Perang Wacana Karhutla
Siapakah yang berhak menentukan keperawanan atau ketidakperawanan hutan? Apakah pengendalian keperawanan atau ketidakperawanan hutan hanya menunjukkan ”maskulinisasi” bahasa lingkungan?
Kemarau panjang setiap tahun telah memukul masyarakat yang terkena dampak dengan penderitaan berlapis. Mulai dari kekeringan, krisis air bersih, kelaparan, kebakaran hutan, berbagai penyakit kulit dan pernapasan, hingga hilangnya sumber kehidupan. Kebakaran hutan menjadi bencana paling menonjol. Mengubah ruang hijau menjelma seperti neraka di bumi dan membawanya ke dalam pertarungan wacana di antara aktor-aktor budaya dan politik.
Kebakaran hutan memang bukan fenomena baru di Nusantara. Berdasarkan rangkuman Erik Meijaard (2018), para penjelajah Kalimantan sejak abad ke-15 telah melaporkan kebakaran hutan dan berlanjut hingga abad ke-20 (Dennis, 1999). Bukti kebakaran purba berdasarkan penanggalan radiokarbon arang dalam tanah telah dilaporkan terjadi di kawasan ini, menunjukkan kebakaran disebabkan antropogenik (manusia) memang pernah terjadi.
Buku catatan penjelajah Portugis dan Belanda di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan ke-16 melaporkan kebakaran besar di rawa gambut di Kalimantan bagian selatan dan kabut asap yang menyebar hingga ke Singapura.
Pada 1877, Bock (1881) melaporkan kekeringan sangat parah di sepanjang pantai Kalimantan dan Sulawesi. Hutan dilaporkan gersang dan tidak berdaun serta terjadi paceklik makanan dan air minum. Michielsen (1882), mengunjungi wilayah yang sekarang Kalimantan Tengah pada 1880, menyebutkan banyak lokasi terkena dampak serius akibat kebakaran hutan besar. Kebakaran besar lainnya di wilayah yang sekarang disebut Indonesia bagian barat dilaporkan terjadi pada 1846, 1853, dan 1868, menambah bukti sejarah bahwa kebakaran di wilayah ini bukan terjadi baru-baru ini (Meijaard, 2018).
Meskipun Indonesia mempunyai sejarah kebakaran yang panjang, dampak lingkungan, sosial, dan ekonominya kian meningkat baru akhir abad ke-20. Kebakaran hutan dan lahan semakin sering terjadi ketika terjadi kemarau panjang. Seperti tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, 1997, 1998, 2002, 2006, 2009, 2015, hingga 2023 ini, yang hanya surut pada saat pandemi.
Selama beberapa dekade terakhir, di antara kebakaran yang terjadi, hanya sedikit wilayah yang tidak terkena dampak. Bahkan, negara tetangga ikut merasakan pencemaran asapnya. Tak mengherankan jika kebakaran hutan di Indonesia disebut-sebut sebagai bencana lingkungan terbesar abad ke-21.
Pertarungan wacana
Berbagai wacana dan klaim telah dibuat mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia. Pertarungan wacana menilai klaim-klaimnya berdasarkan simpati atau kepentingan ekonomi dan posisi politik orang-orang yang membuat klaim tersebut.
Di satu sisi, beberapa kebakaran besar bisa terjadi oleh sebab-sebab kecil. Kebakaran hutan bisa menyebar dari bekas api unggun para pemburu, pengumpul hasil hutan, penebang pohon, atau bekas puntung rokok. Mengingat banyaknya kemungkinan faktor penyebab, menunjukkan perlunya kajian lebih cermat dan sistematis terhadap peristiwa yang memicu kebakaran hutan dan berbagai dampaknya.
Di sisi lain, kritikus pemerintah membangun wacana yang mengutuk kebakaran hutan sebagai akibat eksploitasi dan komersialisasi hutan yang tidak adil. Wacana tanding pro-pemerintah mengalihkan isu ke pemanasan global atau pembalak liar sebagai biang kerok kehancuran hutan.
Baca juga: Krisis komunikasi lingkungan
Wacana lain menyalahkan ketidaktahuan atau keterbelakangan para peladang dan penggarap berpindah yang tinggal di komunitas tepi hutan yang menggunakan api secara tidak bertanggung jawab untuk membuka lahan. Wacana ilmiah lingkungan mencari penyebab kondisi kekeringan, seperti faktor-faktor yang berperan dalam siklus perubahan iklim, seperti gelombang panas dan El Nino.
