Terpuruknya Brasil, Saatnya Berpaling ke Carlo Ancelotti?
Dua dekade Brasil gagal juara Piala Dunia. Saatnya Brasil berpaling ke pelatih asing? Tepatkah memilih Carlo Ancelotti?
Oleh
ADI PRINANTYO
·5 menit baca
Kesebelasan Uruguay mengukir sejarah penting di Estadio Centenario, Montevideo, saat menjamu tim raksasa sepak bola dunia Brasil, pada laga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Amerika selatan (Conmebol), 18 Oktober lalu. Federico Valverde dan kawan-kawan menang dua gol tanpa balas, sekaligus mengakhiri paceklik kemenangan atas tim ”Samba” dalam 22 tahun terakhir. Dua gol Uruguay sumbangan Darwin Nunez dan Nicolas de la Cruz.
Kekalahan ini belum menutup kans Brasil lolos ke Piala Dunia AS-Meksiko-Kanada 2026. Namun, kegagalan tim asuhan Fernando Diniz ini, bahkan untuk sekadar menahan seri Uruguay, menempatkan Brasil di tangga ketiga klasemen kualifikasi zona Conmebol, di bawah Argentina dan Uruguay. Brasil harus mewaspadai Venezuela, langganan tim kuda hitam di Amerika Selatan. Pada laga terakhir kualifikasi melawan Chile, Venezuela menang telak 3-0.
Suporter Brasil diselimuti dahaga gelar juara dunia. Meski sudah lima kali juara dunia, terakhir kali tim Samba menjadi kampiun sejagat pada pergelaran Jepang-Korsel 2002, atau 21 tahun lalu. Brasil yang tersohor sebagai produsen bintang-bintang kaliber dunia sejak 1950-an harus merelakan lima perhelatan Piala Dunia tanpa sekali pun menggapai trofi, baik di Jerman 2006, Afrika Selatan 2010, Brasil 2014, Rusia 2018, maupun Qatar 2022.
Di tengah ambisi meraih trofi bergengsi itu di negara sendiri pada 2014, Brasil yang kala itu dilatih Luiz Scolari bahkan dipermalukan Jerman dengan skor 1-7 pada semifinal di Belo Horizonte. Terakhir, di Qatar 2022, Brasil tersingkir di tangan Kroasia pada perempat final. Tamparan bagi Brasil mengeras, karena selain gagal juara, mereka menyaksikan rival abadi sesama tim Amerika Latin, Argentina, tampil sebagai juara dunia untuk ketiga kali seusai menundukkan Perancis di final.
Sejumlah pelatih sudah menangani tim nasional Brasil, yang tergolong jabatan ”terpanas”, selepas Scolari yang harus mundur pascakekalahan tragis dari Jerman. Ada Dunga, Tite, Ramon Menezes, dan Fernando Diniz yang kini masih melatih Samba dengan status ad interim. Dari keempat nama pelatih yang semuanya asal Brasil itu, Tite tergolong menjanjikan saat membawa tim asuhannya lolos ke Qatar 2022 dengan performa gemilang. Namun, dia juga harus rela menyingkir saat Brasil tanpa gelar di Qatar.
Rasional atau emosional?
Di tengah badai berkepanjangan ini, Federasi Sepak Bola Brasil (CBF) mengumumkan rencana merekrut pelatih asal Italia, Carlo Ancelotti. Jika Ancelotti benar-benar melatih Brasil, dia akan menjadi pelatih asing pertama yang menangani tim Samba dalam 60 tahun terakhir. Pelatih asing sebelumnya tak lain Filpo Nunez (Argentina) yang menangani Brasil hanya untuk satu pertandingan, pada September 1965.
Di tengah badai berkepanjangan ini, Federasi Sepak Bola Brasil (CBF) mengumumkan rencana merekrut pelatih asal Italia, Carlo Ancelotti.
Sesuai pernyataan Ketua Umum CBF Ednaldo Rodrigues yang dikutip The Times, Ancelotti telah bersepakat dengan CBF untuk mulai melatih tim Samba pada Copa America 2024. Lagi-lagi, seiring saking jarangnya ini terjadi, Ancelotti akan menjadi pelatih asal Eropa pertama bagi Brasil dalam 80 tahun terakhir, setelah Flavio Costa yang asal Portugal menangani Brasil pada 1944.
Ancelotti pelatih besar dan dikenal bertangan dingin. Pria 64 tahun itu meraih trofi liga bersama Chelsea di Liga Inggris, Bayern Muenchen di Jerman, Paris Saint-Germain di Perancis, Real Madrid di Spanyol, dan AC Milan di Italia. Walakin, dia belum pernah melatih tim nasional. Jika harus disebut kiprahnya di tim nasional, dia pernah menjadi asisten pelatih Arrigo Sacchi di tim Italia, kurun 1992 hingga 1995.
Bagi CBF, ini keputusan rasional, atau emosional? Sedemikian parahkah krisis pelatih sepak bola di Brasil, sebagai negara pemegang lima gelar juara dunia? Jika memang CBF sudah angkat tangan untuk mencari pelatih domestik, tepatkah mereka memilih Ancelotti?
