Bangkai Kapal Perang Asing di Indonesia Tidak Memiliki Kekebalan Berdaulat
Doktrin kekebalan berdaulat atau ”sovereign immunity” yang dilekatkan pada bangkai kapal negara hingga kini masih terus menjadi perdebatan dan menimbulkan persoalan.
Kontroversi doktrin atas kapal negara yang tenggelam masih terjadi hingga kini, baik yang karam di laut bebas maupun di wilayah yurisdiksi nasional sebuah negara. Doktrin kekebalan berdaulat atau ”sovereign immunity” yang dilekatkan pada bangkai kapal negara itulah yang hingga kini masih terus menjadi perdebatan dan menimbulkan persoalan.
Tidak terdapat aturan khusus terkait status kapal negara yang tenggelam, ataupun secara umum terkait hak kepemilikan atas kapal karam dan muatannya. Hal tersebut merupakan persoalan yang terabaikan oleh UNCLOS 1982.
Persoalan itu pun belum terjawab secara memuaskan oleh Konvensi Pelindungan Warisan Budaya Bawah Air (Konvensi UNESCO 2001), ataupun konvensi-konvensi lain terkait penyelamatan bangkai kapal, seperti Konvensi Penyelamatan IMO 1989 dan Konvensi Nairobi 2007.
Kasus Nuestra Señora de las Mercedes, kapal frigate Spanyol yang ditembak oleh armada Inggris, menjadi contoh rumitnya persoalan akibat tidak adanya formula hukum yang pasti mengenai kepemilikan kapal karam bersejarah beserta muatannya.
Pada kasus ini, terjadi multigugatan dari beberapa negara. Perusahaan Amerika, Odyssey Marine Exploration, mengajukan klaim hak penyelamatan barang berharga. Spanyol menyatakan bahwa muatan kapal tersebut merupakan warisan nasional yang dibawa oleh kapal miliknya. Adapun Peru menggugat asal usul bahan baku koin dan artefak, yakni emas yang ditambang dari tanahnya.
Konvensi UNESCO 2001 memberikan status sovereign wreck (bangkai kapal yang memiliki hak berdaulat) pada kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang pada saat tenggelam digunakan untuk keperluan non-komersial—yang disebut sebagai kapal negara.
Pada bangkai kapal negara itu dilekatkan doktrin kekebalan berdaulat. Maknanya, kekebalan penuh dipegang oleh negara bendera atau negara tempat kapal didaftarkan.
Pada bangkai kapal negara itu dilekatkan doktrin kekebalan berdaulat.
Kekebalan berdaulat tersebut akhirnya dapat memengaruhi penerapan kebijakan pengelolaan warisan budaya bawah air, termasuk barang muatan kapal tenggelam dari kapal perang bersejarah. Menjadi persoalan krusial jika bangkai kapal itu berada di laut teritorial yang melekat kedaulatan negara pantai. Sebagaimana diketahui, UNESCO pernah menyebut ratusan kapal perang bersejarah karam di perairan Indonesia.
Atas beberapa kasus penjarahan kapal perang asing yang sempat menimbulkan kecaman, Indonesia terpaksa harus mengoreksi skema kebijakan dan politik hukumnya. Salah satunya adalah dengan memperluas cakupan daerah pelindungan budaya maritim.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 tahun 2008 menambahkan pengaturan bahwa penetapan Kawasan Konservasi Maritim (KKM) juga ditujukan bagi tempat tenggelamnya kapal yang memiliki nilai arkeologi-historis khusus. Atas dasar itulah lokasi kapal perang HMAS Perth dan USS Houston yang karam di perairan Indonesia didorong untuk menjadi KKM.
Padahal, KKM tidak secara khusus ditujukan bagi pelestarian warisan budaya, melainkan menitikberatkan pada pelindungan wilayah beserta ekosistemnya. Hal itu dilakukan melalui pola dan tata cara pengelolaan kawasan yang memiliki kualitas nilai yang beraneka ragam.
KKM berada dalam lingkup pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memenuhi kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi. Tidak hanya sebatas obyek atau tempat di mana sebuah kapal perang asing bersemayam di bawah laut.
Oleh karena itu, sesungguhnya Indonesia tidak perlu mengubah politik hukum sekadar untuk memfasilitasi keberadaan bangkai kapal perang asing di perairannya. Tidak ada dasar ataupun prinsip hukum internasional yang cukup kuat untuk menerapkan hak berdaulat pada bangkai kapal perang asing yang tenggelam di wilayah perairan kepulauan dan laut teritorial Indonesia.
