Pelajaran dari Cacar Monyet
Pemeliharaan satwa liar seperti monyet, sebaiknya dilarang, karena berpotensi menularkan penyakit ke manusia.
Mencermati kenaikan jumlah kasus cacar monyet (monkey pox/Mpox) di Jakarta, pemerintah menambah stok vaksin (Kompas, 27/10/2023).
Kementerian Kesehatan menyebutkan, jumlah kasus Mpox mencapai 14 kasus terkonfirmasi, dua kasus probable dan satu kasus suspek. Sebanyak 64 persen penderitanya adalah laki-laki berusia 25-29 tahun. Sebagian besar merupakan kasus impor dari negara tertular.
Untuk menekan angka kasus, vaksinasi dilakukan terhadap tenaga medis (dokter dan perawat) yang menangani pasien, dengan memakai vaksin Bavarian Nordic yang telah dipakai sebanyak jutaan dosis di lebih dari 70 negara.
Kementerian Kesehatan menyarankan masyarakat tidak perlu panik. Penyebaran penyakit bisa dikendalikan, angka kematian relatif kecil, dan gejala klinis tidak parah. Penularan antar-orang sebagian besar memerlukan kontak erat.
Ada dua tipe genetik (clade) virus Mpox, yakni clade Congo Basin (clade I) dan Afrika Barat (clade II). Clade I tersebar di Republik Demokratik Kongo (RDK) dan Republik Afrika Tengah, sedangkan clade II di Nigeria, Sierra Leone, Ghana.
Clade II terbagi menjadi clade IIa dan IIb, kemudian terbagi lagi menjadi galur (lineage). Sebagian besar kasus (2022) adalah clade IIb, lineage B.1. Clade I lebih ganas dibanding clade II.
Di luar dugaan, Mpox menyebar ke Amerika (2003) lewat impor hewan piaraan (pet) tikus besar Gambia/Crisetomys gambianus (Kompas, 17/6/2003).
Di toko hewan piaraan (petshop) tikus menularkan Mpox ke rodensia asli Amerika Cynomis ludovicianus (prairie dog), kemudian lewat cakaran menularkan ke orang. Dalam tempo relatif singkat ditemukan 37 kasus terkonfirmasi dan 10 kasus suspek, di Illinois, Indiana, Kansas, Missouri, Ohio dan Wisconsin.
Kementerian Kesehatan menyarankan masyarakat tidak perlu panik.
Tahun 2019, terjadi kasus Mpox di Singapura, pada seorang asal Nigeria. Indonesia ikut khawatir. Kompas (29/5 /2019) menulis “Cacar Monyet di Singapura Berdampak Kecil Bagi Indonesia”. Pasien diisolasi, kemudian sembuh, tanpa menulari seorang pun sampai ia kembali ke negaranya.
Tahun 2022-2023 terjadi penyebaran Mpox secara global ke Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan lain-lain. Jumlah negara tertular 110 negara, jumlah kasus sekitar 87.000 kasus, dan meninggal 112 orang. Penyebabnya, Mpox clade IIB.
Memerhatikan penyebaran global, beberapa peneliti menyebutkan telah terjadi mutasi virus Mpox di Inggris dan China (Xi Yu dkk. 2023, Jiang dkk. 2023), sebagai penyebabnya.
Menyikapi peningkatan Mpox secara global, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Mpox sebagai situasi kedaruratan kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) pada 23 Juli 2022, namun kemudian dicabut pada Mei 2023.
Infografik-RISET-Tingkat Risiko Cacar Monyet
Sejarah dan pelajaran
Mpox pertama kali ditemukan di Denmark (1958) pada monyet Afrika yang dipergunakan sebagai obyek penelitian. Kasus pertama pada anak terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK) tahun 1970.
Seiring program eradikasi cacar orang (smallpox), dilakukan vaksinasi di seluruh dunia, sehingga cacar manusia berhasil dieradikasi (1980). Karena telah bebas dari cacar manusia, vaksinasi dihentikan. Kemudian muncul kasus cacar monyet di Afrika Tengah, Timur dan Barat. Ada indikasi kuat, vaksinasi cacar manusia telah melindungi penularan cacar monyet.
Sebelum 2022, sebagian besar kasus Mpox dilaporkan dari RDK dan Nigeria. Penularan terjadi lewat kontak dengan monyet waktu pemburuan, menguliti, proses pemasakan, dan sebagainya. Tahun 2022-2023, penyebaran Mpox di luar Afrika meningkat tajam. Kebanyakan kasus terjadi pada kelompok LGBTQ2S lewat kontak erat dengan pasangannya.
Gejala klinis Mpox umumnya berupa demam, ruam kulit, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, kebengkakan kelenjar limfa.
Ruam berkembang menjadi lepuh berisi cairan, nyeri dan gatal. Ketika lepuh mengering, keropengnya lepas. Perjalanan penyakit berlangsung 2-4 minggu. Sebagian besar kasus bersifat ringan sampai sedang.
Virus Mpox, seperti halnya virus cacar lain, relatif tahan di luar tubuh manusia. WHO menyebutkan handuk, alas tidur, atau alat lain yang dipakai pasien, berpotensi menularkan Mpox secara tidak langsung.
Mpox merupakan salah satu penyakit dari hewan liar yang bersifat zoonotik. Karena penyakitnya relatif tidak parah, orang asing yang tertular di Afrika masih bisa pulang ke negaranya, kemudian menularkan ke orang terdekat. Dengan cara demikian, Mpox menyebar secara global.
Deteksi dini, isolasi pasien, dan vaksinasi terhadap orang yang berisiko tinggi, dapat menghentikan penyebaran penyakit.
Deteksi dini, isolasi pasien, dan vaksinasi terhadap orang yang berisiko tinggi, dapat menghentikan penyebaran penyakit. Seperti halnya pada penyakit golongan cacar lain, mereka yang sembuh mempunyai kekebalan kuat, sehingga tidak terinfeksi kembali. Hal ini berbeda dengan Covid-19.
Diprediksi kasus Mpox di luar Afrika dapat dihentikan dalam tempo tidak terlalu lama, karena sumber penular utamanya tidak ada. Di Afrika Barat dan Afrika Tengah, penularan bisa dicegah melalui vaksinasi terhadap kelompok orang terancam (population at risk).
Perburuan dan perdagangan satwa primata perlu dihentikan. Yang sulit diatasi adalah penularan antar hewan liar (sylvatic cycle) di habitatnya.
Ekspor satwa primata dari Afrika untuk penelitian seyogianya dilarang. Sebagai gantinya, bisa dipergunakan satwa primata Asia.
Di Indonesia, kajian zoonosis dari satwa liar masih sangat terbatas, sehingga perlu untuk ditingkatkan. Pemeliharaan satwa liar oleh perorangan seperti monyet, sebaiknya dilarang, karena berpotensi menularkan penyakit ke manusia.
Baca juga : Waspada, Penularan ”Mpox” Meluas
Baca juga : Darurat Global Wabah Cacar Monyet
Soeharsono Mantan Penyidik Penyakit Hewan