Visi Pemberantasan Kemiskinan
Tanpa didukung visi yang benar, jangan kaget jika program penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan hanya gincu pemanis.
Selain komitmen mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, salah satu program kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang perlu dicermati adalah apa strategi yang mereka tawarkan untuk menurunkan angka kemiskinan.
Lebih dari sekadar janji menurunkan angka kemiskinan yang ambisius, yang lebih penting adalah strategi apa yang ditawarkan para kandidat untuk memastikan upaya penanganan kemiskinan benar-benar berjalan seperti yang direncanakan.
Di Indonesia, jumlah penduduk miskin per Maret 2023 tercatat masih 25,9 juta orang. Angka ini turun 0,26 juta dibandingkan kondisi Maret 2022 yang tercatat 26,16 juta orang.
Dibandingkan kondisi Maret 2022 di mana angka kemiskinan masih 9,54 persen, per Maret 2023 angka kemiskinan turun menjadi 9,36 persen. Dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19, angka kemiskinan saat ini masih lebih tinggi. Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Indonesia 24,78 juta atau 9,22 persen dari total penduduk.
Mematok target tinggi menurunkan angka kemiskinan memang terkesan memperlihatkan keseriusan dan komitmen calon pemimpin republik ini untuk menyejahterakan warganya. Namun, target berapa pun yang dipatok sesungguhnya harus dikaji apakah realistis untuk diwujudkan.
Adakah program terobosan yang ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi persoalan kemiskinan? Seberapa jauh upaya penanganan kemiskinan ditempatkan satu paket dengan upaya mengurangi ketimpangan antarkelas dan antarwilayah yang masih sangat terpolarisasi?
Di Indonesia, diakui atau tidak, akar masalah kemiskinan sangat kompleks.
Realisasi
Dalam rangka kampanye untuk menarik simpati para konstituen, memasang target yang ambisius untuk menurunkan angka kemiskinan sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, persoalannya kemudian bagaimana strategi yang hendak dikembangkan untuk mewujudkan janji politik para kandidat.
Di Indonesia, diakui atau tidak, akar masalah kemiskinan sangat kompleks. Setiap masalah perlu diurai satu per satu agar upaya menurunkan angka kemiskinan dapat direalisasi.
Jika melihat dokumen visi- misi capres dan cawapres, bisa dilihat semua calon mematok target penurunan angka kemiskinan yang menjanjikan.
Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, menjanjikan akan menekan angka kemiskinan menjadi 4-5 persen pada 2029 dari kondisi saat ini sebesar 9,36 persen dan menjanjikan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen di tahun 2026.
Pasangan Prabowo Subianto -Gibran Rakabuming Raka, meski menjanjikan akan menghapus kemiskinan ekstrem di tahun kedua masa jabatannya jika terpilih nanti, mematok target kemiskinan di bawah 6 persen di tahun 2029.
Untuk pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, target yang dipatok sangat ambisius, yakni menurunkan angka kemiskinan menjadi 2,5 persen pada 2029 dan kemiskinan ekstrem nol persen di tahun kedua kepemimpinannya nanti.
Sejauh mana para kandidat akan dapat mewujudkan janjinya menurunkan angka kemiskinan, tentu masih diuji oleh waktu. Namun, yang jelas, untuk merealisasikan janji kampanye, yang dibutuhkan adalah program yang benar-benar efektif dan kontekstual.
Program pemberdayaan
Untuk itu, dibutuhkan strategi dan program terobosan yang membumi. Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa menurunkan angka kemiskinan sering kali menemui berbagai kendala, mulai dari data kemiskinan yang masih simpang-siur, hingga bias-bias yang muncul selama proses pengguliran dan pemilihan kelompok sasaran.
Pertama, untuk memastikan efektivitas program penurunan angka kemiskinan, tidaklah sekadar bergantung pada besaran alokasi dana yang dikucurkan, melainkan lebih ditentukan oleh substansi program yang dilaksanakan apakah benar-benar berorientasi pada pemberdayaan atau tidak.