Peter Mühlhäusler (1995) mengkritik praktik linguistik yang menyebabkan kemerosotan lingkungan alam. Dia menunjukkan kaitan ekologi simbolik dan ekologi alami bahasa. Perubahan mendadak dalam ekologi simbolik terkait dengan perubahan drastis dan tak dapat diubah dalam cara manusia menggunakan dan menyalahgunakan lingkungannya. Singkatnya, praktik dan gaya berbahasa menyebabkan krisis ekologi saat ini.
Sejak tahun 2000-an, masalah lingkungan di Indonesia semakin menjelma sebagai perjuangan, bahkan perang wacana. Ini tidak terjadi dalam kevakuman sosial dan politk. Jika politik adalah perjuangan argumentatif tempat para aktor berusaha menentukan definisi mereka tentang kenyataan, wacana lingkungan berubah bersamaan dengan pergeseran politik lingkungan.
Sebutlah ketika bahasa lingkungan mulai mengadopsi akronim ”karhutla” (kebakaran hutan dan lahan) yang muncul bersamaan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), dua pimpinan yang membuat banyak elite dari pusat hingga daerah mulai gandrung menggunakan singkatan atau akronim untuk nama mereka.
Dinamika politik lingkungan tidak dapat dipahami tanpa membongkar praktik wacana (pidato, wawancara, perbincangan, dan dokumen resmi) yang memandu persepsi kita tentang kenyataan. Kini para pejabat dari tingkat pusat hingga daerah sudah akrab dengan akronim ”karhutla”. Bahkan, dalam situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada akronim ”dalkarhutla” untuk ”pengendalian karhutla”.
Siapakah yang berhak menentukan keperawanan atau ketidakperawanan hutan? Apakah pengendalian keperawanan atau ketidakperawanan hutan hanya menunjukkan ”maskulinisasi” bahasa lingkungan?
Disebutkan bahwa, ”Saat ini tercatat luas kawasan hutan 120 juta hektar dan 45 juta di antaranya akan dipertahankan sebagai hutan perawan.” Selebihnya ”hutan tidak perawan”. Siapakah yang berhak menentukan keperawanan atau ketidakperawanan hutan? Apakah pengendalian keperawanan atau ketidakperawanan hutan hanya menunjukkan ”maskulinisasi” bahasa lingkungan?
Wacana ”karhutla” mencerminkan praktik berbahasa dari atas, bukan dari bawah. Ia tidak muncul begitu saja. Gaya berbahasa elite politik memengaruhi bahasa media yang berpengaruh terhadap perubahan gaya berbahasa komunitas lingkungan.
Pengamatan terhadap praktik wacana seperti akronim ”karhutla” dalam politik lingkungan mencerminkan penggunaan eufemisme yang cerdik, tetapi sekaligus mendangkalkan makna kebakaran hutan itu sendiri.
”Karhutla” menghilangkan makna dan emosi kata kebakaran itu. Ia lebih enak diucapkan oleh yang tidak mengalami kebakaran karena tidak ada ikatan emosional dengan kenyataan kebakaran itu.
Dengan menetralisasi makna kebakaran, ia mengalihkan makna sesungguhnya dari dampak mendalam yang ditimbulkannya.
Dengan demikian, ia juga mengaburkan posisi pemangku kebijakan di tengah ketegangan yang mendasari pertarungan wacana aktivis lingkungan dan kepentingan korporasi, antara kepentingan publik dan privat.
Akhirnya, ”karhutla” mencerminkan sisi lain keterputusan ikatan tradisional manusia dengan hutan yang menggambarkan keretakan kesadaran manusia dengan lingkungan hidupnya. Keretakan ini akan terus terjadi, demikian menurut John Bellamy Foster dan Brett Clark (2020) dalam The Robbery of Nature: Capitalism and the Ecological Rift (Perampokan Alam: Kapitalisme dan Keretakan Ekologis), jika penjarahan alam oleh kapitalisme melalui produksi komoditas tidak mampu dikendalikan.
Idi Subandy Ibrahim
Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK)
Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; pengajar luar biasa (LB) di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan pengajar LB di Program Doktor (S-3) Agama dan Media/Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.