Rokok Legal, tetapi Tidak Normal
Semua negara di ASEAN telah melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS) kecuali Indonesia yang masih membolehkan.
Dalam berbagai diskusi pembahasan rancangan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, pada bagian Pengamanan Zat Adiktif, salah satu argumentasi yang sering muncul adalah tentang status produk rokok sebagai produk legal.
Karena status produk rokok sebagai produk legal tersebut, menurut argumentasi itu, produk ini sudah seharusnya tetap boleh beriklan, melakukan promosi, dan melakukan kegiatan menjadi sponsor (sponsorship) seperti produk legal lainnya.
Argumentasi-argumentasi ini sering dilontarkan pihak pemerintah sendiri, terutama kementerian yang selama ini sering berpihak kepada industri rokok. Jawaban awal untuk argumentasi ini adalah: benar, rokok adalah produk legal, karena itu rokok tidak dilarang untuk diproduksi, diedarkan, dijual, dan dikonsumsi.
Legalitas produk rokok tersebut diatur dalam Undang- Undang Cukai, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Pers, bahkan Undang-Undang Kesehatan itu sendiri.
Legal terbatas
Namun, rokok adalah produk legal terbatas dan bukan produk normal. Itulah sebabnya, pada Pasal 2 UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai disebutkan bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik: konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; dan pemakaiannya berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Barang-barang tersebut dinyatakan sebagai barang kena cukai, termasuk berupa hasil tembakau (Pasal 5).
Argumentasi-argumentasi ini sering dilontarkan pihak pemerintah sendiri, terutama kementerian yang selama ini sering berpihak kepada industri rokok.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru saja disahkan juga menegaskan kembali bahwa produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif produk tembakau dan turunannya diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan (Pasal 149). Selain itu, harus diatur soal peringatan kesehatan pada produknya (Pasal 150) dan penetapan Kawasan Tanpa Rokok (Pasal 151).
Pasal 4 Undang-Undang Cukai dan penjelasannya juga menyatakan bahwa zat berbahaya yang perlu diatur peredarannya, selain alkohol dan produk mengandung etil alkohol, juga tembakau dan produk tembakau. Dengan demikian, dalam hal iklan dan promosi, seharusnya perlakuan terhadap produk tembakau disamakan dengan produk alkohol, yaitu dilarang untuk beriklan dan melakukan promosi.
Maka, jelas kerangka berpikir kita harus kukuh pada pendirian bahwa rokok adalah produk legal, tetapi legal terbatas, mengingat sifatnya yang memiliki eksternalitas negatif pada masyarakat.
Putusan MK, rokok legal?
Argumentasi rokok adalah produk legal sering dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2009 dan 2017 tentang gugatan terhadap UU Penyiaran dan UU Pers yang masih membolehkan iklan rokok.
Sebenarnya, putusan MK tersebut menjadi tidak relevan jika melihat situasi yang telah berubah.
Pertama, UU Kesehatan terbaru telah mengakomodasi pengaturan produk tembakau ataupun rokok elektronik demi perlindungan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
.
Kedua, temuan-temuan ilmu pengetahuan yang baru, ditambah perkembangan teknologi yang memberi kemudahan akses dan tren teknik pemasaran yang semakin terbuka, membuat masyarakat menjadi sangat rentan terhadap produk tembakau yang bebas diiklankan dan dipromosikan.
Dengan argumentasi di atas, kedua putusan MK yang dimaksud sangat mungkin berubah dalam situasi saat ini. Selain itu, yang paling mendasar, putusan penolakan gugatan terhadap UU Penyiaran dan UU Pers dengan empat hakim yang memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) di atas berlaku pada kedua UU tersebut dan tidak bisa ditarik secara general.
Tidak normal
Sebagaimana kita ketahui, produk zat adiktif hasil tembakau mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia yang 83 di antaranya bersifat karsinogenik penyebab kanker.
Hal ini juga berlaku pada novel product, rokok elektronik, yang sama-sama mengandung zat kimia berbahaya dan bersifat karsinogenik, yang telah banyak dibuktikan dampak buruknya pada kesehatan.
