PBB: Reformasi Tak Kunjung Usai
Indonesia masih ”malu-malu kucing” dalam isu reformasi DK-PBB dan kalau mengajukan diri akan menghadapi posisi sulit.
Pada 24 Oktober, 78 tahun lalu, kita warga PBB bersepakat untuk ”menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang, menegakkan hak asasi manusia, dan menciptakan kondisi di mana keadilan dan penghormatan atas kewajiban berasal dari hukum internasional”.
Kalimat di atas merupakan bagian paragraf pembuka Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); yang meskipun bukan kitab suci, tetapi sarat dengan makna suci dan sekaligus politis.
Untuk maksud itu, kita harus mempraktikkan toleransi, menjaga perdamaian dan keamanan internasional, menjamin bahwa angkatan bersenjata tidak akan digunakan untuk menyelamatkan kepentingan bersama.
PBB dibentuk pada akhir Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan korban 70 juta-85 juta jiwa, sipil dan militer, dari sekitar 50 negara. Meski berlangsung kurang dari empat tahun, Perang Dunia II merupakan perang termahal dalam sejarah. Disesuaikan dengan inflasi saat ini, menelan biaya lebih dari 4 triliun dollar AS.
Perang dan damai
Fungsi utama PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan seluruh negara anggotanya. Hal ini dilakukan, antara lain, dengan berupaya mencegah konflik; membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk berdamai; memelihara perdamaian; serta menciptakan kondisi yang memungkinkan perdamaian bertahan dan berkembang.
Sebagai badan utama yang paling bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan perdamaian internasional, Dewan Keamanan (DK) PBB ujung tombaknya.
Sejumlah sumber mencatat bahwa sejak 1945 hingga 2022 telah terjadi 75 konflik bersenjata/perang antarnegara di berbagai belahan dunia. Mulai dari perang India-Pakistan (1947) hingga perang Rusia-Ukraina (2022) dan perang Armenia-Azerbaijan (2023).
Fungsi utama PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan seluruh negara anggotanya.
Keberadaan DK PBB dengan mandatnya dalam inisiatif resolusi konflik dan pemeliharaan perdamaian, menyebabkan jumlah orang yang tewas dalam perang menurun sejak 1945.
Selama hampir delapan dasawarsa ini, capaian PBB di antaranya adalah keanggotaan yang hampir mencapai universalitas dari 51 negara pada 1945 menjadi 193 saat ini.
PBB juga berhasil meluaskan cakupannya (scope) menjangkau semua kebutuhan masyarakat dunia, misalnya melalui Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang kini menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Di seluruh dunia, lebih sedikit orang yang tewas dalam konflik bersenjata dan pandemi pada dasawarsa abad ke-21 dibandingkan dasawarsa abad ke-20.
Di lain pihak, lingkungan keamanan global saat ini sulit diprediksi sehingga negara-negara menghadapi tantangan keamanan simultan dari aktor negara tradisional dan jaringan transregional kelompok subnegara (sub-tate groups).
Pada gilirannya, tantangan ini dapat meningkatkan potensi konflik bersenjata (intrastate), seperti di Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, Libya, Ukraina, dan tempat lain. Memang perang antarnegara (interstate) telah menjadi peristiwa jarang, tetapi perselisihan teritorial antarnegara, misalnya, masih terjadi, di mana peran PBB dipertanyakan.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengangkat tangan untuk memveto draft resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disusun Brasil pada persidangan badan ini di markas besar PBB di New York, Rabu (18/10/2023). (Photo by Bryan R. Smith / AFP)
Jalan panjang reformasi
Ketika memulai masa jabatannya pada 2017, Sekjen PBB Antonio Guterres telah mencanangkan reformasi PBB dalam tiga kluster: pembangunan, manajemen, serta keamanan dan perdamaian.
Dengan berbagai tantangan baru yang muncul (perubahan iklim, pemberdayaan wanita, dan sebagainya), seruan untuk reformasi sebenarnya sudah disuarakan sejak lama, terutama pasca-Perang Dingin (1991).
Namun, seruan reformasi lebih diarahkan pada sekretariat dalam hal administratif, finansial, dan manajemen.
