Memori Kutu Busuk
Begitu ”fenomenal”-nya keganasan si kutu busuk ini sehingga lekat terekam pada memori kolektif generasi lansia.
(AP Photo/Carolyn Kaster, File)
Tulisan "Kutu Busuk, 'Bangsat Kecil' yang Sedang Betah-betahnya di Kota" (Kompas, 22/10/2023), halaman 4) menarik perhatian saya. Diceritakan gencarnya serangan kutu busuk di berbagai kota di dunia saat ini dan di masa lalu.
Belakangan Paris, Perancis, diserbu ”bangsat-bangsat kecil” tersebut. Binatang sangat kecil, tetapi ganas ini mengokupasi kasur, tempat duduk kereta komuter, dan lain-lain. Invasi juga merambah ke Kanada dan mengancam negeri-negeri lain.
Kita yang lahir di tahun 1950-an atau lebih tua umumnya memiliki memori kolektif tentang keganasan kutu yang satu ini.
Saya teringat, di Jakarta dekade akhir 1950-an, 1960-an, hingga awal 1970-an, misalnya, sang kutu busuk hadir agresif di berbagai lokasi.
Tidak ada yang luput: rumah, sekolah, kantor, dan bioskop. Mereka menyelinap di kasur, kursi, bangku, lemari, baju, celana, tas, dan koper. Agenda mingguan kami di rumah adalah melancarkan ”operasi tumpas tumbila”.
Kenangan pada dampak destruktif makhluk mini ini di zaman Jepang sampai menjadi bahan cerita sastrawan terkenal Budi Darma.
Dalam cerita pendeknya yang memukau, ”Kita Gendong Bergantian” (Kompas, 29/11/ 2020), diungkapkan kisah seorang kepala sekolah dasar penjilat Jepang yang lalim pada guru dan murid. Dalam kisah tersebut, diceritakan bahwa kutu busuk memang sengaja disebar oleh tentara pendudukan Jepang.
Yang tak kalah unik, sejarawan Onghokham mengaitkan ”wabah” kutu busuk dengan suatu masa penuh kesulitan dan penderitaan dalam sejarah negeri kita. Awal sampai pertengahan dekade 1960-an, kehidupan rakyat merosot drastis.
Onghokham ingat saat itu kutu busuk merajalela di Jakarta, bahkan bercokol di bioskop kelas satu, seperti Megaria (Metropole) dan hotel.
Solo dan Yogya bahkan lebih parah. Petani desa diganggu tikus, orang kota diteror kutu busuk. Dua binatang itu merajalela, tanda zaman edan, tulis Onghokham (Sukarno: Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965, 2009, halaman 160-161).
Begitu ”fenomenal”-nya keganasan si kutu busuk ini sehingga lekat terekam pada memori kolektif generasi lansia. Saking fenomenalnya, bahkan dicatat dalam cerita pendek karya seorang sastrawan hebat dan dalam ulasan sejarah seorang sejarawan kondang.
Mudah-mudahan kita tetap aman dari ”serangan umum” si kutu busuk.
Eduard Lukman, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta