Kala Kaum Muda Mempertanyakan Komitmen Iklim Capres 2024
Visi dan misi capres terkait penanganan krisis iklim tidak cukup. Publik perlu melihat rekam jejak, pendanaan kampanye, dan pendukung capres.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Di tengah hiruk-pikuk isu politik dinasti di pemilihan presiden di Indonesia, komunitas anak muda menggelar aksi Power Up di 20 kota di Indonesia. Aksi Power Up merupakan aksi global yang mendesak para pengambil kebijakan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil, penyebab krisis iklim.
Di Kota Jakarta, aksi Power Up dipusatkan di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat pada awal November 2023. Komunitas anak muda melakukan aksi teatrikal untuk mendesak para capres mendeklarasikan komitmen yang lebih kuat untuk mengatasi krisis iklim dan transisi energi. Pertanyaannya, apakah ketiga capres di Pilpres 2024 tidak memiliki komitmen terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi?
Untuk menjawabnya, kita harus melihat visi dan misi tiap-tiap capres. Semua pasangan capres sebenarnya sudah memasukkan isu krisis iklim dalam visi dan misinya. Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, misalnya, memiliki visi untuk meningkatkan komposisi energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional hingga mencapai 25 persen hingga 30 persen pada 2029.
Sementara itu, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memiliki visi akan merancang skema insentif dan prioritas EBT bersumber dari panas bumi, tenaga air, energi laut, surya, bayu, dan biomassa dalam rangka memenuhi komitmen Net Zero Emission 2060.
Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga tidak ketinggalan memasukkan isu krisis iklim dalam visi dan misinya. Pasangan ini memiliki visi akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dalam bidang EBT dan energi berbasis bahan baku nabati.
Jika semua capres sudah memasukkan isu krisis iklim dan transisi energi, lantas apa yang salah sehingga kaum muda melalui gerakan Power Up masih mendesak mereka untuk lebih serius berkomitmen terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi?
Setengah hati
Ada sebuah ungkapan the devils are in the details. Ungkapan itu menggambarkan bahwa sering kali persoalan dari sebuah pernyataan justru berada di detailnya. Detail dari komitmen iklim capres bisa menjadi sesuatu sangat penting karena bisa saja justru terdapat kontradiksi dari komitmen iklim yang dinyatakan sebelumnya.
Visi dan misi semua capres, misalnya, menyebutkan bahwa salah satu upaya transisi energi adalah dengan mengembangkan EBT. Padahal, yang disebut energi baru itu belum tentu terbarukan. Bahkan di dalam perdebatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan, para politisi memasukkan produk turunan batubara, seperti gasifikasi batubara dan batubara tercairkan sebagai bagian dari energi baru.
Memasukkan produk turunan batubara dalam kategori energi baru dan menyatukannya satu paket dengan energi terbarukan dalam istilah EBT dan memasukkannya dalam bagian dari transisi energi jelas menyesatkan publik. Transisi energi adalah perpindahan penggunaan dari energi tak terbarukan ke terbarukan. Menggunakan produk turunan batubara sama saja dengan mempertahankan ketergantungan terhadap energi tak terbarukan dan merusak alam. Dalam konteks EBT inilah dapat dikatakan komitmen semua capres di 2024 terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi masih setengah hati.
Detail dari komitmen iklim capres bisa menjadi sesuatu sangat penting karena bisa saja justru terdapat kontradiksi dari komitmen iklim yang dinyatakan sebelumnya.
Pasangan Anies-Muhaimin juga akan mendorong penggunaan energi berbasiskan biomassa. Padahal, penggunaan biomassa untuk co-firing PLTU memicu terjadinya penggundulan hutan. Karbon dioksida (CO2) akibat penggundulan hutan tidak bisa serta-merta bisa diserap pohon. Co-firing di PLTU adalah substitusi batubara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti pellet kayu, sampah, cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji). Pasangan Anies-Muhaimin perlu menjelaskan secara lebih detail apa yang dimaksud dengan energi berbasiskan biomassa.
Selanjutnya pasangan Prabowo-Gibran akan mengembangkan energi terbarukan berbasis nabati. Energi berbasis nabati berpotensi mempercepat alih fungsi lahan dari hutan ke kebun tanaman energi. Jika ini yang terjadi, sekadar mengalihkan beban emisi gas rumah kaca dari sektor energi ke kehutanan.
Lantas, seandainya para capres lebih mendetailkan komitmen iklimnya dalam visi dan misinya, apakah dengan sendirinya mereka dapat dikatakan memiliki komitmen yang kuat terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi?
Rekam jejak
Jawabnya singkat, belum tentu. Melihat visi dan misi capres terkait penanganan krisis iklim memang perlu, tetapi itu saja tidaklah cukup. Publik juga perlu melihat rekam jejak, pendanaan kampanye, dan juga para pendukung tiap-tiap capres.
Pilpres langsung memerlukan biaya kampanye yang sangat besar. Pembiayaan dana kampanye yang besar ini memunculkan peluang masuknya pendanaan dari individu atau perusahaan yang terkait dengan industri fosil (minyak, gas, dan batubara). Mungkin ungkapan, ”tidak ada makan siang gratis” perlu menjadi pijakan untuk melihat pendanaan kampanye capres. Apabila pendanaan capres didominasi dari individu atau perusahaan yang terkait dengan energi fosil, sangat sulit mengharapkan apabila capres itu kemudian menang dalam pilpres bisa menjalankan transisi energi ke energi terbarukan secara konsisten.
Selain pendanaan, publik juga harus melihat orang-orang pendukung utama dari tiap-tiap pasangan capres. Seperti halnya dalam pendanaan, apabila pendukung utama yang ada di lingkaran capres adalah individu atau industri yang terkait dengan energi kotor fosil, sulit mengharapkan akan ada transisi energi yang adil ke depan. Kenapa demikian?
Hal itu disebabkan kebijakan transisi energi yang adil memerlukan keberpihakan yang jelas dan tegas terhadap energi terbarukan. Keberpihakan itu diwujudkan dalam kebijakan insentif terhadap pengembangan energi terbarukan dan disinsentif terhadap energi kotor berbasiskan fosil. Tanpa keberpihakan yang jelas dan tegas itu, transisi energi hanya akan menghiasi lembar visi dan misi capres.
Dari uraian di atas, tampaknya komitmen capres masih sangat bisa dipertanyakan. Dalam konteks inilah, tak heran kaum muda masih mempersoalkan komitmen para capres itu melalui gerakan Power Up.
Firdaus Cahyadi, Konsultan Komunikasi 350.org Indonesia