Situasi mirip Brasil pernah dialami Inggris, yang berpaling pada pelatih asing untuk pertama kali pada pertengahan 2001. Ketika itu, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) mendatangkan Sven-Goran Eriksson asal Swediasebagai pelatih tim ”Tiga Singa”. Eriksson lantas membawa Inggris lolos ke Piala Dunia Jepang-Korsel 2002, sebelum tersisih di perempat final oleh Brasil. Kehadiran Eriksson di Inggris menuai kritik pedas karena Swedia yang belum pernah juara dunia, adapun Inggris juara dunia 1966.
Brasil pun meradang seiring rencana kehadiran Ancelotti. Sampai-sampai, Presiden Brasil Lula da Silva bertanya, ”Mengapa dia malah bukan menjawab masalah tim Italia? Mereka bahkan gagal lolos kualifikasi Piala Dunia terakhir.” Gugatan Da Silva ini seperti disinggung dalam artikel Ian Hawkey berjudul ”Real Madrid of Brazil, Carlo Ancelotti’s Job Dilemma”, di The Times edisi 9 Oktober 2023.
Dalam kesempatan yang sama, Lula da Silva menunjukkan kepercayaannya terhadap Diniz, pelatih ad interim Brasil saat ini, yang dinilai sukses melatih klub Fluminense. Awal Oktober 2023, Fluminense lolos ke final Copa Libertadores, kejuaraan antarklub Amerika Selatan, yang belum pernah mereka juarai. Andai mereka sukses menumbangkan lawannya di final, yakni Boca Juniors (Argentina), ini pembuktian tambahan bagi Diniz.
Terlebih, jika Diniz membawa Brasil menang atas Argentina pada kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, pada 21 November 2023, sentimen antipelatih asing bakal menguat lagi. Apalagi, laga versus Argentina di kandang sendiri itu menjadi laga kompetitif terakhir Diniz, sebelum menyudahi kontrak ad interim sebagai pelatih Brasil. Dia bakal mengerahkan kemampuan terbaiknya demi tim Samba, juga pembuktian dirinya.
Lenyapnya ”jogo bonito”
Bisa jadi, rasionalitas pendekatan CBF kepada Ancelotti tak semata karena dahaga gelar juara yang dialami Brasil. Namun, lebih dari itu, CBF menyadari bahwa karakter tim Samba yang dulunya termasyhur dengan sepak bola indah atau jogo bonito sudah lama tak terlihat. Aksi-aksi ala pemain legendaris Pele di Piala Dunia 1958 dan 1970, atau trio Ronaldo-Rivaldo-Ronaldinho di Piala Dunia 2002, seakan lama lenyap. Publik menanti, tetapi cuma harapan kosong.
Dunia belakangan ini justru mengenal sepak bola cantik dari aksi-aksi menawan tim Spanyol, yang dikenal dengan tiki-taka, umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Tim ”La Furia Roja” membuktikan kemujaraban permainan indah ini dengan gelar juara dunia di Afrika Selatan 2010, setelah di final menundukkan Belanda. Selain juga juara Eropa 2008 dan 2012.
Lebih menyedihkan lagi, yang tampil sebagai juara dunia di Qatar 2022 adalah Argentina. Tim ”Tango” merebut trofi ketiga kampiun sejagat, setelah Argentina 1978 dan Meksiko 1986, di kala Brasil harus rela tersisih di perempat final. Apa daya, Brasil yang harus menyaksikan rival abadinya di Amerika Latin mengangkat trofi Piala Dunia, dengan pelatih lokal mereka, Lionel Scaloni, dan bintang Lionel Messi.
Brasil mungkin tak akan kering talenta-talenta pesepak bola. Pemain asal Brasil berkelana di liga-liga terkemuka Eropa seperti Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, dan Perancis, bahkan juga di liga-liga benua lain, termasuk Asia. Skuad Brasil kini dipimpin kapten Casemiro, salah satu gelandang bertahan terbaik dunia. Masih ada Neymar sebagai salah satu bintang sejagat, juga Marquinhos, salah satu bek papan atas dunia.
Yang mungkin diperlukan Brasil semata tangan dingin yang membuat skuad terbaik mereka mempersembahkan performa terbaik bagi tim Samba. Skuad Brasil terlenakan oleh rekam jejak mereka yang lima kali juara dunia. Jangan-jangan, kekalahan 1-7 dari Jerman di semifinal Piala Dunia Brasil 2014 juga sudah terlupakan. Sementara rival-rival mereka berjuang keras mengatasi ketertinggalan, Brasil lupa menggenjot performa.
Betulkah Ancelotti, yang akrab dijuluki ”Don Carlo”, pilihan tepat bagi Brasil? Perlu kebesaran hati bagi segenap insan persepakbolaan Brasil untuk pertama kali menerima kehadiran pelatih asing dalam 60 tahun. Ibarat introspeksi nasional sepak bola mereka, Brasil perlu menyiapkan karpet merah bagi Don Carlo. Buktikan ”sihir”-mu, Don Carlo!