Menilik program yang ditawarkan para kandidat, masih terlihat program utama yang diandalkan adalah program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya populis-karitatif.
Berbagai program itu adalah pemberian bantuan sosial, bantuan langsung tunai (BLT), dan upaya memperluas kelompok penerima manfaat program Keluarga Harapan (PKH) dari 10 juta menjadi 15 juta, program Dana Desa, subsidi pupuk, kartu bantuan pangan nontunai, dan program pembangunan ekosistem food bank untuk jembatan redistribusi antara pihak yang surplus makanan dan pihak yang membutuhkan.
Semua itu adalah program subsidi untuk membantu memperpanjang daya tahan atau napas keluarga miskin.
Untuk jangka pendek, program-program yang sifatnya amal-karitatif seperti di atas memang akan fungsional untuk mengurangi tekanan kebutuhan hidup. Program subsidi dan program pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin niscaya akan membuat keluarga-keluarga miskin menjadi berkurang bebannya.
Meski demikian, untuk memastikan apakah setelah mendapatkan bantuan keluarga miskin itu dapat lebih berdaya dan naik kelas, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Apalah artinya memberi bantuan subsidi pupuk atau memberikan modal usaha kepada petani miskin jika kenaikan produktivitas gabah mereka tidak paralel dengan kenaikan harga beras yang dijual para tengkulak?
Substansi program penanggulangan kemiskinan yang berorientasi pada pemberdayaan harus memutus mata rantai ketergantungan dan menghargai apa yang menjadi bagian atau hak masyarakat miskin dalam pembagian margin keuntungan yang proporsional dan adil.
Apalah artinya memberi bantuan subsidi pupuk atau memberikan modal usaha kepada petani miskin jika kenaikan produktivitas gabah mereka tidak paralel dengan kenaikan harga beras yang dijual para tengkulak? Seberapa pun banyak produksi gabah petani dihela meningkat, tetapi jika harga jual gabah tetap rendah, sedangkan harga jual gabah yang di-selep tengkulak menjadi beras naik membubung tinggi, maka petani tidak akan pernah meningkat kesejahteraannya.
Kedua, berkaitan dengan kontinuitas kemanfaatan dari program bantuan sosial yang digulirkan. Alih-alih memperpanjang daya tahan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup, program bantuan sosial yang digulirkan telah banyak terbukti justru memudarkan mekanisme keluarga miskin untuk menolong dirinya sendiri (self-help mechanism).
Ketika keluarga miskin terus-menerus mendapatkan BLT dan berbagai bantuan subsidi lain alih-alih menjadi modal yang bisa dimanfaatkan untuk keluar dari tekanan kemiskinan yang dialami, justru yang terjadi adalah munculnya ketergantungan yang makin kuat untuk terus mendapatkan uluran bantuan dari pemerintah atau donor yang lain.
Menjanjikan dana abadi untuk membiayai berbagai program perlindungan sosial bukan tidak mungkin hasilnya justru kontra-produktif. Demikian pula program subsidi untuk transportasi publik bagi masyarakat miskin, bukan tidak mungkin akan salah sasaran dan membuat mereka kehilangan kemandiriannya.
Untuk memastikan kontinuitas manfaat program, yang perlu dilakukan adalah mengenali apa sebetulnya akar masalah yang dihadapi keluarga miskin dan bagaimana memastikan mereka mendapatkan haknya sebagai warga negara secara adil. Melindungi masyarakat miskin bukan dalam arti memberikan santunan dan subsidi.
Ilustrasi
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana melindungi mereka ketika apa yang menjadi hak mereka dirampas kelas sosial-ekonomi atau pihak yang berkuasa. Bagaimana negara harus hadir ketika masyarakat miskin menjadi korban kesewenang-wenangan pembangunan dan industrialisasi adalah hal yang lebih substansial dilakukan daripada memberikan bantuan yang sifatnya sesaat bagi kelangsungan hidup masyarakat miskin.