Keduanya, terutama, mengandung zat adiktif nikotin yang memiliki sifat mencandu yang sangat kuat yang membuat seseorang sulit untuk berhenti.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menyatakan, ”Industri rokok adalah satu-satunya industri yang membunuh 50 persen konsumen loyalnya.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menyatakan, ”Industri rokok adalah satu-satunya industri yang membunuh 50 persen konsumen loyalnya.” Hal ini menyiratkan bahwa rokok adalah produk yang tidak normal dan juga letal (mematikan).
Melihat sifat dan karakter di atas, maka jelas rokok produk legal, tapi bukan produk normal. Hal ini membuatnya harus dibatasi, diatur, dan diawasi produksi, peredaran, dan konsumsinya demi melindungi masyarakat. Saat ini, pengaturannya pun sedang diupayakan masuk dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan.
Sama sekali bukan seperti produk normal lainnya, karena berbahaya dan mematikan, produk ini pun tidak boleh diiklankan dan dipromosikan, dan industri yang memproduksi dan menjualnya tidak boleh memberikan sponsorship untuk menimbulkan citra baik pada produknya yang berbahaya.
Mazhab global
Mazhab yang menganggap rokok adalah produk normal di masa lalu telah terkikis.
Selama 20 tahun terakhir, mazhab yang telah menjadi common sense secara global telah berubah. Kini rokok ditempatkan sebagai produk tidak normal dan telah dimafhumi negara-negara di seluruh dunia yang kemudian menerbitkan aturan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Bahkan, negara-negara di Eropa, seperti Inggris, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Irlandia, telah melarang iklan rokok di media televisi dan radio sejak tahun 1970-an atau 50-an tahun lalu begitu mereka mendapatkan bukti dari jurnal kesehatan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan rakyatnya.
Semua negara di ASEAN telah melarang iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok, kecuali Indonesia. Indonesia adalah satu-satunya negara yang masih membolehkan IPS rokok dan mendapatkan rapor merah untuk semua kebijakan pemasaran produk zat adiktif di antara negara-negara di ASEAN, menandakan rendahnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok.
Melalui RPP Kesehatan inilah, Indonesia sedang berusaha memperbaiki diri.
Iklan rokok tidak akan dilarang total karena masih diperbolehkan di media penyiaran dan pers. Namun, setidaknya anak-anak tidak lagi terpapar iklan produk zat adiktif di internet dan media luar ruang.
Primitif dan sangat fatal
Mempertahankan argumentasi bahwa rokok adalah produk legal sehingga tidak boleh dilarang diiklankan, dipromosikan, dan industrinya memberikan sponsorship adalah pemikiran yang primitif dan sangat fatal karena membiarkan anak-anak, termasuk anak-anak dari para pemangku kebijakan yang menentang larangan IPS, terus terpapar iklan produk berbahaya.
Kesadaran bersama mengenai pentingnya melindungi anak-anak kita dari serbuan iklan produk berbahaya seharusnya adalah kesadaran kolektif yang dimiliki semua bangsa, termasuk Indonesia, mengingat bahaya produk ini pada generasi yang akan datang.
Ketakutan bahwa larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok akan ”mematikan” petani tembakau pun bukan alasan yang relevan.
Brasil telah melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok di negaranya sejak 1996 melalui Brazilian Tobacco Control Act (Lei Federal Nomor 9.294), tetapi sampai saat ini negara ini masih memproduksi tembakau, bahkan menjadi negara kedua terbesar yang tembakaunya diekspor ke Indonesia.
Semua negara di ASEAN telah melarang iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok, kecuali Indonesia.
Sebaliknya, prevalensi perokoknya terus menurun secara signifikan, dari 15,7 persen pada tahun 2006 menjadi 9,8 persen pada tahun 2019 (Am J Public Health, 2021).
Maka, menolak melakukan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok dengan berlindung pada argumentasi bahwa rokok adalah produk legal sebaiknya segera dihentikan.
Sebagai negara besar yang sudah sepatutnya fokus pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, salah satunya adalah dengan memastikan kualitas kesehatan generasi mudanya terjamin.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah, termasuk kementerian yang mengayomi industri (produk berbahaya), bekerja kompak dalam upaya pengendalian konsumsi rokok dengan melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok demi melindungi masyarakat, terutama anak- anak dan keluarga miskin.
Salah satunya adalah melalui rancangan peraturan pelaksana dari UU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas.
Nina Samidi Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau, Co-founder Social Force in Action (SFA) for Tobacco Control