Birokrasi yang terlalu gemuk menyebabkan upaya efisiensi masih kedodoran. Untuk 2023, dengan anggaran 3,4 miliar dollar AS, sekitar 25 persen dihabiskan untuk misi-misi politik khusus (special political missions). Selebihnya, guna mencukupi kebutuhan sekretariat dan 35.000 pegawainya.
Anggaran rutin PBB (di luar untuk menjaga perdamaian) berasal dari kontribusi negara anggota berdasarkan formula yang mewakili ”kapasitas membayar”-nya. Rumusnya dimulai dengan menggunakan porsi suatu negara terhadap pendapatan nasional bruto global.
Penyesuaian diterapkan terkait faktor-faktor utang dan populasi, dengan jumlah minimum dan maksimum. Besarannya mengacu pada Scales of Assessment yang disepakati setiap tiga tahun, mulai dari 0,001 persen hingga terbesar 22 persen.
Negara kecil di Pasifik (Vanuatu, Tuvalu, Nauru, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Solomon), yang biasa bersuara lantang terhadap Indonesia dalam isu Papua, termasuk yang membayar 0,001 persen (sekitar 30.000 dollar AS) dan yang terbesar AS (708 juta dollar AS).
Penyakit kronis di PBB adalah masih banyaknya negara yang menunda (defer) pembayaran. Termasuk AS, yang sebenarnya menikmati banyak keuntungan dari besarnya jumlah pegawainya, pendapatan sewa rumah/kantor diplomatik dan sebagainya; serta PBB yang menjadi destinasi utama wisatawan ke New York.
Penyakit kronis di PBB adalah masih banyaknya negara yang menunda ( defer) pembayaran.
Efisiensi memang telah diberlakukan, di antaranya jam sidang yang ketat (10.00-13.00 dan 15.00-18.00), karena di masa lalu sidang bisa berlangsung hingga larut malam; dan salah satu biaya yang menguras anggaran adalah penerjemah (untuk enam bahasa resmi).
Demikian pula, barang cetakan yang sebelumnya harus tersedia sepanjang waktu dan delegasi bisa minta berulang-ulang, kini juga dibatasi.
Reformasi DK-PBB
Dalam rencana Guterres, reformasi DK-PBB ini mencakup lima isu: kategori keanggotaan, status hak veto, perwakilan regional, penambahan anggota tetap dan metode kerjanya, serta hubungan DK-PBB dan Majelis Umum.
Tidak dapat disangkal, isu penambahan anggota tetap dan hak veto paling kontroversial dan ironisnya negara anggota, kelompok regional dan kelompok kepentingan memiliki posisi dan proposal yang berbeda.
Reformasi DK-PBB yang paling signifikan terjadi pada 1965 ketika jumlah anggota dan kursi dinilai timpang sehingga keanggotaan tidak tetap ditambah dari enam menjadi 10 (Pasal 23 Piagam).
Sejak Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali meluncurkan ”An Agenda for Peace”-nya pada 1992, isu penambahan anggota tetap mencuat. India, yang kini memiliki penduduk terbanyak di dunia; Brasil yang merupakan negara kelima terluas; serta Jepang dan Jerman sebagai kontributor kedua (8 persen) dan ketiga (6 persen)—yang dikenal sebagai G4—paling gigih memperjuangkannya.
Uniknya, kelompok-kelompok regional sangat menentang penambahan anggota tetap dengan memiliki hak veto ini dan menghendaki penambahan anggota tidak tetap yang dipilih atas dasar kawasan. Negara-negara ini, di antaranya Italia, Pakistan, Kanada, Meksiko, dan Mesir, kemudian membentuk kelompok Coffee Club yang kemudian berubah menjadi Uniting for Peace.
Sementara itu, kelompok Afrika menuntut dua kursi anggota tetap yang dirotasi secara bergilir dan dipilih sendiri oleh kelompoknya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat berpidato dalam pertemuan darurat Sidang Majelis Umum PBB yang membahas tentang konflik di Gaza, Kamis (26/10/2023) di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Berbagai usulan lain juga pernah diajukan. Pada 2005, misalnya, Sekjen PBB Kofi Annan dalam konsepnya ”In Larger Freedom” mengusulkan penambahan anggota DK-PBB menjadi 24 negara dalam dua opsi.
