Mengganti habitus mengakar, mendarah daging, otomatis dan beroperasi sendiri, memerlukan kepeloporan para pemimpin.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·3 menit baca
Sesungguhnya dunia kini menjadi bentuk peperangan. Bukan semata- mata perang antara Ukraina dan Rusia atau perang Hamas melawan Israel. Tidak kalah kejam adalah perang dagang: perang melalui pemberlakuan sanksi-sanksi yang menyengsarakan kehidupan suatu bangsa.
Dalam perang dagang juga terjadi pemagaran (containment) agar suatu bangsa tidak dapat berkembang serta peniadaan (decoupling) peluang hubungan kerja sama saling menguntungkan antara suatu negara dan negara lain.
Ada pula instalasi lebih dari 800 pangkalan militer di seluruh dunia oleh negara adikuasa, perluasan pakta militer, propaganda, dan disinformasi yang masif dan sistematik. Tak ketinggalan perlombaan penguasaan dan penyediaan senjata nuklir.
Pemimpin pemerintahan yang menciptakan peperangan ini seperti insan-insan yang gagal bertumbuh kembang dari keadaan infantil: belum mampu menghayati realitas sebagai perpaduan baik dan buruk.
Kenyataan dialami sebagai ”seluruhnya buruk” atau sebaliknya, ”seluruhnya baik”. Biasanya diri sendiri dianggap ”seluruhnya baik”. Pihak lain yang tidak mau mendukung dianggap ”seluruhnya buruk”.
Keadaan kekanak-kanakan ini disebut posisi paranoid skizoid (Klein, 1946). Kondisi ini menggambarkan cara mengalami kehidupan dan relasi yang penuh waswas, cemas, dan curiga, disertai keinginan mengenyahkan pihak lain yang ”seluruhnya buruk”.
Mungkin manusia sekelam itu. Namun, hal tersebut tidak meniadakan keperluan untuk mencari jalan keluar.
Tidak kalah kejam adalah perang dagang: perang melalui pemberlakuan sanksi-sanksi yang menyengsarakan kehidupan suatu bangsa.
Manusia membawa ”hemisferisitas ganda”, yakni memiliki dua belahan otak (hemisferium). Hal ini mendorong manusia untuk menciptakan kehidupan dan relasi yang secara seimbang dan holistik dengan melibatkan kedua belahan otaknya.
Ketika kehidupan sebagian besar dijalani dengan hemisferium kiri yang begitu dominan perannya, modus operandi utama yang menjadi perwujudannya adalah berpikir, berpikir, dan berpikir.
Hasilnya, sains dan teknologi kian membubung tinggi. Penting disebutkan bahwa hal tersebut membuat perjalanan hidup seolah berada pada jalan tunggal yang sempit. Terbentuk alienasi dan ketersendirian serta hasrat menguasai yang terus memanjang tiada ujung.
Keterhubungan manusia dan liyan (human relatedness) hampir tidak mendapatkan ruang. ”Hanya karena memikir, maka diri ada”. Cogito, ergo sum. Pada konsep itu, filsafat Cartesian memaksakan hemisferisitas yang terbelah, yang didominasi hemisferium kiri.
Oleh karena itu, manusia menciptakan perang. Di Timur, Laozi menyerukan konsep hemisferisitas ganda yang berimbang, disebut yin-yang. Hal itu ditandai dengan reseptivitas atau keterbukaan yang menampung banyak dan menipis angkuhnya kebertindakan.
Dalam konsep itu, wu wei, atau ”tiada tindakan”, menjadi penyeimbang dari tindakan memikir dan menguasai, disadari dan dianjurkan.
Namun, propaganda dominasi hemisferium kiri, yang sifat aslinya ekspansif dan agresif, hingga kini menyebar lebih efektif. Hal itu menanamkan dominasi hemisferium kiri sebagai otomatisitas (kemampuan memproses informasi dengan sedikit atau tanpa usaha) yang bekerja nirsadar.
Antitesis perang
Peran-peran kemanusiaan yang luhur—yakni intersubyektivitas, empati, compassion, humor, moralitas, kasih sayang, serta kreativitas pribadi, ilmiah, dan artistik—adalah pengejawantahan hemisferium kanan (Schore, 2019). Tujuh peran kemanusiaan itu merupakan antitesis perang, peniada perang, serta pendukung kedamaian dan kewarasan.
Hal itu bukan angan-angan di siang bolong. Tatkala manusia meninggalkan dominasi hemisferium kiri, ia disebut mengalami ”regresi”. Sesungguhnya ini merupakan regresi mutual terapeutik kreatif (Ulanov, 2001). Maknanya, manusia memerlukan liyan yang hadir dan melindungi, tetap terhubung baik dengannya, sementara ia beregresi.
Hal itu bukan sekadar berpindah dari proses sekunder (memikir) ke proses primer (mengerti dengan merasakan dan mengalami lebih lengkap). Tidak semata beranjak dari realisasi hemisferium kiri ke pengejawantahan hemisferium kanan.
Namun, mengejawantahkan proses primer dan peran-peran hemisferium kanan dengan tetap terhubung baik pada orang lain di tengah realitas. Dengan demikian, regresi memungkinkan terjadinya hemisferisitas ganda yang seimbang.
Sebaiknya hal ini dijalani dengan sedikit lebih bertitik berat ke belahan otak kanan daripada ke belahan kiri yang biasanya telah begitu dominan. Regresi terapeutik kreatif ini berlangsung dalam kehadiran liyan di tengah kenyataan, dalam keterhubungan yang baik dengannya.
Keterhubungan antarinsan selalu menempatkan negosiasi, kooperasi, kolaborasi, bekerja sama, dan bahu-membahu, sebagai proses utama.
Keterhubungan antarinsan selalu menempatkan negosiasi, kooperasi, kolaborasi, bekerja sama, dan bahu-membahu, sebagai proses utama. Oleh karena itu, hemisferisitas ganda yang seimbang meniadakan perang, merealisasikan kedamaian dan kewarasan.
Hal itu indah rasanya. Namun, seperti biasa, mengganti habitus yang mengakar pada sejarah, mendarah daging dan sudah seperti mesin otomatis, beroperasi sendiri setiap hari, tentu memerlukan kepeloporan para pemimpin. Hal itu juga akan menjadikan para pemimpin tersebut rentan mengalami risiko-risiko terburuk.