Ketiga pasangan bakal capres-cawapres yang diusung koalisi partai politik sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), tinggal menunggu pengesahan. Figur-figur pasangan itu semua berasal dari Pulau Jawa.
Hal tersebut menjadi pertimbangan koalisi parpol pendukung capres-cawapres. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024, dari total pemilih sebanyak lebih dari 204 juta, sekitar 56 persen tercatat di enam provinsi di Pulau Jawa. Perebutan suara di Jawa diprediksi bakal sengit dan ketat (Kompas, 19/10/2023).
Di edisi yang sama, Kompas mengutip Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting, bahwa Pilpres 2024 memperlihatkan kecenderungan berbeda. Dalam pilpres sebelumnya, parpol mengombinasikan kandidat Jawa dan luar Jawa sebagai capres-cawapres. Kini yang diutamakan adalah bagaimana memenangi kontestasi. Sehingga, perspektif representasi tidak digunakan.
Itulah implikasi realitas besarnya suara pemilih di Pulau Jawa. Artinya, pemilih perlu dibujuk dan diyakinkan dengan menampilkan figur-figur asal Jawa, yang memiliki karakter kepemimpinan tersendiri. Ketika perspektif representasi tidak diutamakan, tentu ada implikasi tersendiri.
Kini yang diutamakan adalah bagaimana memenangi kontestasi. Sehingga, perspektif representasi tidak digunakan.
Semenjak awal, Nusantara ini majemuk dari berbagai dimensi. Karakteristik itu dengan cerdas dan bijak diolah para perintis dan pendiri negeri yang juga majemuk.
Mereka membangkitkan kesadaran bahwa kita harus memiliki ”kapal” untuk mengarungi ”samudra bebas”. Semua berperan merancang ”kapal” tersebut. Lalu, mereka mengajak anak bangsa dari berbagai penjuru bergotong royong mengerahkan segala sumber daya mewujudkan ”kapal” itu.
”Kapal” akhirnya berhasil diluncurkan. Dari semula, dengan berani dan ikhlas mayoritas ikut ”berlayar” dengan ”kapal” yang minim kondisinya, mengarungi ”lautan luas yang diamuk prahara dan dihadang perompak”. Pengorbanan mereka sangat besar. Mereka semua anak bangsa pemilik ”kapal” ini, dan bukan sekadar ”penumpang”.
Memang terdengar ”didramatisasi”. Namun, saya percaya hal itu sudah dipikirkan masak-masak oleh semua capres-cawapres. Karena, merekalah yang akan menjadi ”nakhoda kapal besar” bernama Republik Indonesia ini. ”Kapal” yang akan terus mengarungi ”samudra” yang bisa diterpa badai dan gangguan, untuk mencapai tujuan yang diamanatkan para pendiri Republik. Insya Allah.
Eduard Lukman, Jalan Warga, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta