Dampak Gejolak di Timur Tengah di Sektor Energi
Kita punya pilihan untuk cadangan energi, hanya bagaimana memulainya. Yang terpenting, kita siap dengan kondisi global.
Untuk apa kita belajar sejarah dan apakah sejarah itu berulang?
Sabtu, 7 Oktober 2023, Hamas memulai serangan terhadap Israel. Serangan ini memperburuk kondisi keamanan dunia di tengah perang Rusia dan Ukraina yang belum berakhir. Ini seolah mengulang sejarah kejadian perang Yom Kippur 50 tahun lalu yang berakibat kepada adanya embargo minyak terhadap beberapa negara Eropa barat dan Amerika. Minyak menjadi alat politik saat itu.
Embargo tersebut mengakibatkan harga minyak meningkat empat kali lipat, menyebabkan gangguan ekonomi secara signifikan. Inflasi melonjak karena kenaikan harga minyak meningkatkan harga barang dan jasa. Di masa inilah mulai ada dorongan besar menuju konservasi energi dan pencarian sumber energi alternatif, serta munculnya ide ketahanan energi nasional.
Kita belum mengetahui bagaimana kelanjutan gejolak di Timur Tengah saat ini. Ada beberapa hal yang berbeda dengan kejadian 50 tahun yang lalu. Pertama, saat ini negara Arab, Mesir, Jordania, Arab Saudi masih hanya mengamati, tidak turut serta dalam konflik ini. Kedua, permintaan pasar minyak dunia sekarang masih pada kondisi moderat, terutama dengan perkembangan kendaraan listrik.
Baca juga: Konflik Geopolitik Meresahkan Semua Warga Dunia
Ketiga, organisasi negara eksportir minyak, OPEC, sepertinya cukup nyaman dengan kenaikan harga hingga 100 dollar AS per barel dan tidak menunjukkan upaya yang lebih konkret untuk menaikkan harga minyak, katakanlah ke 200 dollar AS per barel. Keempat, terdapat hubungan yang saling menyeimbangkan antara tarik-menarik produksi dan embargo minyak Iran, Arab Saudi, Rusia, Brasil, dan Venezuela. Kelima, Amerika dengan cadangannya (strategic petroleum reserves/SPR) masih akan bisa memenuhi kebutuhan domestiknya di saat krisis.
Transisi energi
Kondisi yang tidak menentu ini akan menguji komitmen transisi energi menuju emisi net-zero dan yang akan teruji adalah sistem. Ketika terjadi krisis energi, semua negara akan terkena dampaknya. Dalam jangka panjang, pengurangan ketergantungan pada sumber energi fosil dapat menguntungkan bagi ekonomi, lingkungan, dan stabilitas geopolitik suatu negara.
Namun, transisi energi memerlukan biaya yang besar di awal, memerlukan pembangunan infrastruktur fisik yang mahal, termasuk sistem jaringan ketenagalistrikan. Ini karena sifat sumber daya baru dan terbarukan yang intermittent, yang akan lebih mudah jika terdapat sumber daya fosil yang bisa diproduksikan untuk pembiayaan awalnya.
Ini seperti telur dan ayam, mana yang harus lebih didahulukan. Hal ini akan menjadi pekerjaan rumah khusus untuk pemerintahan mendatang, bagaimana menciptakan strategi komprehensif untuk memastikan keseimbangan dan harmoni sumber energi yang harus mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan energi baik untuk Indonesia dan komunitas global.
Transisi energi memerlukan biaya yang besar di awal, memerlukan pembangunan infrastruktur fisik yang mahal, termasuk sistem jaringan ketenagalistrikan.
Hajat hidup
Tanpa ada kenaikan produksi minyak domestik, setiap kenaikan harga minyak dunia akan sangat berat dampaknya ke Indonesia karena kita telah menjadi negara pengimpor minyak. Kelangkaan energi akan menyebabkan situasi politik dan keamanan dalam negeri akan terganggu.
