Dunia Terperangkap Suku Bunga Tinggi
Era suku bunga tinggi adalah given, tak perlu khawatir berlebihan kalau suku bunga tinggi akan mewarnai perekonomian.
Pandemi Covid-19 memaksa banyak negara mengambil kebijakan isolasi ketat (”lockdown”) dengan tujuan membatasi pergerakan arus manusia dan barang/jasa. Kebijakan ini terbukti berhasil meredam dan mengendalikan penyebaran Covid-19 secara signifikan. Namun, di sisi lain, menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang supermahal.
Dunia mengalami gangguan produksi/suplai, disrupsi rantai pasok, dan gangguan distribusi barang/jasa yang sangat parah dan masif. Perekonomian global akhirnya jatuh dalam resesi ekonomi tahun 2020 akibat pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi global tercatat minus 2,8 persen tahun 2020, dari positif 2,8 persen pada tahun sebelumnya.
Antibiotik suku bunga dosis tinggi
Untungnya resesi atau kontraksi ekonomi hanya setahun saja. Dunia cepat bangkit dari keterpurukannya, perekonomian global bangkit tahun 2021, tumbuh signifikan sebesar 6,3 persen.
Namun, sayangnya, ketika perekonomian dunia pulih tahun 2021 dan berlanjut tahun 2022, timbul masalah baru yang tak terduga dan di luar prediksi kita semua serta memunculkan dilema dalam mitigasinya. Inflasi merangkak naik signifikan, cenderung tidak terkendali dan liar karena disrupsi rantai pasok, gangguan produksi/suplai, gangguan distribusi barang dan jasa ternyata tak kunjung sembuh sampai tahun 2022.
Sektor produksi lambat start dan tidak bisa mengejar naiknya permintaan setelah produksinya mandek/berhenti karena pandemi Covid-19.
Pada awalnya, kenaikan inflasi tahun 2021 dianggap wajar dan normal, seiring dengan pemulihan ekonomi, karena kenaikan permintaan barang dan jasa. Pemerintah dan regulator dunia, khususnya bank sentral, menganggap dan meyakini tren kenaikan inflasi hanya bersifat sementara dan akan kembali normal dengan sendirinya. Produksi atau suplai akan sesegera mungkin menyesuaikan diri dengan naiknya permintaan karena pemulihan ekonomi.
Dalam empat dekade terakhir, inflasi AS dan Eropa memecahkan rekor tertinggi, masing-masing 9,1 persen (Juni 2022) dan 10,6 persen (Oktober 2022).
Faktanya, keyakinan ini salah besar. Tengoklah Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Tren inflasi naik terus-menerus dan bersifat permanen. Kondisi ini semakin kompleks dan bencana perekonomian semakin nyata karena meletusnya perang Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022, yang kita tidak pernah tahu kapan berakhir.
Gangguan suplai dan produksi semakin menjadi-jadi dan meluas, krisis energi dan pangan semakin nyata, menyebabkan kenaikan inflasi semakin tidak tertahankan. Dalam empat dekade terakhir, inflasi AS dan Eropa memecahkan rekor tertinggi, masing-masing 9,1 persen (Juni 2022) dan 10,6 persen (Oktober 2022).
Kondisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan tentu saja tidak terantisipasi dengan baik. Oleh karena itu, banyak yang beranggapan bahwa bank sentral di dunia terlambat dalam merespons kebijakan moneternya (behind the curve) melalui kenaikan suku bunga acuannya, khususnya bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
Inflasi supertinggi dan tak terkendali, serta sulit dijinakkan, pada akhirnya terpaksa direspons dengan jamu pahit kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan signifikan serta tidak gradual oleh sebagian besar bank sentral di dunia. Dengan kata lain, untuk meredam liarnya inflasi, harus diberikan antibiotik suku bunga dengan kadar yang sangat tinggi karena demam perekonomiannya sudah pada level abnormal.
AS sebagai kiblat perekonomian terbesar, terutama pasar finansialnya, menjadi pelopor utama kenaikan suku bunga di dunia. Bank sentral AS terpaksa harus menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) sebesar 5,25 persen hanya dalam kurun waktu yang pendek, yaitu 17 bulan (satu tahun lima bulan).