Rencana A, penambahan enam anggota tetap baru dan tiga anggota tidak tetap baru dengan total 24 kursi.
Rencana B, penambahan delapan kursi baru dalam pengelompokan baru, yang menjabat selama empat tahun dan dapat diperpanjang, ditambah satu kursi tidak tetap, juga dengan total 24 kursi.
Jeffrey Sachs dari Columbia University pada 2015 di Davos menyatakan bahwa kurangnya keterwakilan di Asia menimbulkan ancaman serius terhadap legitimasi PBB, seiring dengan semakin pentingnya peran kawasan yang paling dinamis dan padat penduduknya di dunia ini.
Salah satu cara menyelesaikan masalah ini adalah dengan menambahkan setidaknya empat kursi dari Asia: satu kursi permanen untuk India, satu kursi bersama untuk Jepang dan Korea Selatan (dalam rotasi satu atau dua tahun), satu kursi untuk negara-negara ASEAN (sebagai satu daerah pemilihan), dan satu kursi bergilir di antara negara-negara Asia lainnya (Arsip WEC, 1/11/2016).
Kelima anggota tetap (Permanent-5/P-5) memiliki posisi yang berbeda. AS, pada prinsipnya, mendukung keanggotaan tetap Jepang dan India, serta tambahan sejumlah kecil anggota tidak tetap. Inggris dan Perancis pada dasarnya mendukung posisi G4 sebagai anggota tetap dan lebih banyak negara Afrika sebagai anggota tidak tetap.
China dan Rusia mendukung perwakilan negara-negara berkembang dan pernah menyuarakan dukungan kepada India untuk kursi anggota tetap. Namun, sejalan dengan konstelasi perubahan dunia saat ini dukungan China dan Rusia tampaknya sudah berubah.
Sejauh ini Indonesia masih ”malu-malu kucing” dalam isu reformasi DK-PBB dan kalaupun mengajukan diri akan menghadapi posisi yang sulit.
Non-isu
Adapun isu mengenai hak veto tampaknya sudah menjadi non-issue. Keterlibatan langsung negara P-5 atau proksinya menunjukkan bahwa hak veto dapat digunakan secara sewenang-wenang sesuai kepentingannya dan bukan kepentingan anggota. Oleh karena itu, dalam konflik bersenjata seperti, perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas saat ini, sekadar usulan gencatan senjata (cease fire) bisa diveto sehingga perang semakin berlarut-larut.
Menurut Guterres, ”Dewan Keamanan yang kita miliki sekarang tidak sesuai dengan dunia saat ini. Saya telah mendorong negara-negara anggota untuk melakukan dialog serius mengenai hal ini. Saya ingin melanjutkan dialog ini, tetapi para anggota permanen PBB tak setuju” (CNN, 10/9/2020).
Melalui pernyataan itu, isu veto dalam reformasi DK-PBB dengan sendirinya tertutup. Dengan status quo ini, kiranya tepat yang dikatakan Sekjen PBB kedua, Dag Hammarskjold, pada 1954, bahwa apa yang diharapkan dan menjadi kenyataan adalah ”PBB diciptakan tidak untuk membawa umat manusia ke surga, tetapi untuk menyelamatkan kemanusiaan dari neraka.”
Sejauh ini Indonesia masih ”malu-malu kucing” dalam isu reformasi DK-PBB dan kalaupun mengajukan diri akan menghadapi posisi yang sulit.
Penambahan satu anggota tetap dari Asia akan membenturkan Indonesia dengan Jepang dan India, yang di atas kertas ”lebih siap”. Dengan pernyataan Guterres di atas, tampaknya isu reformasi DK-PBB akan tak kunjung usai.
Oleh karena itu, mungkin akan lebih baik apabila Indonesia berkonsentrasi pada reformasi PBB di bidang-bidang lain yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan nyata masyarakat, seperti SDGs.
Baca juga : Seruan Reformasi PBB Kian Santer
Dian WirengjuritAnalis Geopolitik dan Hubungan Internasional