Warisan budaya bawah air
Meskipun Konvensi UNESCO 2001 dianggap berdiri sebagai lex specialis untuk pelindungan warisan budaya bawah air, tetapi perlu dikaji lebih jauh apakah ketentuan-ketentuan dalam Konvensi telah selaras dengan UNCLOS 1982. Hal ini menjadi penting, terutama bagi Indonesia yang telah menerima UNCLOS 1982 sebagai kodifikasi hukum laut internasional, tetapi tidak meratifikasi Konvensi UNESCO 2001.
Pasal 29 UNCLOS 1982 memberikan batasan yang pasti tentang kapal perang yang dimaksud olehnya. Kapal tersebut harus merupakan kapal laut angkatan bersenjata serta memiliki ciri khusus kebangsaan suatu negara yang ditunjukkan atau terlihat dengan jelas.
Kapal tersebut juga harus berada di bawah komando seorang perwira militer yang ditugaskan oleh pemerintah negaranya. Selain itu, juga diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata.
Batasan-batasan tersebut memberikan pengertian bahwa kapal perang yang telah tenggelam tidak lagi menyandang hak berdaulat dari Negara bendera. Secara logis, alasannya adalah karena kapal yang tenggelam—dan telah menjadi bangkai kapal—sudah tidak mungkin beroperasi atau melakukan pelayaran. Terlebih lagi, berada di bawah komando seorang perwira dengan awak kapalnya. Secara otomatis, kapal tersebut kehilangan status sebagai kapal perang sebagaimana dimaksud oleh UNCLOS 1982.
Artinya, kapal perang yang karam, tanpa awak dan komando seorang perwira, tidak menjadi organ negara lagi. Oleh karena itu, bangkai kapal perang tersebut tidak memiliki hak berdaulat atau menyandang kekebalan berdaulat.
UNCLOS 1982 tidak dapat ditafsirkan untuk tujuan mengatur tentang kapal perang setelah tenggelam dan menjadi bangkai. Kapal perang yang dimaksud olehnya adalah kapal yang masih dapat beroperasi atau digunakan secara normal (warships in exercise).
Artinya, kapal perang yang karam, tanpa awak dan komando seorang perwira, tidak menjadi organ negara lagi.
Diksi ”sovereign immunity” hanya muncul secara jelas pada Pasal 236, dalam konteks pelindungan dan pelestarian lingkungan laut. Demikian pula halnya dengan ketentuan pada Pasal 42 Ayat (5), kapal dan pesawat negara yang dimaksud oleh pasal ini adalah kapal dan pesawat yang masih dapat beroperasi untuk melakukan lintas transit.
Selanjutnya, perkembangan perjanjian multilateral terkait kapal dan kapal tenggelam, salah satunya dapat diamati dari konvensi-konvensi yang diadopsi oleh IMO. Hal menarik dari Konvensi Nairobi 2007 adalah IMO tidak lagi menggunakan dasar imunitas atas pengaturan yang berbeda bagi kapal perang dan kapal negara lainnya itu.
Sebenarnya, doktrin kekebalan berdaulat pada Konvensi UNESCO 2001 yang diterapkan pada kapal negara didasarkan pada rasa saling menghormati antar-angkatan bersenjata dan pemerintah setiap negara berdaulat.
Kelanjutan prinsip ini atas kapal-kapal yang baru saja tenggelam dapat saja terjadi atas dasar kepentingan keamanan negara. Dalam beberapa kasus, berkenaan pula dengan penghormatan atas kesucian kuburan perang. Penerapannya akan variatif sesuai dengan kondisi politik dan wilayah laut di mana bangkai kapal tersebut berada.
Pada akhirnya, perdebatan apa pun yang muncul terkait kekebalan berdaulat, jika itu dimaksudkan sebagai kapal dalam definisi kapal karam bersejarah di wilayah kedaulatan suatu negara, berlaku kedaulatan dari negara pantai yang tidak dapat dimungkiri.
Dalam menjalankan kedaulatannya, negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengatur dan mengesahkan kegiatan yang diarahkan pada setiap kapal yang tenggelam di perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorialnya.
Baca juga: Evakuasi Bangkai Kapal di Sunda Kelapa Ditargetkan Rampung Dua Hari
Peneliti Hukum Internasional dan Kebijakan Publik, Magister Hukum Transnasional Universitas Indonesia