Undang-Undang Dasar kita mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, pemerintah harus bisa menjaga kestabilan harga energi sebagai komoditas hajat hidup orang banyak dan di saat yang sama memastikan ketahanan energi terjaga baik. Besaran subsidi untuk bahan bakar minyak jenis pertalite, misalnya, dengan dampak kenaikan 4-5 persen harga minyak dunia ke level mendekati 90 dollar AS per barel saat ini bisa diperkirakan akan naik. Kuotanya pun akan terlampaui.
Mulai maraknya kendaraan listrik bisa mengerem kenaikan besaran subsidi BBM. Untuk menjaga momentumnya, perlu rumusan lanjutan untuk subsidi kendaraan listrik. Infrastruktur yang mendukung ekosistem ini juga mesti diperkuat, termasuk sistem ketenagalistrikan dan bahan bakar pembangkitnya.
Baca juga: Harmoni Transisi Energi
Dikutip dari The Economist, 28 September 2023, untuk memudahkan skala, kebutuhan listrik untuk 15 stasiun pengisian kendaraan listrik di Eropa sama dengan kebutuhan listrik untuk 5.000 rumah penduduk. Interval jarak ideal antarstasiun pengisian di jalan tol adalah 60 kilometer sehingga kebutuhan listrik bisa dipastikan akan melonjak seiring dengan perpindahan ke kendaraan listrik ini. Lonjakan kebutuhan listrik ini harus bisa menjaga sedemikian rupa agar harga listrik ke masyarakat tidak serta-merta naik di atas daya belinya.
Perpindahan menjadi negara listrik ini juga mesti mempertimbangkan pemberian peluang untuk industri lokal dan pemberdayaan sumber daya manusia kita di lini industri baru, seperti produksi baterai, sistem ketenagalistrikan, dan komponen-komponennya.
Langkah strategis
Produksi sumber daya fosil tidak bisa ditinggalkan, justru tetap harus diperkuat, terutama ketika kita berada di fase awal transisi energi dan sebagai respons cepat kita terhadap konflik Rusia dan Israel saat ini. Investasi migas, misalnya, mesti terus ditingkatkan untuk memastikan pasokan migas dan kemampuan kilang kita tidak turun lebih cepat lagi dan sebaliknya secara perlahan bisa memenuhi kebutuhan domestik kita. Tidak dimungkiri bahwa perusahaan energi fosil justru yang bisa mengambil peran lebih besar dari transisi energi karena memiliki jangkauan global dan sumber daya keuangan yang substansial.
Dengan kondisi geografis kita, diversifikasi energi sangat mungkin kita lakukan. Ditambah pemindahan ibu kota ke Kalimantan memberi ruang sebaran permintaan energi. Jika hal ini bisa ditambah dengan perluasan infrastruktur energi antarpulau di Indonesia, misalnya jaringan listrik Jawa ke Sumatera dan Jawa ke Kalimantan, serta Kalimantan ke Sulawesi, kita akan memiliki sistem energi yang baik.
Baca juga: Akselerasi Target “Net Zero Emission” dengan Panas Bumi
Sistem cadangan minyak, seperti SPR di Amerika yang mulai diterapkan 50 tahun lalu sebagai respons embargo minyak, bisa menjadi contoh tindakan yang bisa kita tiru untuk belajar dari sejarah. SPR ini terbukti beberapa kali berhasil membantu menstabilkan pasar minyak, misalnya di 2005 sebagai solusi terhadap dampak badai Katrina, di 2011 terhadap perang Libya, dan di 2022 terhadap krisis Rusia.
Kita mempunyai pilihan untuk cadangan energi, hanya bagaimana kita memulainya. Yang terpenting adalah bagaimana kita selalu siap dengan kondisi global yang mau tidak mau akan berpengaruh terhadap kesejahteraan bangsa kita. Hal yang mudah dikatakan, tetapi sulit untuk dikerjakan.
Amrullah Hakim, Asset Manager Medco Energy; Pernah Bertugas di Tim 35GW Presiden Jokowi; Pernah Bekerja di ConocoPhillip