Tanpa ada pertimbangan etis, kecerdasan buatan berisiko menimbulkan bias dan diskriminasi di dunia nyata.
Oleh
RIDWAN SANJAYA
·3 menit baca
Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semenjak ChatGPT viral di masyarakat meningkatkan kekhawatiran bagi banyak pihak karena dapat menimbulkan penyalahgunaan untuk kepentingan akademik, bisnis, hukum, atau bahkan politik.
Membicarakan AI tidak sekadar membahas bergesernya peran manusia dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya berulang-ulang, permasalahan kepemilikan hak cipta yang sampai saat ini masih jadi perdebatan, bias suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang muncul akibat sumber data yang tidak seimbang, atau sekadar kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan hasil ringkasan dari berbagai sumber yang sebelumnya harus dicari melalui mesin pencari.
Banyak hal yang dapat dilihat menjadi potensi permasalahan lebih besar lagi di tahun politik ini. Contohnya, pemalsuan wajah dan suara dalam sebuah rekaman atau video yang dimungkinkan berdampak kepada pemilih. Teknologi deepfake menjadi lebih mudah dan cepat dengan keberadaan Generative AI yang dapat memproduksi berbagai jenis konten digital seperti kalimat, gambar, suara, musik, dan video.
Warganet dimungkinkan dapat membuat berbagai rekaman suara dan video yang tampak seakan-akan benar-benar terjadi, tetapi sebenarnya dibuat oleh komputer secara imajinatif, dengan tujuan semata-mata kesenangan ataupun serius, bahkan tanpa harus memiliki keahlian pemrograman atau multimedia sebelumnya. Meskipun hampir semua layanan ini berbayar, bukan berarti tidak ada yang tidak siap mendanai.
Jika berita hoaks dalam bentuk teks pada pemilu yang lalu saja bisa memengaruhi dan mengelabui banyak orang, bagaimana dengan foto, audio, dan video yang diciptakan melalui AI? Selain ketegasan dalam menegakkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dibutuhkan usaha untuk sosialisasi, edukasi, dan antisipasi sebelum karya-karya AI yang menyesatkan tersebut diproduksi dan memengaruhi banyak orang.
Strategi nasional
Sebenarnya pemerintah telah mempersiapkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) Indonesia 2020-2045 yang diluncurkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2020. Stranas KA ini berfokus kepada kesiapan regulasi yang mengatur etika penggunaan, strategi dalam mempersiapkan talenta, kesiapan dalam infrastruktur, serta strategi untuk mempersiapkan kesiapan industri dalam riset dan adopsi inovasi kecerdasan buatan.
Dalam hal strategi mempersiapkan talenta, berbagai program telah dilaksanakan sepanjang tahun oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperbanyak dan meningkatkan jumlah talenta digital di Indonesia, melalui seminar, unjuk bincang (talkshow), pelatihan, sertifikasi, bootcamp, internship, ataupun beasiswa.
Adapun terkait dengan infrastruktur, akses internet dari industri telekomunikasi juga meningkat cukup signifikan semenjak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Meskipun belum merata ke seluruh wilayah, penyedia jasa internet telah mulai menambah dan melebarkan jangkauannya ke berbagai daerah dan di berbagai penjuru negeri.
Pemerintah telah mempersiapkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) Indonesia 2020-2045 yang diluncurkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2020.
Terkait riset dan adopsi industri juga telah ada skema program-program pendanaan seperti dana padanan Kedaireka, pendanaan Inovasi, dan skema hibah penelitian lainnya yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Beberapa usulan yang didanai mengarah kepada hilirisasi teknologi yang lebih luas di dunia industri.
Namun, jika dikaitkan dengan etika, tampaknya masih minim perhatian dan kegiatan pemerintah ataupun masyarakat dalam menghadapi kehadiran kecerdasan artifisial (buatan). Sebagian besar masyarakat masih terpukau dengan kemampuan AI dalam melaksanakan berbagai perintah dan masih terfokus pada aktivitas Prompt Engineer yang seakan-akan menjadi pembuktian keberhasilan menundukkan AI melalui kemampuan memahami cara memerintah secara tepat.
Strategi Nasional yang selesai disusun pada 2020, sebelum adanya ledakan penggunaan Generative AI seperti Chat GPT dan Google Bard, tampaknya perlu didukung strategi dan pedoman yang lain menjelang pemilu, atau bahkan disusun edisi revisi yang lebih lengkap lagi.
Etika AI
Etika AI bisa diartikan sebagai panduan, sistem nilai, dan aturan yang menjadi kesepakatan bersama suatu kelompok dalam bertindak atau berperilaku saat memanfaatkan, mengembangkan, dan menghasilkan produk berbasis AI.
Dalam hal indeks literasi digital atau kecakapan digital, Indonesia terlihat terus naik dalam tiga tahun, yaitu dari 3,46 (2020) menjadi 3,49 (2021), dan naik lagi menjadi 3,54 (2022). Kenaikan ini menunjukkan kecakapan digital masyarakat terus naik dari waktu ke waktu, terutama dalam hal kecakapan teknis atau praktis. Namun, kecakapan lainnya seperti etika, keamanan, dan budaya terlihat naik turun tidak stabil, yang mengindikasikan permasalahan kepantasan masyarakat di dunia digital belum tertangani dengan baik.
Padahal, penyalahgunaan teknologi digital, terutama kecerdasan artifisial, bisa terjadi karena ketidakpahaman atau ketidakpedulian akan etika di dunia digital. Ibarat anak kecil yang baru menemukan mainan baru yang canggih, tetapi tidak tahu batasan-batasan yang patut dilakukan. Tanpa ada pertimbangan etis, AI memiliki risiko timbulnya bias dan diskriminasi di dunia nyata. Akibatnya dapat memicu fitnah, ancaman hak asasi manusia, atau bahkan menimbulkan perpecahan sesama anak bangsa.
Sejauh ini Kementerian Kominfo telah merencanakan menyusun Surat Edaran Pedoman Etika Kecerdasan Artifisial yang ditujukan untuk menghadirkan pemanfaatan AI secara beretika, melindungi data pribadi, dan menghormati berbagai aturan yang ada. Namun, selain adopsi dalam bentuk pedoman dan aturan, ada baiknya menyiapkan label atau sertifikasi terkait dengan produk-produk AI ataupun pemanfaatannya di berbagai industri maupun organisasi sebagai petunjuk atau panduan masyarakat dalam memanfaatkan produk AI. Kementerian Kominfo dapat bertindak seperti Kemenag dalam penerbitan sertifikat halal, atau asosiasi profesi dimungkinkan untuk diajak terlibat di dalamnya.
Ridwan Sanjaya, Guru Besar Bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata Semarang; Pengurus APTIKOM Pusat KK Transformasi Digital