Pemilihan umum memilih presiden dan wakil presiden perhelatan lima tahunan. Namun, salah benar tata kelola lingkungan berdampak lintas generasi.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Ritual lima tahunan itu hadir lagi ketika isu lingkungan dan politik sejajar di panggung kampanye. Faktanya, mengelola lingkungan terkait dengan nasib bangsa.
Berbicara lingkungan hidup di Tanah Air, saatnya mengenakan kacamata pandang permasalahan, bukan lagi persoalan. Permasalahan berarti butuh solusi segera, tak lagi wacana, karena berdampak multidimensi dan lintas generasi.
Di tingkat tapak, kerusakan lingkungan jelas terlihat akibat pembangunan dan aktivitas ekonomi tak ramah lingkungan, terutama di kawasan hutan dan pertambangan. Di level global, kejadian bencana terkait cuaca dan iklim (hidrometeorologis) mendampak siapa pun dan di mana pun.
Dunia satu suara, kondisi global sedang ”tidak baik-baik saja” akibat pembangunan tidak berkelanjutan alias rakus karbon. Namun, para pemimpin dunia belum satu suara tentang pembagian tanggung jawab! Bumi taruhannya.
Kini, pembangunan dan aktivitas ekonomi tak ramah lingkungan terus mendampak banyak sektor, termasuk bisnis itu sendiri. Entitas bisnis pun turut menanggung konsekuensi, termasuk ganti rugi (Kompas, 3 November 2023).
Terkait relasi ekonomi dan lingkungan, data World Economic Forum (WEF) menyebut, cuaca ekstrem dan bencana terkait iklim menimbulkan kerugian ekonomi hampir 1,5 triliun dollar AS dalam satu dekade hingga tahun 2019 (WEF, Oktober 2023).
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diolah Center for Strategic and International Studies (CSIS), dampak kerugian bencana alam di Indonesia rata-rata Rp 1,06 triliun per tahun. Total biaya mitigasi perubahan iklim Rp 4 triliun per tahun. Produk domestik bruto (PDB) pun berisiko merosot 19 persen ketika suhu bumi naik hingga 4 derajat celsius (Kompas.id, 2 November 2023).
Jumlah itu masih jauh lebih besar. Sebab, valuasi belum menghitung dampak sosial, politik, dan hukum. Ujung-ujungnya, bila tak diatasi sistemik, upaya pemerintah mewujudkan Indonesia maju yang dicita-citakan bisa gagal.
Selain anggaran pembangunan tersedot untuk aneka subsidi dan kegiatan tak produktif, gejolak sosial akibat pembangunan tak berkelanjutan mengganggu aktivitas ekonomi.
Realitanya, Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, pembangunan nasionalnya masih bertumpu pada industri berbasis sumber daya alam. Eksploitasi SDA itu memiliki jejak karbon tinggi, di antaranya sektor pertambangan (14,07 persen) dan pertanian (9,22 persen). Mayoritas pembangkit kita masih berbasis batubara.
Terkait situasi politik jelang Pemilu 2024, membaca visi dan misi calon presiden dan wakil presiden, ketiga pasangan calon sudah memasukkan poin lingkungan. Kata kunci ketiganya adalah ”lingkungan berkelanjutan” dan ”ekonomi hijau”.
Kita tahu, politik dan lingkungan berkaitan melalui para politisi. Saatnya mencermati visi-misi dan rekam jejak para kontestan pemilu serta para pendukungnya.