Gus Mus sang kiai budayawan memiliki nama Mustofa, putra Kiai Bisri bin Mustofa. Anak bungsunya diberi nama Muhammad Bisri atau lengkapnya Muhammad Bisri bin Mustofa bin Bisri bin Mustofa.
Oleh
ALISSA WAHID
·4 menit baca
Di tengah berbagai berita politik hari-hari ini, satu headline dari sebuah berita online menarik perhatian saya: ”Prabowo Ungkap Alasan Gibran bin Jokowi Tak Hadiri Deklarasi Cawapres”.
Gibran bin Jokowi. Sebelumnya saya sudah membaca berita tentang usulan Ketua DPD Golkar Jawa Timur agar Gibran menambahkan nama Jokowi atau Joko Widodo pada namanya sebelum pendaftaran pasangan capres-cawapres di KPU. Menarik, karena kemudian beberapa media mulai menggunakan model silsilah Arab dengan menggunakan kata bin (anak laki-laki dari) sebagaimana pada headline tersebut. Gibran anak laki-laki dari Jokowi.
Di lingkungan Muslim, penggunaan kata bin atau binti (anak perempuan dari) adalah untuk memastikan jalur nasab atau garis keturunan. Contohnya, Inayah binti Abdurrahman (Addakhil) bin (Abdul) Wahid bin Hasyim bin Asy’ari yang memudahkan kita untuk memahami rantai hubungan ayah-anak yang ada.
Garis keturunan ini akan berpengaruh langsung pada kehidupan seseorang, misalnya dalam pembagian waris ala Islam, di mana waris dibagi menurut garis keturunan dan jenis kelamin, sesuai hukum fikih warisan. Ia juga berpengaruh terhadap posisi wali nikah seorang perempuan.
Oleh karena model bin atau binti yang langsung bersambung kepada insan ini, maka menjadi mudah untuk menelusuri jejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, lebih mudah untuk menelusuri genealogi para tokoh Jawa, terutama setelah Wali Sanga menebarkan Islam di Pulau Jawa. Yang menarik, persis di saat ini sedang terjadi polemik terkait nasab dari para habaib di Indonesia, terutama terkait dengan keturunan Nabi Muhammad SAW di bumi Nusantara.
Ini agak berbeda dengan model klan, trah, atau marga yang cukup populer di Indonesia. Pada model ini, nama marga menjadi penanda bahwa kita adalah bagian dari marga tersebut, tetapi tidak secara langsung menyebutkan nama sang bapak. Misalnya, nama-nama tokoh bangsa yang terkenal Luhut Binsar Pandjaitan, Christine Panjaitan, dan DI Panjaitan.
Saya meyakini mereka bertiga adalah saudara satu marga. Namun, saya tak dapat menyimpulkan siapa nama ayah mereka masing-masing lantaran tidak adanya penanda. Berbeda lagi, misalnya, dengan nama Soekarnoputri atau Soekarnoputra yang jelas merujuk pada hubungan antara Soekarno dan yang bersangkutan.
Di lingkungan yang berorientasi sosial, menjadi bagian dari kelompok adalah hal yang sangat berharga. Kelompok memberikan identitas, juga rasa aman dan nyaman. Kelompok juga memberikan panduan nilai-nilai yang dihidupi. Apabila sebuah kelompok mendapatkan kepercayaan pada masyarakat yang lebih besar, anggota kelompok akan mendapatkan ”pinjaman” kepercayaan publik dari kelompoknya.
Dan, sebagaimana soundtrack lagu yang akhir-akhir ini kembali terkenal: ”...harta yang paling berharga adalah keluarga....”
Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang dapat berpengaruh sangat besar bagi kredibilitas seseorang. Dalam budaya Jawa dikenal istilah bibit, bobot, bebet. Kalau kita berasal dari keluarga yang baik dan terhormat, maka kita dianggap sebagai bibit yang baik. Walaupun pada kenyataannya tidak selalu demikian, ekspektasi publik terhadap kita ditentukan dari kredibilitas keluarga kita. Dan, sebaliknya, anggota keluarga yang menurut publik tidak sesuai dengan bibitnya akan menerima dampak disebut sebagai bebek buruk rupa atau kambing hitam.
Inilah daya koneksi (connection power) sejati. Sebagaimana saya alami sendiri, nama Wahid di belakang nama saya pribadi menyebabkan berulang kali publik memercayai saya, bahkan sebelum mereka berinteraksi dengan saya secara langsung. Di sisi lain, nama Wahid ini juga membawa ekspektasi publik yang kadang kala menciptakan beban psikologis bagi pengembannya.
Pada posisi figur publik, sejatinya connection power hanyalah modal awal sekaligus titik awal, apalagi jika power-nya datang dari keluarga. Ia bisa menjadi beban luar biasa besar atau batu pijakan yang besar. Melulu mengandalkan daya pengungkit ini tanpa membangun kredibilitas pribadi justru akan menjatuhkan kredibilitasnya, juga kredibilitas ayah atau kakek moyangnya.
Sebagaimana dikerangkakan SMR Covey Jr dalam bukunya, seseorang mulai merintis kepercayaan publik dengan prinsip kredibilitas, lalu meningkat pada prinsip konsistensi perilaku, dilanjutkan dengan prinsip keselarasan. Dari sini, meningkat ke level kepercayaan yang dibangun di atas prinsip reputasi. Di puncaknya adalah prinsip kontribusi. Dan, proses ini sulit untuk dicarikan jalan pintas, bahkan saat kita berasal dari keluarga tingkat atas.
Alkisah, saat menemani Gus Mus berziarah ke Palestina, putra Gus Mus yang bernama Bisri Mustofa lama ditanya-tanya oleh petugas imigrasi. Usut punya usut, petugas mempertanyakan keabsahan informasi di dokumen: Bisri Mustofa bin Mustofa Bisri dan beralamat di Jalan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Saat menemani Gus Mus berziarah ke Palestina, putra Gus Mus yang bernama Bisri Mustofa sempat lama ditanya-tanya oleh petugas imigrasi. Usut punya usut, petugas mempertanyakan keabsahan informasi di dokumen: Bisri Mustofa bin Mustofa Bisri dan beralamat di Jalan KH Bisri Mustofa.
Garis ini lumayan unik. Gus Mus sang kiai budayawan memiliki nama Mustofa, putra Kiai Bisri bin Mustofa. Anak bungsunya diberi nama Muhammad Bisri atau lengkapnya Muhammad Bisri bin Mustofa bin Bisri bin Mustofa!
Dengan model bin/binti sebagai penanda trah, ditambah dengan tradisi dinasti politik bangsa kita, bisa jadi beberapa generasi nanti kita akan bertemu dengan calon presiden atau wapres: Jan Ethes bin Gibran bin Jokowi. Atau jangan-jangan nanti, terilhami kisah Gus Mus, suatu ketika kita bertemu dengan calon tokoh bernama Kalijaga bin x bin y bin z bin Raden Said/Sunan Kalijaga. Atau bisa juga bertemu dengan calon presiden Jokowi bin x bin y bin z bin Jan Ethes bin Gibran bin Jokowi.
Pelajaran sejarah pasti jadi lebih mengasyikkan, bukan?