-
Kenaikan suku bunga dimulai Maret 2022 sampai Juli 2023, dari 0,25 persen (hampir mendekati titik terendah) menjadi 5,50 persen. Suku bunga ini kemungkinan akan bertahan sampai akhir tahun ini. Ini rekor kenaikan suku bunga tertinggi dalam 40 tahun terakhir perekonomian AS.
Kenaikan FFR yang superagresif ini terpaksa diikuti oleh bank sentral Eropa serta bank-bank sentral negara maju lain dan sebagian besar negara berkembang. Selain karena tekanan inflasi yang naik signifikan seperti halnya di AS, kenaikan suku bunga tersebut juga dimaksudkan untuk mengimbangi kenaikan FFR.
Hal ini menyebabkan dollar AS menguat terhadap hampir semua mata uang di dunia. Untuk meredam menguatnya dollar AS, negara lain (khususnya negara berkembang) terpaksa mengikuti kenaikan FFR agar mata uangnya tidak terpuruk atau hanya melemah terbatas.
Dampak pada pertumbuhan dan rupiah
Antibiotik suku bunga dengan dosis tinggi memang berhasil mematahkan tren kenaikan inflasi. Inflasi turun, tapi masih tetap di atas level normalnya (level sebelum pandemi tahun 2019).
Namun, sebetulnya menaikkan suku bunga acuan karena gangguan suplai tidaklah tepat. Secara teori, kenaikan suku bunga acuan biasanya untuk meredam kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor tingginya permintaan.
Resep obat yang salah ini pada akhirnya memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi global mengalami perlambatan tahun 2022, yakni sebesar 3,5 persen, dari 6,3 persen tahun 2021.
Dengan masih tingginya suku bunga acuan di sejumlah negara dan tidak adanya sinyal turun pada tahun ini, maka perlambatan ekonomi dunia terus berlanjut sampai 2023, bahkan 2024.
Untuk meredam menguatnya dollar AS, negara lain (khususnya negara berkembang) terpaksa mengikuti kenaikan FFR agar mata uangnya tidak terpuruk atau hanya melemah terbatas.
Situasi tidak mudah kita hadapi tahun 2023 ini. Inflasi masih tinggi dari kondisi normalnya, disertai era suku bunga tinggi, dan kondisi geopolitik yang masih penuh dengan ketidakpastian.
Menarik disimak: bagaimana dampaknya pada Indonesia. Bagaimana Bank Indonesia (BI) merespons kondisi ini dalam kebijakan moneternya? Bagaimana BI merespons kenaikan suku bunga yang agresif dari bank sentral AS?
Harus diakui, apa yang dilakukan oleh BI selama dua tahun terakhir ini sejak tahun 2021 sangat berbeda dengan periode sebelumnya. BI tampak sangat percaya diri dalam menjaga stabilitas rupiah. BI cenderung tak reaktif dan tenang (calm) ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga acuannya.
Hal ini bisa dibuktikan dari kenaikan FFR yang signifikan sebesar 5,25 persen sejak Maret 2022 sampai Juli 2023, yang ternyata hanya direspons oleh BI dengan menaikkan suku bunga acuannya—BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR)—sebesar 2,25 persen. Ini artinya jauh lebih rendah dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS.
Lebih menarik lagi adalah, pada periode Februari-Juli 2022, FFR naik sebesar 2,25 persen, dari 0,25 persen ke 2,50 persen. BI tidak menaikkan suku bunga acuannya dan tetap mempertahankannya di level 3,50 persen.
Ini artinya rekor dalam perekonomian Indonesia, karena selisih BI7DRR dan FFR sudah semakin tipis, yaitu 1 persen. Kemudian rekor berlanjut lagi dengan selisih yang semakin tipis, yaitu 0,25 persen pada September 2023.
Mengapa dengan spread antara BI7DRR dan FFR yang begitu tipis, nilai tukar rupiah terlihat robust dan baik-baik saja, hanya melemah secara terbatas dan relatif stabil?
Faktor pendukungnya adalah: (1) surplus neraca perdagangan yang mumpuni dan besar karena tingginya harga komoditas, dan (2) imbal hasil obligasi riil Indonesia jauh lebih menarik dibandingkan dengan sesama negara berkembang (peers).
