus SugiartoKepala OJK Institute