Logika produksi
Memahami apa yang menjadi akar masalah kemiskinan mau tidak mau harus ditempatkan dalam konteks ketimpangan yang hingga ini justru di Indonesia semakin melebar. Menangani kemiskinan tidak mungkin berjalan berkelanjutan jika tidak dilakukan paralel dengan upaya penanganan kesenjangan sosial.
Kesalahan yang sering terjadi, ketika kemiskinan ditangani tersendiri/terpisah dari isu ketimpangan, maka yang terjadi adalah kemanfaatan program yang lebih banyak menyubsidi dan dinikmati kelas di atasnya daripada dinikmati masyarakat miskin.
Program pemberian bantuan yang diasumsikan dapat membantu pengembangan usaha masyarakat miskin sering kemudian terjebak pada logika produksi. Artinya, berbagai program yang digulirkan lebih dimaksudkan untuk mendorong agar keluarga miskin naik kelas melalui peningkatan kapasitas produksi, tetapi tidak mengkaji lebih jauh siapa yang lebih menikmati kenaikan kapasitas produksi itu dalam situasi pasar yang kian kompetitif.
Pengalaman telah banyak memperlihatkan, ketika produksi komoditas yang dihasilkan masyarakat miskin meningkat, ternyata margin keuntungan terbesar bukan dinikmati masyarakat miskin.
Pihak yang menikmati kenaikan produksi gabah, kenaikan produksi produk UMKM, kenaikan jumlah hewan ternak, dan kenaikan produksi berbagai komoditas yang dihasilkan masyarakat miskin justru adalah kelas sosial di atasnya yang memiliki akses pada pasar.
Memahami apa yang menjadi akar masalah kemiskinan mau tidak mau harus ditempatkan dalam konteks ketimpangan yang hingga ini justru di Indonesia semakin melebar.
Sering kali yang harus ditanggung masyarakat miskin adalah kenaikan risiko ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saat cuaca sedang tidak bersahabat, misalnya, banyak petani yang terpaksa harus menanggung kerugian karena gagal panen.
Demikian pula ketika terjadi kenaikan harga bahan baku bagi produk UMKM, para pelaku UMKM yang terpaksa harus memperkecil margin keuntungannya agar produk yang mereka hasilkan dapat laku di pasaran. Sementara itu, untuk para tengkulak, pedagang perantara dan perusahaan yang dipasok bahan bakunya oleh masyarakat miskin, mereka tetap memperoleh keuntungan yang terbesar karena memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Janji politik
Untuk memastikan agar visi kemiskinan para capres dan cawapres benar-benar implementatif yang dibutuhkan adalah program yang inovatif yang sekaligus bertumpu pada karakteristik masyarakat miskin sebagai subyek pembangunan.
Visi pemberantasan kemiskinan dari para kandidat tak pelak masih harus diuji dan dielaborasi lebih lanjut agar tak sekadar jadi janji politik yang manis didengar, tetapi tak efektif dalam praktik di lapangan.
Menurunkan angka kemiskinan terkesan seperti bukan hal sulit. Meski demikian, menjamin agar turunnya angka kemiskinan tidak hanya terjadi saat bantuan diguyurkan, tetapi juga dapat berkelanjutan, kuncinya adalah ketajaman visi capres dan cawapres dalam memahami akar masalah kemiskinan.
Tanpa didukung visi yang benar, jangan kaget jika program penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan hanya menjadi gincu pemanis untuk menggaet simpati konstituen, dan bukan solusi yang sesungguhnya.
Baca juga : Strategi Capres-Cawapres Tekan Angka Kemiskinan Belum Realistis
Bagong SuyantoDosen Kemiskinan dan Kesenjangan FISIP Universitas Airlangga
Bagong Suyanto