Indonesia menargetkan jadi negara maju pada 2045. Namun, hingga kini, kita belum mampu membalikkan tren deindustrialisasi yang terjadi 20 tahun terakhir di manufaktur.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Secara umum, seperti dilaporkan Bank Indonesia, kinerja industri pengolahan pada triwulan III-2023 masih meningkat dan berada pada fase ekspansi. Ini tecermin dari Prompt Manufacturing Index BI yang di atas 50 persen, naik dari triwulan sebelumnya. Demikian pula, tahun lalu ekspor terus meningkat, pernah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, yakni 27,91 miliar dollar AS pada Agustus 2023.
Namun, semua itu tidak mewakili gambaran utuh industri manufaktur kita. Lonjakan ekspor tersebut lebih dipicu kenaikan harga komoditas, seperti minyak mentah, CPO, karet, timah, tembaga, dan batubara, sejalan dengan melonjaknya harga-harga di pasar dunia karena disrupsi rantai pasok global akibat perang Rusia-Ukraina dan Covid-19.
Setelah itu, ekspor kembali melandai dan relatif stagnan, sejalan dengan mulai meredanya tekanan harga di tingkat global. Faktanya, jika dicermati, apa yang kita sebut sebagai fenomena deindustrialisasi dini masih terus berlanjut di Indonesia. Hal ini setidaknya tecermin dari kontribusi manufaktur yang terus menurun dan pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kita.
Kondisi ini terjadi sejak tahun 2012 dan belum mampu kita balikkan hingga kini. Pada 2022, pertumbuhan ekonomi 5,31 persen, sementara industri manufaktur hanya tumbuh 4,89 persen. Porsi sektor industri terus menurun sehingga industri tak mampu berperan sebagai pendorong utama perekonomian.
Pertumbuhan dan produktivitas manufaktur terus menyusut. Sebaliknya, ekonomi justru didominasi sektor jasa yang tak menghasilkan barang dan produktivitasnya rendah. Industri tak mampu naik kelas, padahal kita masih jauh dari tingkat pendapatan tinggi sebagai syarat negara industri maju.
Penyusutan industri manufaktur itu semakin terlihat terutama delapan tahun terakhir. Ini juga pemicu kian menurunnya kemampuan penyerapan tenaga kerja kita. Pertumbuhan disebut inklusif dan berkualitas jika mampu menyerap banyak tenaga kerja, terutama dari kelompok usia yang kita harapkan akan menjadi penyokong bonus demografi kita untuk bisa membawa kita ke Indonesia Emas 2045.
Kondisi ini membuat tantangan kita makin berat untuk mewujudkan Indonesia negara industri maju 2045. Sektor industri mungkin masih tumbuh. Namun, jika dicermati, pertumbuhan hanya terjadi di industri berteknologi redah, sementara industri berteknologi menengah dan tinggi justru sebaliknya, cenderung mengalami penurunan.
Peran Indonesia dalam rantai pasok global juga cenderung stagnan dan kalah dibandingkan dengan negara ASEAN kuat lainnya, bahkan di bawah Filipina dan Vietnam. Waktu kita tak banyak untuk bisa membalikkan keadaan yang kurang menguntungkan ini. Kuncinya, benahi problem struktural yang membuat manufaktur kita susah naik kelas. Kebijakan strategis untuk membuat terobosan dan lompatan menjadi penting di sini.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO