Dunia perlu menghukum industri yang melakukan praktik tak etis, seperti eksploitasi buruh, mempekerjakan anak, dan merusak lingkungan, dengan tak membeli produk mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Aksi unjuk rasa buruh garmen di Bangladesh yang berakhir rusuh dan menewaskan dua pekerja wanita membuka mata dunia soal masih maraknya praktik eksploitasi buruh.
Ini bukan kejadian pertama. Hampir tiap tahun aksi unjuk rasa dengan tuntutan sama terjadi. Selain upah, buruh meminta perbaikan iklim kerja di industri yang identik dengan jam kerja sangat panjang dan lingkungan kerja buruk itu.
Kondisi memprihatinkan ini tak berubah, bahkan setelah adanya Rana Accord yang disepakati menyusul tragedi ambruknya bangunan pabrik garmen, Rana Plaza, pada 2013 yang menewaskan 1.100 buruh dan melukai 2.500 lainnya.
Minimnya kesejahteraan dan perlindungan buruh bukan fenomena Bangladesh saja, melainkan juga negara basis industri garmen lain, terutama Asia Selatan dan Tenggara. Dunia tutup mata karena banyak pihak diuntungkan. Pada 2022, industri mode global mempekerjakan sekitar 75 juta buruh di seluruh dunia, tetapi tak sampai 2 persen menikmati upah layak.
Dari semua negara itu, upah Bangladesh memang terendah dan paling tak manusiawi, terutama dikaitkan dengan inflasi yang tinggi. Di satu sisi, upah buruh murah membuat Bangladesh jadi pilihan pabrikan garmen dunia untuk relokasi. Hampir semua merek besar menjadikan Bangladesh basis produksi penting untuk memasok gerai mereka di seluruh dunia.
Namun, untuk tetap mempertahankan posisi itu, mereka harus melanggengkan praktik eksploitasi buruh. Dengan menyerap 4,1 juta tenaga kerja, garmen menjadi industri terpenting yang menyumbang 83 persen ekspor Bangladesh dengan nilai ekspor 45 miliar dollar AS pada 2022.
Ini menjadikan Bangladesh pemain besar global, kedua terbesar setelah China. Bedanya, China yang sama-sama berangkat dari upah buruh murah untuk membangun daya saing sudah jauh meninggalkan citra buruh murah, sejalan dengan peningkatan kemampuan industri dan penguasaan teknologi.
Karena 85 persen buruh garmen Bangladesh perempuan, yang terjadi kemudian adalah feminisasi kemiskinan.
Sudah lama kritik dilontarkan pada praktik perburuhan tak etis yang diterapkan perusahaan garmen global dan pemilik jenama ternama yang mengelola industri fast-fashion. Mereka diuntungkan oleh perubahan cepat tren mode global yang sifatnya konsumsi massal (mass consumption).
Untuk bisa menyediakan garmen dalam jumlah besar dengan biaya produksi rendah, praktik perburuhan ala perbudakan dilanggengkan. Untuk menghindari sorotan dan kritik, mereka memilih negara yang regulasi dan komitmen perlindungan terhadap buruhnya lemah.
Praktik perbudakan di industri sweatshop ini hanya bisa diakhiri jika ada komitmen dari semua pihak. Perusahaan global harus dipaksa bertanggung jawab terhadap setiap tahapan dalam rantai pasok produksi mereka, termasuk menjamin upah buruh yang layak dan lingkungan kerja yang aman.
Dunia perlu menghukum industri yang melakukan praktik tak etis, seperti eksploitasi buruh, mempekerjakan anak, dan merusak lingkungan, dengan tak membeli produk mereka.