Lebih lanjut, mengapa pada akhirnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus mengalami depresiasi dan bahkan cenderung melemah cukup dalam sampai 3,3 persen, dalam waktu hanya satu setengah bulan (dari Rp 15.230/dollar AS per 31 Agustus 2023 terdepresiasi menjadi Rp 15.730/dollar AS per 18 Oktober 2023). Dengan adanya tekanan yang cukup besar terhadap rupiah, akhirnya BI memutuskan menaikkan BI7DRR sebesar 0,25 persen, dari 5,75 persen menjadi 6,00 persen pada 19 Oktober 2023.
BI harus menaikkan suku bunga acuannya karena kondisi sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan periode 2021-2022, ketika neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus yang besar. Pada 2022, surplus neraca transaksi berjalan 12,7 miliar dollar AS.
Ini artinya sektor riil memiliki surplus dollar AS sebesar 12,7 miliar dollar AS, angka yang fantastis untuk menjaga stabilitas rupiah. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2023. Pada semester I-2023, surplus neraca transaksi berjalan jauh menurun, hanya 1,0 miliar dollar AS.
Jadi, bisa kita bayangkan, betapa dahsyatnya tekanan terhadap rupiah akhir-akhir ini. Akibatnya, suka atau tidak suka, BI harus menaikkan suku bunga acuan untuk mengatasi tekanan terhadap rupiah dan menstabilkannya.
Model ekonometrika yang dibangun oleh Tim Ekonom BRI dengan metode robust OLS menunjukkan nilai tukar rupiah dipengaruhi secara signifikan secara statistik oleh: (1) indeks dollar AS, (2) situasi geopolitik, (3) selisih suku bunga (BI7DRR-FFR), dan (4) kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia.
Dari persamaan ini, sangat jelas terlihat selisih suku bunga acuan antara BI dan bank sentral AS dan neraca transaksi berjalan menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas rupiah.
Dengan kata lain, ketika rupiah mengalami tekanan dan neraca transaksi berjalan dalam performa yang buruk, obatnya adalah menaikkan suku bunga acuan BI dan memperbesar gapnya terhadap FFR.
Dengan kata lain, ketika rupiah mengalami tekanan dan neraca transaksi berjalan dalam performa yang buruk, obatnya adalah menaikkan suku bunga acuan BI dan memperbesar gapnya terhadap FFR. Lebih lanjut, dari simulasi yang kami lakukan, jika rupiah ingin ditekan hingga di bawah level Rp 15.000/dollar AS, diperlukan gap suku bunga BI7DRR terhadap FFR sebesar 1,56-2,90 persen.
Oleh karena itu, dengan stance dari bank sentral AS yang cenderung higher for longer (suku bunga tinggi dalam waktu lama), secara implisit kita bisa mengatakan dunia akan terperangkap suku bunga tinggi dalam waktu yang lama, dan mungkin baru mulai normal tahun 2025 atau 2026.
Tak perlu khawatir
Bagaimana Indonesia menyikapinya?
Era suku bunga tinggi adalah given sehingga kita tak perlu khawatir secara berlebihan kalau benar suku bunga tinggi juga akan mewarnai perekonomian Indonesia. Hal yang terpenting bagi Indonesia adalah likuiditas dalam perekonomian dan perbankan cukup serta daya beli masyarakat Indonesia tetap terjaga, terutama masyarakat menengah bawah.
Akankah pertumbuhan kredit terganggu di era suku bunga tinggi? Jawabannya adalah tidak. Model ekonometrika kami menunjukkan bahwa faktor utama yang memengaruhi pertumbuhan kredit adalah likuiditas perekonomian dan daya beli masyarakat.
Sementara suku bunga kredit lebih kecil pengaruhnya, dan bukan faktor utama yang memengaruhi kredit perbankan. Buktinya adalah pada Mei 2012, saat itu rata-rata suku bunga kredit tertinggi adalah 12,4 persen, tetapi pertumbuhan kredit bisa mencapai rekor tertinggi sebesar 26,3 persen.
Oleh karena itu, Indonesia akan baik-baik saja, bahkan jika akhirnya kita juga terperangkap pada suku bunga tinggi. Kita hanya perlu fokus pada penguatan permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan pemenuhan likuiditas perekonomian, untuk menggerakkan perekonomian nasional.
Baca juga : Pelemahan Konsumsi dan Kenaikan Suku Bunga Hambat Ekonomi
Anton Hendranata Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Direktur Utama BRI Research Institute